Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

'Penerbangan Terakhir' Indonesian Airlines

21 September 2003 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEKALI diucapkan, kata-kata tak akan pernah berubah, mungkin pelakunya yang berganti sikap. Ketika pada awal pemerintahannya, dua tahun lalu, Presiden Megawati mengancam para direktur jenderal agar tidak memberikan fasilitas kepada keluarganya dan keluarga suaminya, itu pastilah kata-kata serius. Ketika Megawati bertekad bahwa dia tidak ingin terguling dari kursinya gara-gara korupsi, publik segera memahami itu sebagai awal sebuah perang baru melawan "kanker" korupsi yang sudah mencapai stadium gawat di negeri ini. Dari masa-masa awal itu, jelas "korupsi" dan "keluarga saya dan suami saya" adalah dua frasa penting yang ingin diberi garis bawah oleh sang presiden baru. Sebuah tekad simpatik, sekaligus kritik halus untuk para pendahulunya.

Harapan semakin membuncah tatkala Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara dibentuk pemerintah. Masyarakat bersiap memberikan standing ovation ketika Komisi Pemeriksa berani mengusut kekayaan seorang penegak hukum setinggi Jaksa Agung M.A. Rachman—dan menemukan sebuah rumah mewah yang tidak dimasukkan dalam daftar kekayaan. Jaksa Agung diramalkan tinggal menghitung hari-hari terakhirnya di Gedung Bundar Kejaksaan saat itu.

Kita tahu yang terjadi kemudian. Jaksa Agung tidak dicopot oleh Presiden Megawati, dengan alasan belum tentu penggantinya akan berkinerja lebih baik. Ia juga secara tak langsung menolak pembentukan panitia khusus Bulog II, perkara korupsi yang melibatkan Akbar Tandjung yang sampai sekarang menjabat Ketua DPR. Dukungannya kepada Sutiyoso untuk menjabat lagi sebagai Gubernur DKI—yang ditentang banyak warga Jakarta—menunjukkan bahwa ia semakin jauh dari semangat mengikis penyakit kekuasaan yang dulu menjangkiti para pendahulunya.

Adakah dia berubah, atau keadaan sudah mengubahnya? Tidak jelas. Yang jelas, terakhir kali dia bicara tentang korupsi di Sidang Tahunan MPR 2003, awal Agustus lalu, nadanya sangat berlainan. Dia mengatakan memberantas korupsi, kolusi, nepotisme, bukan pekerjaan gampang. Ini memang bukan pernyataan "menyerah". Tapi juga sulit untuk ditafsirkan sebagai semangat pantang mundur dalam mengikis korupsi dari seorang presiden yang masa jabatannya tinggal setahun lagi.

Kasus Indonesian Airlines merupakan batu ujian yang baik untuk menguji semangat itu. Perusahaan penerbangan yang kini dibelit setumpuk persoalan itu kepemilikannya ditengarai berkaitan dengan Santayana Kiemas, adik ipar Presiden. Perusahaan itu sekarang berada dalam kondisi keuangan kritis, karyawannya mengadu ke Markas Besar Polri lantaran lima bulan tidak digaji, sebagian kantornya di sejumlah kota ditutup, utangnya cukup besar.

Ada indikasi yang jelas bahwa Indonesian Airlines tidak dikelola secara profesional untuk ukuran bisnis penerbangan, yang mengandung risiko ke berbagai arah. Ada juga indikasi bahwa maskapai tersebut beroperasi dengan jalan "nebeng" nama keluarga orang nomor satu itu.

Kita tahu bisnis airlines adalah bisnis dengan modal besar. Jika modal untuk membeli atau menyewa elang besi yang mahal itu kurang, pengalaman pengelolanya cekak, maka risiko kerugian yang bisa membawa kehancuran bisnis tinggal menunggu hari. Dengan modal yang pas-pasan, tapi operasi dipaksakan juga, risikonya lebih berat: ketidaknyamanan sampai keselamatan terbang harus ditanggung penumpang.

Sering terjadi, untuk sekadar memenuhi persyaratan minimum, mereka yang nekat mendirikan perusahaan penerbangan menempuh jalan berputar yang sebetulnya kurang bertanggung jawab. Modal dipenuhi dengan pinjaman kiri-kanan, berjangka pendek, biaya dana yang tinggi, gali lubang tutup lubang untuk modal kerja, dan segebung "akrobat finansial" yang lain. Keuangan dikelola dengan berjalan di batas tipis antara terjungkal dan tidak. Apabila syarat kelayakan berusaha masih kurang juga, diusahakan dengan menyuap para pejabat pemberi izin atau menggunakan koneksi kekuasaan untuk mendapat pengecualian atau dispensasi—baik secara resmi maupun hanya berupa pengecualian di bawah tangan. Penggunaan koneksi kekuasaan juga terjadi untuk minta kredit dari bank, khususnya pada bank milik negara atau bank yang masih bergantung pada pemerintah—berada dalam pengelolaan Badan Penyehatan Perbankan Nasional.

Koneksi kekuasaan juga bisa dipakai untuk mendapatkan konsesi istimewa tertentu, misalnya jatah pengangkutan haji.

Di sini pemerintah, dalam hal ini Departemen Perhubungan, seharusnya berperan. Sebagai regulator dunia penerbangan, pemerintah seharusnya sangat hati-hati dalam memberikan izin operasi bagi perusahaan penerbangan komersial, apalagi kalau izin itu untuk penerbangan reguler. Berbeda dengan penerbangan carter, penerbangan reguler memiliki jadwal mengangkut penumpang dan barang yang teratur dan ketat. Artinya, masyarakat luas yang akan kena dampaknya.

Prinsip kehati-hatian itulah yang tidak kelihatan diterapkan dalam kasus Indonesian Airlines. Koneksi kekuasaan yang terlibat memang (barangkali) ikut dalam memberikan modal bukan karena tertipu, tapi karena optimisme yang berlebihan, sampai mendekati avonturisme. Dibayangkan bahwa semua akan gampang dan bisa diatur, lalu uang masuk akan lancar dan untung besar akan diraup, dijamin modal cepat kembali. Yang terjadi, seperti menerbangkan pesawat: kecepatan yang tinggi akan membuat pesawat mengudara, tapi kalau sudut naiknya salah, bisa terempas ke bawah. Sama cepatnya, sama bahayanya.

Jika sudah begini, soalnya tinggal menguji, adakah Indonesian Airlines yang tinggal menunggu "penerbangan terakhir"-nya itu kasusnya akan dikupas habis atau malah diselamatkan dari perhatian publik—sampai kelak orang melupakannya. Masih bisakah kita berharap kata-kata yang sudah diucapkan tak akan berubah, dan begitu pula sikap pelakunya?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus