JARANG terjadi seorang anggota DPR diprotes rakyatnya. Apalagi dilabrak. Namun, zaman telah banyak berubah, dan Leonard Tomasos, anggota Komisi IV DPR, Jumat pekan lalu harus bersitegang urat leher dengan empat anggota Ikatan Cendekiawan Tanimbar Indonesia (ICTI). Kejadian itu tentu saja kurang sedap ditonton, tapi untunglah tidak berlangsung lama. Kedatangan keempat anggota ICTI ke DPR tak lain untuk memprotes rencana pencairan izin hak pengusahaan hutan (HPH) PT Alam Nusa Segar (ANS). Seperti diketahui, gara-gara protes masyarakat Yamdena di Kepulauan Tanimbar, Maluku Tengah dipelopori ICTI izin HPH PT ANS sempat dibekukan enam bulan. Mendadak, Senin pekan lalu, Menteri Kehutanan Djamaloedin Soerjohadikoesoemo mengumumkan bahwa Pemerintah akan menghidupkan kembali HPH milik PT ANS. Katanya, keputusan itu berdasarkan permintaan DPRD tingkat II dan Pemda Maluku Tenggara. Sebelumnya, Komisi IV DPR yang membidangi masalah kehutanan telah pula menyetujui usul itu. Menurut Abdullah Chalil dari Komisi IV DPR, pembekuan izin HPH PT ANS telah mematikan perekonomian penduduk Yamdena. ''Kesimpulannya, HPH harus diaktifkan karena pengaruh ekonominya besar pada penduduk setempat,'' Abdullah menandaskan. Di pihak lain, ICTI, yang mewakili masyarakat Yamdena, bersikukuh agar hutan Yamdena tetap utuh. Permintaan itu cukup beralasan. Di samping kaya dengan tanaman langka pohon tonin, misalnya hutan itu juga berfungsi sebagai penampung air alami bagi penduduk Yamdena. Alasan ini cukup kuat karena di pulau berkapur itu air adalah barang langka. Penduduk Saumlaki, ibu kota Kecamatan Tanimbar Selatan, misalnya, sejak dulu harus menempuh 19 km hanya untuk mendapatkan air. Memang, inilah kenyataan pahit sehari-hari yang barangkali tidak diketahui oleh Abdullah Chalil. Selain itu, dokumen analisa mengenai dampak lingkungan (amdal) juga menyebutkan, proyek komersialisasi PT ANS, selain membawa 12 dampak positif, ternyata menyumbangkan 23 dampak negatif. Itu berarti, dampak negatifnya masih lebih banyak 11 buah daripada dampak positif. ''Apalagi hutan Yamdena juga sudah sejak tahun 1971 ditetapkan sebagai hutan lindung dan riset,'' kata Albert Wuarmasiak, Wakil Ketua ICTI. Dia yakin, jika proyek diteruskan, hutan Yamdena terancam rusak. Yamdena adalah pulau kecil seluas 450 ribu hektare. Di pulau sebesar Daerah Istimewa Yogyakarta ini terdapat hutan tropis seluas 324 ribu hektare. Dua tahun silam, ketika Menteri Kehutanan memberikan izin HPH kepada PT ANS, masyarakat yang sebagian besar hidup sebagai nelayan itu resah. Maklum, hutan yang akan dibabat perusahaan Grup Salim ini mencakup 70% dari luas hutan Yamdena. Masalah mulai mencuat ketika Ketua IGGI, J.P. Pronk, melontarkan kritik terhadap penebangan kayu di pulau itu. Namun, di pihak lain, PT ANS seakan tak peduli. Sampai berkali- kali unjuk rasa dilakukan masyarakat Yamdena, tapi sia-sia. Juli tahun silam, ICTI juga menggelar poster di DPR. Akhirnya, Menteri Kehutanan, yang saat itu dijabat Hasjrul Harahap, bersedia mengkaji ulang. Janji itu memang ditepati. Hanya saja, kajian yang dilakukan pemda setempat terbatas pada dampak sosial ekonomi. Hasil kajian itu kemudian disampaikan DPRD II kepada Komisi IV DPR, yang Juli lalu berkunjung ke sana. Kajian yang sama disampaikan kepada Menteri Kehutanan. ''Jadi, ini kan keinginan rakyat di sana,'' kata Abdullah lagi. Ia tampaknya lupa bahwa kajian itu dilakukan oleh pemda setempat, bukan oleh lembaga wakil rakyat. Seperti diceritakan beberapa penduduk Tanimbar kepada Mochtar Touwe dari TEMPO, anggota Komisi IV malah meminta masyarakat tak melakukan protes.Bahkan, penduduk tidak pernah diajak berdialog oleh anggota DPR. ''Kami tidak diberi kesempatan berbicara. Malah, menurut mereka, apa pun keberatan rakyat, HPH tetap jalan,'' kata seorang penduduk. Kalau mau dikaji, dampak ekonomi yang disebut-sebut anggota DPRD tingkat II itu tak pula benar. Mengapa? Proyek PT ANS hanya menyerap 83 tenaga kerja asal Tanimbar, sedangkan penduduk di sana berjumlah 83 ribu lebih. ''Kalau dilihat dari dampak sosial, malah keperawanan adat kami diinjak-injak,'' Albert menandaskan. Benarkah? Menurut Abdullah, pembekuan HPH justru menghambat upaya penghijauan di Yamdena. Sementara itu, Menteri Djamaloedin mencoba mendudukkan perkara sebenarnya. Katanya, Pemerintah kini tengah mencoba mencari pola pengusahaan hutan yang lebih cocok dengan lingkungan Yamdena. Pola yang merupakan hasil kajian Pemda Maluku Tenggara itu di antaranya bertujuan melestarikan hutan. Langkah lain ialah memasukkan BUMN dan koperasi sebagai pemegang saham ANS. Menurut harian Neraca, setelah HPH dihidupkan kembali, porsi pemilikan saham Grup Salim di PT ANS tinggal 49%. Dengan masuknya unsur pemerintah, pengendalian dan pengawasan akan lebih mudah. ''Dengan demikian, kami bisa merekrut tenaga kerja setempat,'' kata Djamaloedin. Rencana Pemerintah ini terkesan simpatik. Namun, persoalannya tidak mudah. ''Kami telah berdialog dengan Menteri Kehutanan, tapi hasilnya tidak seperti yang diharapkan,'' kata Albert, tanpa merinci. Tampaknya, gejolak Yamdena dalam waktu dekat akan tinggal riak-riak yang juga akan segera lenyap. Apakah hutan Yamdena akan turut lenyap seperti dikhawatirkan oleh ICTI itulah yang kelak menjadi taruhan bagi Djamaloedin dan Komisi IV DPR RI. Bambang Aji, A. Kukuh Karsadi, dan Sri Wahyuni
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini