Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tiga tahun silam, ia seorang calon Wakil Presiden Indonesia. Kini, ia bergerak di dataran lain, dengan misi luhur: meredupkan konflik Syiah-Sunni, juga Hamas-Fatah. Paling tidak, membukakan pintu-pintu dialog, menghidupkan jalur-jalur komunikasi.
Ia Ketua Tanfidziyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, KH Hasyim Muzadi. Ia terbang ke Timur Tengah, berbicara dengan sejumlah ulama dua aliran besar Islam itu, dan mereka berjanji akan datang ke Bogor, menghadiri pertemuan Syiah-Sunni, 2-3 April mendatang, di Istana Bogor. Sebuah pertemuan yang diselenggarakan Departemen Luar Negeri.
”Kalau perdamaian hanya lewat pemerintah formal, belum tentu berhasil, karena ulamalah yang menggerakkan massa di lapangan,” kata Hasyim.
Politisi yang juga memimpin Pesan-tren Al-Hikam, Malang, ini memang peduli terhadap dunia Islam. Tiga tahun silam, Sekretaris Jenderal International Conference of Islamic Scholar ini memotori konferensi internasional yang melibatkan 300 intelektual—120 di antaranya dari luar negeri—di Jakarta. Ia melihat dunia yang tegang. Dunia setelah tragedi 11 September 2001: Amerika Serikat menyerang Irak tanpa mandat Perserikatan Bangsa-Bangsa, dan negara-negara Islam sengsara dan tertekan.
Kini, pukulan kedua: konflik Sunni-Syiah yang meletup di Irak, yang dikhawatirkan menyebar ke seantero Timur Tengah. Pertemuan serupa di Qatar, Januari silam, berakhir tanpa hasil. Bahkan terobosan diplomatik seperti pertemuan Presiden Iran Mahmud Ahmadinejad dengan Raja Arab Saudi Abdullah menerbitkan ironi lebih besar. Dua hari setelah mereka berpelukan di depan kamera, 10 ribu warga Syiah yang akan berziarah ke Karbala diserang bom bunuh diri. Tercatat 90 orang tewas dan 160 orang luka-luka.
Angin pertikaian itu bertiup sampai jauh, dari konflik organisasi Hamas-Fatah di Palestina hingga penyerangan rumah orang Syiah di Detroit, Amerika Serikat. Dari situ, Hasyim dipanggil Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, 27 Januari lalu. ”Kata Presiden, tugas saya menemui para ulama atau orang yang berpengaruh terhadap konflik, sementara Menteri Luar Negeri berhubungan dengan pemerintahnya,” katanya.
Hasyim Muzadi menangkap banyak hal dari lawatannya ke Timur Tengah. Pekan lalu, di kantor PB Nahdlatul Ulama, Jalan Kramat Raya, Jakarta, ia menerima Herry Gunawan dari Tempo. Berikut ini petikan wawancaranya.
Pertemuan Sunni-Syiah di Qatar hanya menghasilkan perdebatan. Yusuf Qardawi (Sunni) dan Syekh Ayatullah Ali Tashkhiri (Syiah) saling lempar tudingan….
Konstelasi yang dibangun pada pertemuan itu tidak tepat. Sebab, yang dibicarakan adalah perbedaan antara Syiah dan Sunni. Akhirnya perang pendapat. Sunni dan Syiah dari dulu memang berbeda. Biarkan saja, jadi nggak usah diperbincangkan lagi.
Bukankah hal serupa bisa terjadi dalam pertemuan di Bogor nanti?
Kami ingin mengecek apakah betul konflik yang terjadi adalah antara Sunni dan Syiah. Kami tidak ingin ada kekacauan pada umat Islam. Inilah yang mendasari gagasan dialog tersebut. Ada perwakilan dari pemerintah serta ulama berpengaruh dari Sunni dan Syiah. Rata-rata sudah menyampaikan minat untuk datang.
Menurut Anda, apa sih yang terjadi di Irak?
Konflik Sunni dan Syiah di Irak terjadi setelah serbuan Amerika. Nah, ketika terjadi kekacauan akibat agresi, isu Syiah dan Sunni diangkat sebagai faktor utama konflik atau pihak yang bertikai. Menurut saya, pada babak ini Amerika memasuki wilayah yang sa-ngat berbahaya, karena bisa timbul kekacauan di mana-mana.
Anda telah menyebut Amerika sebagai pemicu konflik. Alasannya?
Dalam perjalanan ke sejumlah negara Timur Tengah, saya bertemu dengan tokoh Syiah dan Sunni. Semuanya tidak percaya bahwa yang terjadi adalah bentrok Sunni dengan Syiah secara ideologis. Mereka meyakini ada manuver intelijen dari luar yang membenturkan mereka.
Seperti apa permainan intelijen itu?
Saya tidak tahu persis. Yang jelas, konflik Syiah dan Sunni sudah berabad-abad tidak terjadi. Setelah agresi Amerika, lahir konflik horizontal itu.
Anda begitu yakin bahwa konflik yang terjadi bukan gara-gara ideologi Sunni dan Syiah. Mengapa?
Ingat, Sunni dan Syiah sudah ada di Irak sejak berabad-abad lalu. Tempat suci orang Syiah ada di lingkungan orang Sunni, seperti makam Sayidina Ali. Begitu juga sebaliknya, tempat yang dianggap bersejarah orang Sunni ada di komunitas Syiah. Lo, tiba-tiba sekarang ada bentrok. Saat Masjid Sayidina Ali dibom, orang menganggap yang melakukannya Sunni. Ketika Masjid Syekh Abdul Qadir Jaelani juga dibom, yang dianggap melakukannya Syiah.
Jika menurut Anda akar konflik yang lebih dominan adalah politik, mengapa pertemuan Presiden Iran Mahmud Ahmadinejad dengan Raja Abdullah dari Arab Saudi tidak berpengaruh….
Di Timur Tengah ada dua kekuatan yang berpengaruh: kekuatan pemerintah secara formal dan kekuatan ulama di lapangan. Kalau perdamaian hanya lewat pemerintah formal, belum tentu berhasil, karena ulamalah yang menggerakkan massa di lapangan.
Ada contoh konkret soal ini?
Misalnya di Libanon. Ada Nasrullah yang memimpin Hizbullah. Kekuatannya 10 kali lipat dari kekuatan tentara reguler Libanon. Itu belum menghitung warga, yang menurut saya sebagian besar adalah ”Hizbullah”. Di Irak, ada kekuatan Syiah yang dipimpin Muqtada al-Sadr, yang sudah pasti tidak tunduk kepada pemerintah. Pertanyaannya: siapa yang bisa bilang ke mereka bahwa pertikaian bisa menghancurkan Islam? Jelas bukan pemerintah.
Menurut Anda, mengapa konflik Syiah dan Sunni selalu terjadi di negara-negara Timur Tengah?
Ya, ini kan masalah giliran. Perhatikan, ketika Saddam menyerang Iran, duitnya kan dari Amerika. Karena Saddam doyan menyerang, kemudian Kuwait diincar. Akhirnya, Irak sendiri yang diserang Amerika. Kemudian Palestina, Afganistan, bahkan Saudi sendiri dipersoalkan Wahabi-nya.
Apa maksudnya?
Begini. Karena semua negara itu sudah digilir (jadi sasaran Amerika), kemungkinannya kan ada dua: hancur semua atau punya kesadaran bersama. Tampaknya, yang terjadi yang kedua itu.
Indikasinya?
Gampang. Presiden Iran Ahmadinejad bisa diterima Arab Saudi. Itu tidak bakal terjadi dulu.
Di luar Irak, Syiah disebut-sebut dalam konflik Hamas-Fatah. Bagaimana Anda menjelaskan ini?
Hamas diberi bantuan oleh Iran. Ini masalah politik. Mereka punya kesamaan, yaitu tidak suka dengan (keterlibatan) Amerika di Palestina. Hamas dianggap teroris. Kemudian Amerika memberikan bantuan ke Fatah untuk menyingkirkan Hamas.
Anda pernah bertemu dengan orang Hamas?
Ya, pada 4 Februari, saya bertemu dengan Khaled Meshaal (pemimpin Hamas di pengasingan, di Damaskus). Obrolan berlangsung satu setengah jam, kemudian makan-makan gaya Arab. Saya tanya, ”Mengapa Anda berbenturan dengan Fatah?” Jawaban dia seperti tadi: ada Barat di belakang Fatah.
Apa lagi yang Anda bicarakan dengan Khaled?
Saya sampaikan, ”Ketika Anda masih memelihara peperangan, itu artinya Anda mengerek bendera putih, tanda menyerah pada keinginan penjajah. Sebab, penjajah itu hanya takut pada persatuan.” Saya sampaikan juga, ”Jangan berharap penjajah berbuat amal saleh, karena tujuannya cuma satu, memecah belah.”
Apa jawabnya?
Dia langsung bilang, ”Insya Allah, saya pikirkan saat umrah.” Sehari setelah pertemuan itu, Khaled langsung melaksanakan umrah dengan Mahmud Abbas (Presiden Otorita Palestina, dari sayap Fatah). Di Mekkah itulah terjadi kesepakatan perdamaian. Tempatnya difasilitasi oleh Raja Abdullah, walaupun pemimpin Arab Saudi ini tidak ikut pertemuan. Setelah pertemuan itu, anak buah Khaled Meshaal menelepon saya dan menyampaikan terima kasih.
Sekarang bayangkan saja ada perdamaian Sunni-Syiah di Irak. Apa yang bakal terjadi kemudian?
Setidaknya, Amerika tidak akan lagi bisa berbicara bahwa pertikaian ini urusan Sunni dengan Syiah, bukan urusan gue. Sekarang kan ia bisa bilang, ”Kami (Amerika) datang ke sini (Irak) untuk mendamaikan Anda.” Seolah-olah jadi pahlawan.
Pertemuan dengan siapa yang sangat berkesan bagi Anda?
Ya, saya bertemu dengan seorang ibu di Libanon. Setelah saya tanya apa kabar, dia langsung bertutur, ”Alhamdulillah, Syekh, anak saya ada enam. Bapaknya sudah syahid (melawan Israel), begitu juga lima anak saya. Saya akan mengantarkan yang satu lagi ini untuk syahid juga. Setelah itu, baru (giliran) saya.” Luar biasa. Itulah yang terjadi di sana. Jangan bayangkan kondisi di Indonesia. Sebab, saya yakin semua warga Libanon itu Hizbullah.
Bagaimana hubungan Sunni dengan minoritas Syiah di Indonesia dewasa ini?
Ya, biarlah seperti sekarang. Sebab, walaupun saya ikut mendamaikan di Timur Tengah, itu bukan berarti saya sepakat Syiah masuk ke Indonesia. Mereka itu kan gerakannya sangat progresif.
Apa yang salah dengan itu?
Bukan itu. Maksudnya, di Indonesia ini kan mayoritasnya sudah Sunni. Kalau Syiah datang dengan kekuatan yang kemudian jadi kekuatan yang sama besar, potensi konfliknya kan tinggi. Ini yang tidak kita inginkan. Jadi, biarlah seperti sekarang, mereka beradaptasi.
KH AHMAD HASYIM MUZADI Lahir: Bangilan, Tuban, 8 Agustus 1944 Posisi: Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (1999-2004, 2004-2009) Pengalaman Politik: Calon Wakil Presiden pada Pemilu 2004 Pendidikan Akhir: Sarjana Institut Agama Islam Negeri Malang, Jawa Timur Bahasa asing yang dikuasai: Inggris dan Arab
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo