PULUHAN keledai suatu hari dengan susah payah membawa ribuan buku menanjak pegunungan terjal Hindu Kush. Kisah itu di-ceritakan Hermione Young, 56 tahun, kepada reporter kantor berita Reuters. Telah lima tahun perempuan ini—suka-relawan United Nations Children's Fund (UNICEF)—bekerja di Faizabad, ibu kota Provinsi Badakhshan. Lembaga Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Urusan Anak-Anak ini mendirikan sekitar 250 sekolah. Dari 65 ribu muridnya, 43 persen adalah perempuan.
"Islam tidak melarang perempuan bersekolah," kata Mauhada Sidiqi kepada Wa-shington Post. Sidiqi adalah kepala sekolah khusus perempuan di Charikar, sebuah daerah lain di utara yang belum takluk kepada Taliban. Sementara itu, di daerah-daerah kekuasaan Taliban, memang, mulai umur delapan tahun, perempuan dilarang masuk sekolah. "Kelakuan Taliban itu barbar," ujar Sidiqi. Setiap wanita diwajibkan mengenakan burqa—yang menutupi tubuh dari ujung kepala sampai kaki—dengan menyisakan sedikit lubang untuk mata. Seorang wartawan menulis, sulit membayangkan di Universitas Kabul banyak mahasiswi mengenakan rok mini dan nongkrong di kafe. Di zaman Presiden Burhanuddin Rabbani, sedikitnya kebebasan masih ada.
Begitu Taliban merebut Kabul, mereka memasuki rumah-rumah, menyita dan menghancurkan televisi, kaset-kaset musik, dan foto-foto. Pria yang tak berjanggut dibui 10 hari. Perempuan tak boleh pergi ke luar rumah tanpa didampingi muhrimnya. Mullah Mohammad Omar membentuk Taliban karena melihat korupsi dan pemerkosaan oleh para aparat Rabbani begitu menjadi-jadi di kota asalnya, Kandahar. Robert Frisk, seorang wartawan yang dahulu meliput Afganistan, masih ingat benar bagaimana Jenderal Abdul Rashid Dostum dan para gerilyawan mujahidin biasa memaksa kawin dengan anak-anak di bawah umur.
Dan ekstremitas dibalas ekstremitas. "Ketika Taliban datang, mula-mula kami senang dan aman. Tapi makin lama peraturan mereka makin buruk," kata Saira, bekas mahasiswa kedokteran Universitas Kabul, yang kini tinggal di Pakistan. "Sekarang saya bisa mengecat kuku dan menonton film India lagi," katanya. Cerita tentang kejelekan Taliban juga didapat wartawan TEMPO Ahmad Taufik saat ia menemui Qazi Muhammad Amin, 58 tahun. Dia menteri telekomunikasi pada pemerintahan Burhanuddin Rabbani.
Di saat Taliban mulai merebut Kandahar pada 1996 dan mengepung Kabul, Muhammad Amin kabur bersama delapan orang anaknya. Bekas pejabat itu kini tinggal di perkampungan kumuh dan berdebu di Peshawar. Gerbang rumahnya cuma tertutup seng. Di halaman rumah itu terpasang sebuah wastafel berwarna biru muda tempat pengikutnya mengambil air wudu. "Taliban itu kekuatan milisi. Mereka menggunakan hukum seenak udel," ujarnya kepada TEMPO. Ia berharap Amerika segera meng-enyahkan Taliban.
Dia juga menuturkan, banyak warga etnis Pashtoon yang tak setuju dengan Taliban. Menurut Muhammad Amin, pemerintahan Islam yang baik bukan bersifat penuh paksaan. "Islam memberi setiap orang kebebasan beragama," ia menegaskan. Di kawasan Kota Lama Peshawar, terdapat perkampungan pengungsi Afganistan dari suku Pashtoon. Mereka bekerja serabutan, dari menjual jagung bakar sampai menyopir taksi.
Tengok saja Abdul Basser, 30 tahun. Dia hijrah ke Peshawar sejak Taliban berkuasa, lalu bekerja sebagai penjaga toko kelontong di Universitas Road. Gajinya 2.500 rupee Pakistan—gaji yang relatif masih kecil. "Saya tak suka orang-orang Taliban. Mereka bertindak sewenang-wenang seperti tak ada hukum yang berlaku. Hukum Islam diartikan secara sempit untuk kepentingan kekuasaan," katanya. Ia memohon diajak ke Indonesia. "Ayo dong bawa saya. Saya ingin meninggalkan Pakistan untuk hidup lebih baik," ujarnya dengan memelas.
Hukum Taliban memang kaku. Beberapa tahun lalu, majalah New Yorker menurunkan reportase langsung dari jantung Kabul sebagai berikut. Suatu hari, seorang perempuan yang mengenakan burqa membeli buah-buahan. Untuk membayar, ia menurunkan sedikit lubang bagi matanya. Perbuatan itu diketahui aparat Taliban. Wanita itu langsung dicambuk tiga kali. Si pedagang juga didera. "Taliban memaksa kami mematuhi aturan yang mustahil," kata Abdul Alim, 43 tahun, sopir taksi di Faizabad.
Warga Taliban dikabarkan amat membenci gerilyawan Syiah dari suku Hazara. Lembaga Human Rights Watch pernah melaporkan terjadi pembunuhan massal atas ma-syarakat sipil Yakaolang—sebuah daerah Syiah di Afga-nistan—Januari tahun ini. Di Peshawar, pengungsi dari etnis Hazara bisa ditemukan di Haqi Camp. Tatkala ditemui TEMPO di kediamannya, Quraisy Muhammad, salah satu pentol-an suku Hazara, mengatakan bahwa pemerintahan Taliban tidak bisa diterima banyak faksi karena mengira dirinya paling benar. "Melemahnya dukungan terhadap Taliban akan menyatukan kami yang selama ini terpecah-pecah," kata Quraisy optimistis.
Seno Joko Suyono (Jakarta), Ahmad Taufik (Peshawar)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini