Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Hasil survei dan observasi alat pembakaran sampah Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Jawa Barat mengungkap keberadaan alat tersebut di 23 lokasi, dan 14 lokasi diantaranya di wilayah Kabupaten Bandung. “Sepuluh unit alatnya ada yang dekat dengan pemukiman penduduk,” kata Ketua Walhi Jabar Meiki W. Paendong, Sabtu, 5 Maret 2022.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Alat pembakar sampah yang disebut insinerator itu, kata dia, lebih tepatnya merupakan tungku pembakar sampah. Jenis sampah yang dibakar hampir semuanya tercampur yaitu organik dan non-organik. “Hasil temuan ini pernah kami bahas dan ditunjukkan juga di acara diskusi daring bersama Dinas Lingkungan Hidup Jawa Barat dan Kabupaten Bandung,” ujarnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Walhi termasuk pihak yang menolak cara pembakaran dalam pengelolaan sampah. Di antara alasannya karena gas buang pembakaran sampah itu menebarkan zat beracun seperti dioxin ke udara, yang berbahaya bagi makhluk hidup. Sementara pemerintah mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 18 Tahun 2018 tentang Percepatan Pembangunan Instalasi Pengolah Sampah Menjadi Energi Listrik Berbasis Teknologi Ramah Lingkungan.
Gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil, berencana menyebar 50 alat insinerator sampah terkait program Citarum Harum. Walhi Jabar berharap dari hasil survei dan observasi di lapangan, pemerintah tidak menggunakan teknologi pembakaran sebagai solusi persoalan sampah, melainkan dengan cara mengurangi, memilah, dan memanfaatkan sampah atau didaur ulang.
Dari 14 alat pembakar sampah di Kabupaten Bandung, sembilan di antaranya kini sudah tidak aktif karena rusak atau biaya pengoperasian yang tinggi. Adapun lima alat yang masih dipakai sejak 2018-2020 itu berada di tempat pembuangan sementara (TPS) sampah RW 3 Desa Citeureup, Sukamukti, TPST Karya Mandiri RW 4 Desa Pangauban, TPS sebuah perumahan mewah, dan kampus swasta.
Alat pembakar sampah itu memakai bahan bakar solar, elpiji, dan listrik, serta kombinasinya. “Kapasitas sampahnya 2.000 kilogram dengan lama pembakaran selama 12 jam,” ujar Meiki.
Sebanyak 10 unit alat berjarak dekat sekitar 50-100 meter dari pemukiman warga, lima lainnya terhitung jauh. Pengadaan alatnya sebanyak 13 unit dari pemerintah, swasta, dan universitas, dan inisiatif pemerintah desa lewat pembelian langsung ke produsen.
Menurut Yobel Novian Putra dari Global Alliance for Incinerator Alternatives (GAIA), insinerator bukan solusi sampah. Alasannya, menghamburkan dana publik, meracuni lintas generasi, bertentangan dengan krisis iklim, dan tidak menghilangkan TPA sampah. “Di berbagai belahan dunia lain telah gagal,” katanya kepada wartawan di Bandung pekan lalu.
Uni Eropa, menurutnya, telah menolak teknologi insinerator sampah, sementara Amerika Serikat telah menutup 300 insinerator pada kurun 1985-1995. Berbeda dengan model yang dipakai masyarakat di Kabupaten Bandung, insinerator sampah seharusnya punya tiga bagian utama. Tungku pertama untuk membakar sampah, tungku kedua untuk menangkap gas, debu, dan racun dengan alat penyaring. “Kotak ketiga untuk menampung sampah abu yang beracun,” ujarnya.
Guna mencegah keluarnya gas berbahaya dioxin, suhu pembakaran sampah berkisar 250-400 derajat Celcius. Namun berdasarkan hasil riset, potensi keluarnya gas beracun itu ketika tungku dalam keadaan dingin atau dalam kondisi tidak dipakai. “Insinerator hanya mengubah bentuk limbah,” kata Yobel.
Baca:
Pulau Sampah Meluas di Muara Kanal Banjir Kota Semarang
Selalu update info terkini. Simak breaking news dan berita pilihan dari Tempo.co di kanal Telegram “Tempo.co Update”. Klik https://t.me/tempodotcoupdate untuk bergabung. Anda perlu meng-install aplikasi Telegram terlebih dahulu.