Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Judulnya The Last Race. Menggambarkan seonggok jasad kuda yang hanya menyisakan bokong yang mencuat, ditopang dua kaki kering dan kaku. Sedang bagian lainnya hanya tersisa kulit yang layu dan kisut. Kepalanya tak lagi berisi dengan mata bolong dan moncong menghunjam gundukan pasir yang penuh jejak kaki kuda. Rasa ngeri, jijik, dan kasihan bercampur baur.
Bagi Ugo Untoro, 37 tahun, karya instalasinya yang dipamerkan di Taman Budaya Yogyakarta, 9–17 Maret, itu bukan saja mencerminkan suasana di arena balap kuda yang pedih. Ugo bercerita banyak tentang perjalanan eksploitasi kuda sepanjang masa.
Kuda sebenarnya adalah simbol paling ideal bagi manusia. ”Kecantikan, kegagahan, kecepatan, kesetiaan, dan kepekaan yang semuanya mewakili nafsu manusia,” ujar lulusan Fakultas Seni Rupa Institut Seni Indonesia ini. Kuda dibentuk menjadi hewan perang untuk melakukan ekspansi dan penjajahan. Dengan kuda, katanya, kekejaman manusia dilaksanakan lebih cepat dan efektif.
Pada karya berjudul Trojan ia menampilkan ironi. Kuda yang tadinya perkasa itu kemudian mengempis sehingga menyisakan keriput kulit yang tak berdaya dengan keempat kaki bertopang pada as roda dari kayu. Karya yang seolah hendak menunjukkan bahwa manusialah yang menguasai kuda, dari kulit hingga isi perutnya.
Nasib kuda paling buruk berakhir di rumah jagal. Dari rumah jagal di Kecamatan Imogiri, Yogyakarta, Ugo memperoleh 22 kulit kuda utuh dari ujung kaki hingga moncongnya seharga Rp 200 ribu per ekor. Ugo memanfaatkannya untuk karya seni rupa kontemporer menjadi sepatu bot dengan tali merah menyala dalam I’m ready dan tukang sate di Kabupaten Bantul, Yogyakarta, menghidangkannya jadi sate daging kuda. ”Sedap!” kata Ugo.
Poem of Blood adalah sajak tentang kuda setelah dibantai menjadi onggokan tubuh yang menggelembung digantung bak daging hewan di rumah jagal. ”Bentuk kuda itu puitis,” ujar Ugo. Masing-masing tubuh itu dicap dengan besi panas sebagaimana peradaban Barat memberi identitas pada setiap kuda. Terbayang asap mengepul ketika besi panas membakar kulit kuda dan berdengung jerit kesakitan yang menyayat.
Di dekatnya ada kuda putih bersayap bak malaikat yang terjerembap di atas ikatan jerami dengan sosok yang sudah kehilangan raga. Toh, kuda bersayap itu masih menyisakan keanggunan: It used to Be an Angel. Ugo juga mengabadikan keanggunan bentuk tubuh kuda di atas kanvas lewat sejumlah karya lukis.
Klimaks sepanjang lintasan tapak kuda itu: sejumput bulu cokelat tua di atas pundak terbenam dalam keabadian lima lapis beton massif pada karya berjudul Drowning History. Ugo bermain-main dengan persepsi visual, seolah di dalam beton itu terkubur tubuh kuda. Satu monumen kesaksian atas semua perilaku barbar manusia lewat sosok kuda.
Inilah pertama kalinya pameran di Indonesia yang sebagian besar mediumnya menggunakan bagian tubuh makhluk hidup, masing-masing dengan efek citraan yang mendekati suasana yang diinginkan kreatornya. Proses penciptaannya memang tak serumit bio-art yang kini digeluti perupa semacam Adam Zaretsky di Amerika Serikat.
Seniman bio-art menggunakan jaringan tubuh, bakteri, organisme hidup, dan proses nyata untuk menciptakan karya seni yang mengaburkan batas antara sains dan seni. Sebagian besar karya bio-art merupakan refleksi sosial, kritik sosial dan politik, lewat kombinasi proses artistik dan sains.
Ugo memulai dengan proses teknologi sederhana pengawetan jaringan kulit dan menghadirkannya ke publik. Namun, sebagaimana bio-art, medium yang ia gunakan digayuti kontroversi. Karya seni rupa Ugo ini tipis bedanya dengan produk mode yang menggunakan kulit binatang. Penggunaan medium kulit kuda bisa dianggap sebagai eksploitasi tubuh hewan. ”Ini hanya proses bermain-main,” katanya enteng.
Raihul Fadjri
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo