Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ketika senja sudah turun, Rusmiyanti memulai sebuah ritual. Bersama suami dan ketiga anaknya, ia menempati rumah yang terbuat dari bambu, sebuah rumah bantuan lembaga swadaya masyarakat. Dan jika matahari sudah muncul, keluarga ini pindah kembali ke rumah di Dusun Sindet, Trimulyo, Jetis, Kabupaten Bantul, Yogyakarta, yang belum selesai diplester. Rumah itu terletak persis di depan rumah bambu.
Pindah-pindah tempat mereka lakoni setelah lindu menggoyang Yogyakarta pada 27 Mei tahun lalu. Gempa yang terjadi ketika hari masih gelap membuat anak bungsunya, Ichwan Budi Purwanto, tertimpa rumah yang roboh. Anak berusia tiga tahun itu terluka parah. Trauma terus menghantui keluarga ini. Apalagi gempa susulan dengan goyangan yang lebih kecil masih terjadi hingga kini. ”Kami pasrah saja sama Yang Kuasa. Kalau masih diberi hidup, pasti selamat,” kata Rusmiyanti, 37 tahun, kepada Tempo, Selasa pekan lalu.
Rusmiyanti dan suaminya, Sumarma, menerima bantuan pembangunan rumah dari pemerintah. Dari Rp 15 juta yang dijanjikan, mereka telah menerima Rp 12 juta. Ditambah utang sana-sini, kini rumahnya yang roboh sudah tegak kembali. ”Kami membangun rumah ini sesuai dengan arahan Kelompok Masyarakat, menggunakan besi 10 milimeter gemuk,” katanya.
Kelompok Masyarakat adalah kumpulan warga korban gempa di tingkat dusun. Mereka menjadi penghubung dengan pemerintah atau lembaga pemberi bantuan. Rumah Darto Harjono di Karangsemut, Trimulyo, Kecamatan Jetis, dan kediaman Usman di Keputren, Wono-kromo, Pleret, juga mendapat bantuan.
Menurut Darto, Kelompok Masyarakat menyarankan agar rumah ukuran 5 x 7,5 meter persegi miliknya dibangun dengan fondasi tahan gempa. Bupati Bantul Idham Samawi menjelaskan, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada, setiap hari menerjunkan tiga mahasiswa. ”Mereka memberikan penyuluhan kepada warga bagaimana membuat rumah tahan gempa,” ujar Idham. Penyuluhan ini sangat diperlukan. Maklum, Desa Trimulyo berada di atas sesar atau patahan Opak. Hampir semua bangunan di wilayah ini roboh ketika gempa menggoyang tahun lalu.
Memang, berdasarkan penelitian yang dilakukan Jurusan Teknik Geologi, Fakultas Teknik UGM, kawasan itu berada di zona merah. Area ini memiliki kerentanan yang sangat tinggi terhadap gempa bumi. Selain itu, ada zona merah jambu yang memiliki kerentanan tinggi, zona biru menengah, dan terakhir zona hijau yang memiliki kerentanan rendah.
”Secara umum, penelitian itu menunjukkan zona tanah di Bantul sensitif merespons getaran yang berada di kedalaman kurang dari 30 meter,” kata Salahuddin Hussein, dosen Jurusan Teknik Geologi UGM. Selain Salahuddin, bergabung juga Dwikorita Karnawati dan Subagyo Pramumijoyo.
Mereka juga bekerja sama dengan jurusan lain di Fakultas Teknik UGM dan Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kegunungapian. Selain itu, juga dengan BMG Yogya, Kyushu University, Kyoto University, dan California Seismic Safety Commission, AS.
Sejak Agustus 2006, gabungan peneliti tersebut melakukan serangkaian penyelidikan dan pemetaan wilayah. Untuk mengetahui kondisi bawah permukaan bumi, tim mengebor sembilan titik sedalam 400 meter. Selain itu, mereka melakukan pemetaan lewat analisis foto udara dan citra satelit dengan resolusi tinggi, survei georadar, mikrotremor, dan survei lainnya.
Dari serangkaian riset mereka membuat peta zona kerentanan tanah di Bantul yang baru rampung pada akhir Februari. Peta ini sangat berguna karena bisa jadi acuan untuk memperhitungkan potensi tingkat kerusakan bangunan saat terjadi gempa bumi. ”Juga, dapat dimanfaatkan sebagai acuan membuat konstruksi bangunan di wilayah itu,” ujar Salahuddin.
Menurut Salahuddin, kawasan yang paling rentan berada di Bantul sebelah timur, terutama di sepanjang Sungai Opak. Ada beberapa faktor penyebab. Pertama, jenis tanah endapan sungai ini berupa pasir kerikil yang sifatnya lepas-lepas dan tebal. Tanah jenis ini cenderung tidak memiliki kohesi atau ikatan antarbutiran yang kuat sehingga mudah bergetar ketika dilalui gelombang gempa.
Sebab kedua, kehadiran zona patahan yang sensitif, sehingga ikut bergetar ketika terjadi gelombang gempa melalui zona patahan. Ketiga, hadirnya air bawah tanah dangkal yang dalamnya kurang dari lima meter dari permukaan tanah. Kondisi ini sangat sensitif dan mengakibatkan likuifaksi atau gerakan tanah disertai munculnya air dan aliran pasir atau lumpur. Likuifaksi ini cenderung menghilangkan kohesi sehingga kemampuan tanah menopang beban sangat lemah atau bahkan hilang. Keempat, memiliki jarak suatu zona dari pusat gempa bumi yang kira-kira berada di sekitar patahan Opak.
Sayangnya, peta zona ini baru selesai setelah sebagian besar warga korban gempa membangun rumahnya. Menurut Idham Samawi, 60 persen rumah korban gempa sudah berdiri kembali. Dia mengaku belum mendapatkan peta zona hasil penelitian Jurusan Teknik Geologi UGM. Dia menyayangkan pemberitaan media massa yang menyebutkan bahwa penduduk yang berada di zona merah harus direlokasi. ”Saya tidak akan merelokasi dan warga juga tidak setuju,” katanya.
Idham merujuk Kota Kobe di Jepang yang terletak di kawasan rawan gempa namun warganya tidak pindah. Apalagi, dia mendapat kabar bahwa gempa besar di Bantul baru akan terjadi seratus tahun mendatang. Pemerintah daerah, katanya, akan membuat buku panduan teknis yang bisa dibaca anak-anak. Isi buku itu tentang seluk-beluk gempa dan cara menyelamatkan diri. ”Ini penting agar generasi mendatang tahu dan secara mental lebih siap,” katanya.
Antisipasi juga dilakukan Jurusan Geologi, Fakultas Teknik UGM. Mereka kini meneliti patahan atau sesar Progo yang bersama sesar Opak masih aktif di bawah tanah Yogyakarta dan Jawa Tengah. Van Bemmelen dalam bukunya, Geology of Indonesia, terbitan 1949, menulis soal gempa besar berkekuatan 8 Magnitude yang menggoyang jalur selatan pantai Jawa Tengah.
Gempa yang terjadi pada 1943 membuat hancur 15 ribu rumah di wilayah Bantul sampai Cilacap. Bangunan yang terletak di sepanjang sesar Progo rata dengan tanah. Ketika itu, warga yang meninggal 243 orang. ”Kami masih kaji ulang patahan Progo ini,” kata Salahuddin. Dia mengakui data sejarah gempa di Jawa sangat minim sehingga menjadi kendala penentuan interval gempa.
Untung Widyanto, L.N. Idayanie
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo