Sekitar 20 ribu penduduk Palembang hidup di atas pipa bertekanan tinggi. Bocor selubang jarum saja bisa menghancurkan mereka. TIGA kali dentuman keras membahana di Dusun III, selepas isya, Kamis 18 April silam. Ledakan di Desa Panta Dewa, Kecamatan Talang Ubi, Kabupaten Muaraenim, Sumatera Selatan, itu diikuti lambungan bola api setinggi hampir 50 meter dari Sungai Bayas yang melintas di dusun itu. Kobaran api yang menyala di seluruh permukaan sungai itu hanya berlangsung dua menit, tetapi tujuh orang penduduk yang sedang membawa lampu petromaks di tengah sungai menjadi korban. "Saya melihat tubuh orang-orang itu menyala-nyala seperti obor, berlarian ke sana kemari sambil meraung-raung kesakitan," tutur Muryati Saleh, salah seorang saksi mata. Tujuh orang yang terbakar itu -- hingga pekan lalu mereka masih dirawat di RS Pertamina, Pendopo -- sebetulnya sedang mencari tiga anak yang hilang di sungai sejak siangnya. Tiga anak itu sendiri baru diketahui nasibnya menjelang tengah malam. Jasad mereka ditemukan di dasar sungai. Biang kerok musibah ini adalah pipa gas milik Pertamina yang melintas di atas Sungai Bayas. Pipa bertekanan 300 psi itu rupanya bocor, dan gas alam yang menerobos keluar menyebabkan ikan mabuk dan mengambang. Penduduk segera berebut menangkapinya, tetapi bau busuk yang tersebar membuat mereka menyingkir. Hanya tiga bocah itu yang terus bertahan dan gas yang melayang-layang di udara akhirnya menjemput nyawa mereka. Pipa pembawa maut itu (kini sudah digantikan pipa baru), menurut Pertamina, telah lulus tes pada tekanan 1.200 psi. Pipa yang dipasang tahun 1971 itu sebenarnya sudah pernah tiga kali bocor. Memang, tidak pernah ada korban, tapi salah satu tambalan itu rupanya sudah aus dan baru kini makan korban. Kebocoran ini mengherankan pimpinan umum Pertamina Sumbagsel (Sumatera bagian selatan) Mudjihartomo karena pipa tersebut baru saja dicek dan kondisinya baik. Tugas pengecekan ini dilakukan dengan tenaga manusia dan baru 3-5 tahun sekali dipakai peralatan canggih. "Aneh, kok tiba-tiba bocor. Tapi, sepandai-pandai tupai meloncat toh bisa jatuh juga," katanya pada Aina Rumiyati Aziz dari TEMPO. Padahal, tak hanya penduduk Dusun III saja -- jumlahnya 600 jiwa -- yang bergantung pada tupai tadi, tapi masih ribuan jiwa penduduk Palembang bernasib serupa. Mereka adalah penduduk yang bertempat tinggal di dekat atau malah di atas pipa Pertamina tersebut. Sebenarnya, ketika membangun pipa berisi gas alam untuk bahan baku PT Pusri tahun 1965, Pertamina sudah memikirkan keselamatan penduduk. Pipa dilewatkan pada daerah yang jauh dari permukiman dengan kedalaman 1-2 meter. Tanah di tempat pipa ditanam juga dibebaskan sepanjang 10 meter di kiri-kanan pipa. Selain itu, dipasang berbagai tanda peringatan agar orang berjaga-jaga di sepanjang pipa. Isinya imbauan agar penduduk tidak membuat api, mendirikan bangunan, melintas bagi pengendara berat, membuat galian tanah, membuang sampah, menimbun barang/bahan bangunan, dan mengubah posisi pipa. Usaha ini perlu dilakukan karena gas yang melalui pipa itu berbahaya. Gas alam yang mengalir itu sifatnya berat. Dalam suhu dingin, gas ini akan mengumpul. Namun, dalam temperatur tinggi ia mudah menguap. Gas ini tak terlihat, tetapi bisa dikenali dari baunya yang menusuk dan bisa membuat pingsan orang yang menghirupnya. Yang berbahaya, gas ini amat sensitif pada api. Percikan api sedikit saja akan menimbulkan ledakan hebat. Untuk mecegah gas menyerobot keluar, dipakai pipa baja setebal 8 inci untuk menghubungkan kilang minyak Pendopo sampai PT Pusri, sejauh 115 kilometer. Tekanan dari sumber 350 psi dan menurun sampai 150 psi di tujuan. Pipa baja lainnya membentang sepanjang 220 kilometer dari Prabumulih sampai Palembang. Tekanan yang dipakai 750 psi di Prabumulih, dan menjadi 450 psi di PT Pusri. Dengan sifat yang dimiliki dan tekanan sedemikian besar, menurut seorang teknisi Pertamina, kebocoran pipa sebesar jarum saja sanggup menghancurkan tubuh manusia. Bahkan, bisa melemparkan kendaraan di atasnya. Namun, pada 1980 di sepanjang jalur pipa gas utara dibangun jalan lingkar Palembang. Segera saja aktivitas di daerah itu meningkat. Berbagai bangunan tumbuh di jalur pipa yang panjangnya 20 kilometer tersebut tanpa mengingat risiko bahayanya. Dalam jalur rawan itu berdiri deretan rumah penduduk, warung, dan bengkel las. Tak hanya penduduk yang melanggar aturan, tetapi pintu gerbang rumah gubernur Sumatera Selatan, dan halaman gedung kantor Kanwil Transmigrasi juga ada di jalur itu. Yang lebih parah, di sana dibangun pula sebuah pompa bensin. Diperkirakan, sekitar 20 ribu jiwa yan tersebar di Kota Madya Palembang tinggal di atas pipa itu. Kepala Dinas Tata Kota Palembang, M. Iskandar Yunus, mengakui bahwa banyak bangunan tanpa izin di jalur pipa itu. Namun, katanya, sewaktu-waktu bangunan itu akan dirazia. Mengenai bangunan yang jelas mempunyai IMB, Iskandar berjanji akan mengecek perizinannya. Kemungkinan bocornya pipa sebenarnya membuat para warga di jalur itu selalu waswas. Misalnya, Marzuki HS, pensiunan pegawai pemda yang rumahnya hanya berjarak enam meter dari pipa tersebut. "Kami mesti berbuat apa? Yang jelas, rumah saya ini memiliki IMB, jadi tentunya sudah masuk dalam master plan pembangunan kota," ujarnya. Tentang adanya pompa bensin itu, Iskandar menyatakan izin datang dari Pertamina. "Pemda kan cuma memberi izin lanjutan setelah ada lampu hijau dari Pertamina," ujarnya kepada Taufik T. Alwie dari TEMPO. Diah Purnomowati
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini