Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakata - Kemenangan gugatan warga negara (citizen lawsuit) di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada 16 September 2021 terkait polusi udara Jakarta menandakan bahwa pemerintah lalai dalam memenuhi hak udara bersih bagi masyarakat. Gugatan itu diinisiasi oleh Gerakan Inisiatif Bersihkan Udara Koalisi Semesta (Koalisi Ibu Kota).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Adhityani Putri, Direktur Yayasan Indonesia Cerah, sebagai fasilitator penggugat menjelaskan proses peradilan dalam gugatan polusi udara telah melalui jalan yang panjang. Sebelum mengajukan gugatan pada 4 Juli 2019, pihaknya telah membuka berbagai macam komunikasi dan berdiskusi dengan para pemangku kepentingan, termasuk pemerintah pusat dan daerah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Namun, kata dia, seiring dengan prosesnya, penggugat tidak melihat langkah konkret dari pemerintah sehingga memutuskan membawa ini ke proses peradilan. “Harapan, pemerintah pusat dan daerah menanggapi dengan mendalam langkah-langkah mitigasinya,” ujar dia dalam webinar bertajuk ‘Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat terkait Tuntutan Udara Bersih Jakarta, Apa Langkah Selanjutnya?’ pada Kamis, 7 Oktober 2021.
Gugatan itu dilayangkan 32 warga negara yang tergabung dalam Koalisi Ibu Kota. Mereka berasal dari berbagai layar belakang, di antaranya mantan aktivis lingkungan di Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) dan Greenpeace, tapi banyak juga yang berasal dari masyarakat umum yang mengalami dampak dari adanya polusi udara tersebut.
Perjuangan itu akhirnya menghasilkan keputusan yang baik bagi warga Jakarta di mana Koalisi Ibu Kota memenangkan gugatan dari para pihak tergugat yang terdiri dari Presiden, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Menteri Kesehatan, Menteri Dalam Negeri, Gubernur Jakarta, Gubernur Jawa Barat dan Gubernur Banten. Tergugat tersebut dinyatakan telah melawan hukum dan menghukum para tergugat untuk menjalankan 9 poin putusan hakim.
“Tapi pada 30 September 2021 lalu, empat (Presiden, KLHK, Kemenkes, dan Kemendagri) dari tujuh pejabat negara di tingkat pusat yang menjadi tergugat resmi mengajukan banding pada Pengadilan Tinggi Jakarta Pusat,” tutur Adhityani.
Menurut Adhityani, putusan Majelis Hakim yang berpihak pada perbaikan kualitas udara Jakarta seharusnya dapat menjadi momentum baik bagi pemerintah pusat dan daerah. “Tentu untuk mulai melakukan kebijakan mitigasi polusi udara secara transparan," katanya sambil menambahkan gugatan ini diharapkan menginspirasi warga lainnya.
Sebagai informasi, menyoroti rendahnya kualitas udara bersih di Jakarta, Relawan dan Konsultan Kesehatan Yayasan Alam Sehat Lestari (ASRI), menerangkan bahwa polutan yang banyak menimbulkan masalah kesehatan adalah particulate matter atau PM 2,5. “Ukurannya kecil, tapi beratnya lebih besar dibanding dengan polutan lain,” katanya dalam acara tersebut.
Polutan itu dapat menembus paru-paru dan dialirkan oleh pembuluh darah ke seluruh tubuh. Pada tahun 2013, World Health Organization (WHO) sendiri telah mengklasifikasikan PM 2,5 sebagai zat penyebab kanker.
Alvi menambahkan setelah lebih dari 15 tahun, pada 22 September lalu WHO juga merilis peraturan baru untuk menaikkan standar kualitas udara. Sekarang, nilai ambang batas baku mutu udara ambien untuk PM 2,5 standarnya menjadi 15 mikrogram per meter kubik untuk batas harian dan 5 mikrogram untuk batas rata-rata tahunan.
“Sementara di Jakarta, pada hari ini tercatat kadar PM 2,5 nya mencapai 26,9 ug/m3, enam kali lipat standar tahunan WHO terbaru,” tutur dia.
Menurut Alvi, keberadaan polutan itu tidak disadari dan penyakitnya tidak spesifik, membuat masyarakat cenderung abai dengan polutan sebagai salah satu penyebab utama masalah kesehatan. Padahal ini bisa menyebabkan gangguan perkembangan janin, iritasi mata dan saluran napas, kanker paru, penyakit otak degeneratif, bahkan penurunan performa atlet. “Karena atlet bernapas 20 kali lebih banyak dibanding orang normal, sehingga berisiko untuk 20 kali lipat terpapar polusi,“ tutur Alvi.
Baca:
Solusi Dua Sumber Polusi Udara Jakarta