Surat dari Redaksi ADA berita gembira bagi TEMPO. Pekan lalu, dua orang staf kami, Toeti Kakiailatu dan Prijanto S., dinyatakan sebagai pemenang lomba karya jurnalistik PWI. Toeti memperoleh Trofi Adinegoro PWI Jaya bidang Pembangunan Nasional lewat tulisan "Pulau Buru Mulai Bersinar" (Selingan, 24 Maret 1990). Karikaturis Prijanto S. meraih gelar juara III lewat karikatur tentang TKW yang dikirim ke luar negeri (Opini, 10 Maret 1990). Tulisan yang menobatkan Toeti sebagai peraih Trofi Adinegoro adalah sebuah reportase perjalanan tentang kehidupan di Pulau Buru sepeninggal para tahanan politik G-30S-PKI. "Ternyata, setelah tahun-tahun berlalu, permukiman yang dulu rimba dan rawa itu berubah. Buru telah menjadi kawasan pertanian subur dengan penduduk yang cukup sandang pangan," tulis Toeti dalam laporannya . Untuk membuat laporan panjang itu, Toeti selama seminggu harus menelusuri separuh lebih dari 16 lokasi permukiman penduduk. "Capeknya bukan main, tapi rasanya puas," komentar Toeti. Sejak bergabung dengan TEMPO, 1971, Toeti memang lebih suka terjun ke lapangan daripada duduk di belakang meja. Sifat petualangan itu pula yang membawanya ke Kamboja pada awal 1970-an, saat situasi politik di sana sedang hangat, tanpa rasa takut. Dua bulan Toeti mukim dan meliput berita di situ. Pada 1975, saat Irian Jaya diguncang gempa hebat, Toeti minta ditugasi meliput peristiwa tersebut. Padahal, ketika itu, ia tahu bahwa transportasi di Irian Jaya tak lancar. Toeti tak kurang akal. Agar bisa meliput ke lokasi gempa, di lereng Gunung Jayawijaya, ia nekat mendompleng pesawat milik zending (misionaris) yang mengangkut bahan makanan ke sana. "Saya hanya sempat membawa sarung, kutang, dan celana dalam. Pakaian lain tertinggal di hotel," cerita Toeti. "Untung, ada rekan tentara yang meminjamkan baju lorengnya buat salin." Ia, waktu itu, berhari-hari harus bermalam di tenda, berbaur dengan penduduk yang terkena musibah, dan ikut membantu memasak di dapur umum. Apa komentar Toeti tentang hadiah Adinegoro yang diterimanya? "Saya merasa surprise. Pada mulanya tak percaya, saya pikir ini pekerjaan teman-teman kantor yang dari dulu suka iseng," kata Toeti. Kini, Toeti, ibu tiga anak, sudah tak penuh lagi bekerja sebagai wartawan. Ia saat ini sibuk menyelesaikan tesis doktornya pada University of British Colombia, Kanada. Namun, di sela-sela kesibukannya -- ia juga mengajar Bahasa Indonesia di Capilano College Vancouver -- Toeti masih sempat mengirimkan laporan untuk TEMPO. Kemenangan Toeti itu sekaligus merupakan tantangan bagi kami. Selama ini wartawan TEMPO tak pernah mendapat Trofi Adinegoro untuk sebuah karya tulis karena laporan-laporan yang kami turunkan ditulis secara kolektif, sedangkan lomba mensyaratkan karya tunggal. Akan halnya Prijanto, sekalipun sehari-hari menjabat Ketua Program Studi Desain Grafis, Fakultas Seni Rupa ITB, sejak 1977 hampir tak pernah absen membuat karikatur untuk rubrik Opini. Bahkan ayah lima anak ini sudah empat kali memenangkan peng- hargaan PWI Jaya. Resep kemenangannya? "Saya sendiri nggak tahu. Prinsip saya, membikin karikatur sebaik-baiknya," kata Pri. Ia mengaku karikaturnya selalu diilhami berita-berita koran.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini