Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Petualangan Old Skull

Dewan Kesenian Jakarta menampilkan pameran komikus underground Yogya. Salah satunya adalah Athonk yang punker dan tukang tato. Karyanya mencuri perhatian.

19 Maret 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Beberapa bulan mendekam dalam penjara, komikus dan seniman tato Yogya, Athonk, malah menghasilkan karya-karya yang unik. Cuplikannya dapat dilihat dalam pameran 10 komikus underground Yogya di Taman Ismail Marzuki. Ia menampilkan tokoh yang diciptakannya pada 2001: Old Skull, saat ia menjalani kehidupan sehari-hari di hotel prodeo.

Inilah sosok tokoh kartun lain daripada yang lain. Penampilannya sangar. Parasnya tengkorak. Rambut bergaya Mohawk, runcing-runcing, tapi sebenarnya ia lugu. Sang tokoh kini meringkuk di balik terali besi, dan terlibat dalam penderitaan-penderitaan yang lucu. ”Banyak pengalaman yang saya peroleh selama di penjara,” kata Athonk yang bernama asli Sapto Rahardjo ini. Ia merencanakan ”edisi penjaranya” itu bakal terbit setebal 200 halaman pada pertengahan tahun ini.

Seorang pengamat dari Australia pernah menyebut komik-komik Athonk berjiwa zamisdat—mengambil istilah gerakan sastra bawah tanah yang muncul di Eropa Timur saat di bawah rezim komunis. Komik pertama Athonk, Bad Times Story, muncul pada 1990-an. Isinya kritik sosialnya atas pemilu dan agama. Ditampilkan dengan gaya rock ’n roll. Banyak kutipan teks-teks lagu dari grup-grup underground. Komik ini bisa disebut komik indie pertama, dijual di Yogya Rp 7.500, dan dicetak ulang ribuan kali. Saat itu mudah membelinya di kios-kios buku perkampungan turis di bilangan Sosrowijayan.

Lalu ia menciptakan sosok Old Skull, yang merupakan cermin dari gaya hidupnya sendiri. Sebagaimana dirinya, Old Skull ini adalah tukang tato. Athonk membuat seri komik strip Old Skull and Friends, kisah Old Skull melanglang buana. Salah satu kekuatan Old Skull dibanding tokoh-tokoh komik lain adalah unsur kosmopolitannya. Kita kenal ada Lat dari Malaysia yang menciptakan Kampung Boy atau G.M. Sudarta yang melahirkan Om Pasikom. Sementara Kampung Boy dan Om Pasikom cuma terlibat dalam situasi lokal, Old Skull banyak keluyuran ke bar, kafe, dan komunitas-komunitas underground Honolulu, New Orleans, Melbourne. Athonk memang kerap membuat komiknya di mancanegara.

Betapapun si Old Skull bertamasya ke mana-mana, karakter ”ndeso Yogyanya” masih kental. Suatu kali di depan pertokoan di Honolulu, Old Skull mendapat pizza gratis. Ia tak ngeh itu pizza dengan isi daging babi. Ketika tahu, ia kaget, wajahnya pucat. Pernah, di sebuah jalan yang sepi di kawasan Puck Alley, Hawaii, ia bingung ketika dihampiri seorang penceramah agama dan menyapanya: ”Do you like to talk about Jesus with me?”

Sebagian komik Athonk menggunakan bahasa Inggris. ”Tergantung sua-sananya, kadang campur bahasa Jawa,” kata dia. Inggris yang digunakannya dalam dialog juga bukan Inggris baku. Istilahnya ”Sosro Inggris”, yaitu Inggris yang didapat dari pergaulan Athonk dengan turis di Malioboro.

Punk dalam perspektifnya adalah spirit perlawanan abadi. Maka itulah, walaupun si Old Skull sepertinya fan Sex Pistols atau Ramones, ia juga ditampilkan menghirup aura flower generation 1960-an: Rolling Stones, Grateful Dead, Jimi Hendrix. ”Bagi saya, punk adalah cermin ketidakpuasan kondisi sosial dan ekonomi,” kata Athonk saat ditemui di bengkel tatonya, Eternity, di Jalan Selokan Mataram, Yogyakarta.

Awalnya Athonk membuat komik punk selagi ia mahasiswa Jurusan Grafis, Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta, saat ia kerap terlibat demonstrasi. Ia membuat komik-komik di kertas HVS, lalu difotokopi. Ia juga ikut membidani lahirnya Black Boots, sebuah grup musik beraliran punk yang kini punya cukup nama. Hanya, Athonk kemudian keluar dari grup itu.

Pada 1998, adik kelas Athonk sesama komikus, Bambang Toko (kini dosen ISI Jurusan Grafis) berusaha mengejek pilihan Athonk pada punk. Bambang menerbitkan komik dengan judul Bogel, the Failed Punker dengan tokohnya Bogel dan Athonk. Dalam komik itu, Bogel semula adalah seorang punk, tapi setelah sering dimarahi oleh Athonk, Bogel kemudian menarik diri dari dunia punk dan memilih menjadi seorang perenang.

”Komik saya tokohnya memang Athonk,” kata Bambang. Menurut Bambang, kritiknya sebenarnya diarahkan kepada banyak punker Yogya yang tak mengerti substansi punk. ”Saya sering menjumpai, misalnya, mereka mengenakan aksesori Ratu Elizabeth dari Inggris yang diparodikan, tapi mereka tidak tahu siapa Ratu Elizabeth itu,” kata Bambang.

Pernah suatu ketika, pada 1997, Fakultas Sastra UGM mengundang Black Boots manggung. Athonk ikut tampil dalam acara itu. Banyak punker Yogya yang datang. Bambang sendiri hadir bersama komikus asal Jerman, Anna Bloom. Tiba-tiba, Anna Bloom marah-marah, sebab ia melihat banyak punker menyematkan emblem dan pin Nazi. Dia memanggil beberapa punker dan mengatakan, ”Anda tahu apa soal punk? Saya sebagai orang Jerman tidak suka melihat atribut-atribut Nazi seperti ini.” Menurut Bambang, para punker itu tak bisa menjawab.

”Hanya sedikit yang paham tentang punk, Athonk adalah salah satunya,” kata Bambang. Dan di tangan Athonk, sosok Old Skull pun sadar akan isu mutakhir: dari hak asasi manusia sampai masalah ekologi. Semua itu diungkapkan Athonk dengan gayanya sendiri yang tak menggurui atau propagandis. Simak petualangan Old Skull dalam cerita Dead President. Dalam panil digambarkan Presiden Amerika Serikat, George Bush, yang jengkel karena tiap hari diteror telepon yang mengutarakan berbagai tragedi di dunia.

”Hey your jet fighter just bombed your own people in Kuwait,” kata si penelepon gelap suatu hari. ”It’s you again,” kata Bush, geram. Ternyata si penelepon adalah si Old Skull, yang kemudian kesal karena Bush tak kunjung berhasil mengatasi persoalan, lalu membentaknya: ”Mr. President let me take over all of this crisis!”

Seno Joko Suyono, Syaiful Amin

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus