Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hitung cepat beberapa lembaga survei politik pada 27 November 2024, atau beberapa jam setelah pemilihan gubernur Jakarta, menunjukkan Pramono Anung unggul dibanding Ridwan Kamil. Calon dari PDI Perjuangan ini, di luar perkiraan, bisa menyalip elektabilitas Ridwan yang didukung koalisi besar dan berkampanye lebih dulu. Perhitungan Komisi Pemilihan Umum mengukuhkan kemenangan Pramono Anung.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hitungan KPU hingga akhir pekan lalu menunjukkan Pramono mendapat 50,07 persen suara. Artinya, menurut Undang-Undang Provinsi Khusus Jakarta, pemilihan kepala daerah hanya satu putaran. Pasal 10 ayat 2 UU itu menjelaskan apa yang disebut “50 persen + 1”. Ayat itu bukan 51 persen seperti keinginan pendukung Ridwan Kamil, tapi 50 persen suara plus 1 suara. Rasio 0,07 tentu lebih dari satu suara pemilih Jakarta.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Namun, sebagai jagoan penguasa, Ridwan Kamil tak tinggal diam. Dia didukung mantan presiden Jokowi dan Presiden Prabowo Subianto. Jumlah partai pendukungnya ada 13. Ridwan Kamil juga sudah tahan malu dihina pendukung Jakmania, pendukung klub Persija Jakarta. Soalnya, sebagai mantan Gubernur Jawa Barat, Ridwan itu Bobotoh, klub Persib Bandung. Jakmania dan Bobotoh mirip Barcelona-Real Madrid di Spanyol yang jadi rival abadi sepak bola.
Masak kalah dan menyerah begitu saja. Liputan utama pekan ini membahas bagaimana Prabowo dan orang-orang kepercayaannya menggiring Pilkada Jakarta melaju ke putaran kedua. Itu artinya, suara Pramono harus dikurangi menjadi kurang dari 50 persen. Caranya? Erwan Hermawan, penulis di desk Politik, menuliskan detail cara-cara kekuasaan memaksakan pilkada Jakarta berlangsung dua putaran.
Erwan mendapatkan informasi soal usaha-usaha itu di jam-jam terakhir ia harus menyerahkan naskah tulisannya di jam tenggat pada Jumat pekan lalu. Informasi terbaru yang dia kirim kepada saya membuat pertimbangan gambar sampul berubah.
Tadinya, dari tiga alternatif gambar yang dikirim ilustrator Kendra Paramita, kami hendak memilih gambar ring tinju. Kendra membuat dua ilustrasi ring tinju untuk menggambarkan pertarungan Pilkada Jakarta yang sengit. Gambar 1, Ridwan terduduk dan hendak dipaksa berdiri oleh Jokowi. Gambar 2: Ridwan terduduk disangga Prabowo sementara Jokowi mengacungkan tanda pertandingan memasuki ronde kedua.
Para penulis menilai gambar 2 cocok dengan jalan cerita laporan utama. Para redaktur juga setuju. Namun, gambar ring tinju sebagai ilustrasi persaingan politik sudah klise. Kami banyak membuat sampul ring tinju untuk pertarungan politik. Lalu ada yang usul agar ring tinju diganti pencak silat sebagai ciri khas Betawi. Tapi ini pun sudah sering.
Maka pilihan gambar jatuh pada nomor 3. Ini gambar yang simbolik: dua presiden coba menggeser grafik perolehan suara Pramono Anung agar berkurang. Keduanya punya kekuasaan, keduanya punya alat negara yang bisa mencapai keinginan mereka. Seperti yang dilakukan Jokowi mengubah konstitusi agar anaknya bisa menjadi wakil presiden. Urusan suara pemilu tentu lebih mudah mereka ubah.
Salah satunya dengan pemilihan suara ulang. Di lokasi-lokasi yang rentan, kemenangan Pramono bisa berbalik arah sehingga suaranya berkurang hingga di bawah 50 persen. Jika sudah begitu, pilkada akan dua putaran. Di putaran kedua, Ridwan Kamil lebih optimistis menang. Dari cerita itu, kami melihat gambar nomor 3 yang menjadi sampul edisi pekan ini lebih cocok. Karena itu kami juga memberi judul “Pokoknya Dua Putaran”.
Bagja Hidayat
Wakil Pemimpin Redaksi
Baca selengkapnya di Mingguan Tempo: