Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
HUJAN turun tiba-tiba. Di bawah langit yang tak terlalu mendung, saya bersama teman-teman wartawan dan anggota BPPN sudahberada di perahu karet, siap mengarungi Sungai Cisadane yangmeliuk-liuk. Waktu itu pukul 14.30. Hujan turun lebat, memang. Tapi tak sedikit punterlintas di pikiran saya bahwa nasib tragis akan menimpa kami.
Saya seperahu dengan Astrid dan Garinsyah Muslim, staf komunikasidi lembaga penyehatan perbankan itu. Saya bukan muka baru bagimereka karena saya biasa meliput di sana. Jumat siang itu, lokakaryatentang penjualan aset BPPN baru saja selesai.
Sebenarnya siang itu saya tak fit betul. Tidur saya larut malam danbangunnya subuh; saya merasa capek sekali. Sakit mag saya juga sedangkambuh berat. Perihnya minta ampun. Saya sempat berniat tak ikutberarung jeram, tapi akhirnya turun juga.
Satu jam pertama di Cisadane penuh kegembiraan. Perih di perut sayahilang. Awalnya sungai itu sangat bersahabat. Airnya dangkal;bebatuan mencuat dari permukaan air. Abang Adek, begitu pemandu di perahukami menyebut dirinya, harus sering turun ke sungai mengelakkan perahudari bungkah-bungkah batu.
Hujan turun tak tetap. Kadang lebat, lain kali rincis-rincis.Perahu kami tak terlalu bagus, sehingga selalu tertinggal di belakang. Maka sayaheran ketika di kejauhan, di depan, saya melihat ada dua perahu yang makinlama makin dekat dengan kami. Syamsul Ashar, wartawanSinar Harapan yang ada di salah satu perahu itu,belakangan bercerita bahwa pemandunya memutuskan mereka berhenti karenaketinggian air mulai naik. Sang pemandu mungkin mulai mengendus ancaman. Perahusaya ikut terhenti. Tiga pemandu kemudianberunding. Mereka memutuskan mengistirahatkan perahu saya. Garinsyahdan Astrid dipindah ke boat tumpangan (almarhum) Raymond van Beekum.Sedangkan saya ke perahu satunya. Setelah dua perahu berwarna merah itudipompa kencang, para pemandu memutuskan terus mengarung. Saya tak tahukenapa. Sementara hujan masih mengguyur, permukaan sungai kian meninggi.Batu-batu sudah "menyelam" ke bawahpermukaan air, tapi seperti siap menikam. Sayamulai waswas.
Dan arus sungai mulai menderas! Arus yang meliar mendorong perahu yangsatu meluncur tanpa bisa ditahan. (Bibir saya yang gemetar kedinginan bercampurdengan getaran rasa takut.) Entakannya bahkan makin keras. Saya melihatperahu di depan terjebak di pusaran air, berpusing-pusing di tempat. "Mungkinkarena tertahan batu," saya membatin. Saat perahu kami juga meluncur takterkendali, keduanya berbenturan dan sama terjebak di pusaran air celaka itu.
"Dayung terus, dayung kuat-kuat," teriak seorang pemandu. Tapikedua perahu tak hendak beranjak. Ketika saya, dan juga teman-teman, amatketakutan, banjir bandang menerjang. Perahu terangkat hampirmembentuk sudut 90 derajat. Saya ikut terlambung. Untung, kedua tangan saya masihbisa memegang tali perahu kuat-kuat. Tapi tak lama. Pegangan lepas ketikakedua perahu kembali berbenturan.
Ya, Tuhan, saya terlempar jauh ke depan. Helm yang saya pakaiterlepas. Bagian leher baju pelampung yang masih melekat di tubuh sayapegang erat-erat. Teman-teman yang masih di perahu mencoba mengejar saya,tapi sia-sia. Mereka berteriak-teriak. Tapi saya terus dihanyutkan air,timbul-tenggelam. Nyawa rasanya sudah di ujung lidah.
Tak terbilang berapa kali saya terantuk bebatuan. Saya hanya bisaberharap agar kepala luput dari benturan. Dalam keadaan letih dan terjebakrasa putus asa, saya bertanya dalam hati, "Di manakah ujung sungai ini? Dimanakah akhir nasib ini?" Di depan hanya air dan air, bergulung danmenghanyut deras. Saya mulai pasrah dan "siap mati" di Cisadane. Saya langsungingat Tuhan. Setiap kali muncul di permukaan, saya berucap,berulang-ulang, "Tuhan, tolong…."
Dan saat saya muncul—untuk kesekian kalinya—sambil menelan air, saya melihat bayangan hijau. Saya langsung menyambar rumput hijau yang menjulur, dan mencekalnya erat-erat. Rumput tipis itu ternyata menahan laju saya, menyelamatkan saya. Dua orang yang melihat segera berlari dan menangkap saya. "Tuhan telah menolong saya," bisik saya dalam hati, "Terima kasih, Tuhan…."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo