PAMERAN berjudul ''Paris-Metro'' di Galeri Cipta, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, sebuah pameran foto yang istimewa. Bukan karena 30 foto hitam-putih yang dipamerkan luar biasa, tapi karena foto itu dibuat oleh Yudhi Soerjoatmodjo. Ia satu di antara sedikit fotografer yang merenungkan makna fotografi dan, menurut saya, bisa diharapkan menghasilkan karya foto seni rupa kontemporer. Pameran Yudhi, yang dibuka Selasa pekan lalu, menampilkan foto yang dibuatnya pada tahun 19851987 di Paris. Koleksi ini kumpulan karya lama yang tidak lagi mencerminkan kecenderungan Yudhi sekarang. Ia sendiri mengaku, foto-foto ini dibuatnya ketika ia masih pemula. ''Waktu itu saya baru saja punya kamera,'' katanya. Maka, sebenarnya agak sulit menilai pameran yang merupakan kerja sama dengan Pusat Kebudayaan Perancis ini. Terutama karena saya pernah melihat esai-esai fotonya, misalnya Meat & Co yang dipamerkan di Jakarta Art & Design Expo tahun lalu, yang mencerminkan konsep Yudhi sekarang. Koleksi Paris-Metro bukan esai foto. Namun, di sebaliknya bukan juga sekadar foto Paris. Pengambilan foto-foto Paris-Metro ini adalah bagian dari penjelajahan Yudhi mengenali sudut-sudut Paris. Karena itu, terlihat ada upaya memahami latar belakang foto yang dibuatnya. Paris yang tergambar pada foto-foto Yudhi memperlihatkan citra yang personal, jauh dari reportase yang berusaha membangun gambaran Paris. Foto berjudul Penabuh Genderang, misalnya. Tidak ada atribut Paris pada foto itu. Yang tampil sebuah grup marching band amatir dalam sebuah keramaian, kebetulan di Place Republique, Paris. Fokus foto ini adalah seorang ibu berwajah kocak menggendong tambur bas yang besar. Di sisinya seorang anak kecil dengan seragam sama berjalan mengikuti si ibu. Di latar belakang, berjajar, seorang pria dewasa yang amatirannya nyata sekali dan anak-anak remaja. Semuanya memakai seragam marching band seperti si ibu. Foto yang cuma merekam grup marching band itu menunjukkan perhatian Yudhi, sangat mungkin, memang cuma pada orang-orang dalam kelompok itu. Dan ini hal yang istimewa pada foto itu. Pendapat saya, rekaman Yudhi membangkitkan kesan bahwa gerombolan marching band amatir itu sebuah keluarga, dan si ibu, yang menggotong genderang terbesar, memimpin rombongan. Barisan yang amburadul, dan wajah si ibu, yang dengan kocak menatap kamera, mengesankan sebuah kegembiraan keluarga. Namun, corak foto semacam itu, kendati bagus, tidak istimewa. Sama dengan foto yang sudah sering dipamerkan, dan dijuluki bercorak human interest. Sebagian besar foto yang ditampilkan Yudhi pada Paris-Metro mengacu ke citra fotografi itu wanita tertidur di stasiun Metro bawah tanah (Metro Terakhir), kakek dan cucunya di gerbang makam (Makam Montmartre), bioskop erotik yang ditempeli poster film The Ten Commandments (Erotika). Foto semacam itu berusaha merekam suatu peristiwa yang istimewa, lucu, menyentuh, indah, tragis, dan sebagainya. Faktor kebetulan (yang menggambarkan parodi, ironi) pada foto semacam ini menjadi utama. Misalnya, karya Yudhi Curiosites. Di sini terlihat dua polisi sedang mengamati barang di toko bernama ''Curiosites'', yang artinya: rasa ingin tahu. Kebetulan yang lucu, kan? Atau, Nyonya yang Sangat Mencintai Anjing, yang menggambarkan seorang wanita sedang menggembalakan dua anjing Dalmatian kesayangannya, tapi ia sendiri mengenakan jaket kulit macan tutul. Foto ini bertanya, apa betul Anda penyayang binatang. Pada pembuatan foto semacam itu, fotografer dibayangi keinginan mengisi foto mereka dengan sesuatu yang mahapenting. Tujuannya mengisi nilai, mengangkat harkat foto yang dibuatnya bukankah foto juga memperlihatkan keindahan rupa? Kecenderungan semacam ini sedikit-banyak dibayangi citra ''seni'' yang sangat umum, atau malah awam, bahwa barang seni adalah barang bernilai. Namun, ada benang merah pada foto-foto Yudhi yang menyambung Paris-Metro, esai-esai fotonya, dan pandangannya tentang fotografi yang dikemukakannya kepada saya. Benang merah itu adalah pendekatan konsepsional dalam memanfaatkan kemungkinan kamera foto adalah hasil kerja pikiran. Pada foto-foto Paris-Metro, misalnya, ia tidak terlalu mengeksploitasi aspek penampilan foto, misalnya perhitungan cahaya, komposisi, dan efek laboratorium. Foto-fotonya tampak sederhana dari sisi ini, tapi, bila diamati, memperlihatkan perenungan yang jejaknya justru tidak terlalu nyata pada fotonya. Bila dibandingkan, dunia fotografi kita terkategori baru sampai pada eksploitasi penampilan itu. Bahan pembicaraan fotografi, pameran, maupun kritik fotografi biasanya berputar-putar sekitar masalah komposisi, yang pada akhirnya hanya mempersoalkan citra keindahan yang stereotip. Ini menandakan fotografi kita masih dibayangi citra foto yang sangat tua. Keindahan salon awal perkembangan fotografi, ketika fotografi masih menjadi kegiatan mahal dan menandakan kemewahan. Pada tahun 1920-an, esais terkenal Walter Benjamin mengecam foto sebagai media citra borjuistis, sama seperti lukisan potret para raja dan pangeran. Pada masa kini fotografi sudah milik semua orang. Kamera kacangan, cuci-cetak 24 jam, telah membuat fotografi menjadi gejala sosial. Maka, mestinya sudah bangkit citra lain tentang fotografi. Pendekatan konsepsional Yudhi bisa dilihat sebagai kecenderungan meninggalkan semua citra fotografi yang sudah umum itu yang salon, yang seni, yang human interest. Sebuah esai yang ditulisnya dalam rangka pamerannya ini menunjukkan ia sedang memikirkan kembali, secara mendasar, apa sebenarnya sebuah foto. Dalam perkembangan fotografi, pemikiran semacam itu sebenarnya tidak punya pretensi menempatkan foto sebagai karya seni justru mendapat perhatian di lingkaran seni rupa kontemporer. Awalnya terlihat di Amerika Serikat, ketika pada tahun 1970-an muncul perhatian terhadap foto-foto yang dibuat fotografer generasi sesudah Perang Dunia II. Gejala tersebut menjadi nyata ketika Museum of Modern Art, New York, pada tahun 1972 menyelenggarakan pameran retrospektif Diane Arbus. Fotografer wanita ini dikenal menghasilkan foto-foto yang memperlihatkan gejala politik, gejala sosial, gejala psikis, catatan sejarah, dan juga ekspresi pribadi. Esais Susan Sontag tercatat sebagai kritikus yang mula-mula memikirkan kembali apa sebenarnya sebuah foto. Karya foto Arbus memang merangsang pemikiran ini. Gambaran depresif pada foto-fotonya tidak bisa disangkal memperlihatkan simbol-simbol yang personal Arbus sendiri mati bunuh diri. Namun, tidak bisa disangkal pula, terdapat ekspresi sosial pada foto-fotonya. Dan yang paling mengejutkan Sontag, karya-karya Arbus yang menggambarkan kepahitan itu disukai masyarakat. Jadi, sesungguhnya karya seni rupa masyarakat. Dalam perkembangan seni rupa kontemporer, karya-karya Diane Arbus pernah dipamerkan di Venice Biennale mewakili Amerika Serikat tercatat sebagai salah satu pembentuk arus kembalinya seni rupa ke kepedulian sosial. Pada masa kini, ekspresi sosial sudah merupakan kecenderungan nyata dalam seni rupa kontemporer di mancanegara. Sementara itu, fotografi merupakan bagiannya yang tidak terpisahkan. Di Indonesia, kita masih harus menunggu kelanjutan Paris-Metro. Jim Supangkat
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini