Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gaya Hidup

Penawar dahaga sepanjang jalan

Penjual minuman tradisional legen, juga disebut lahang atau nira, dibawah terik matahari para penjual nira menjajakan minumannya, kono banyak pula khasiatnya. (sd)

11 Desember 1982 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TERIK matahari menghajar tubuhnya. Namun Titi tidak beringsut. Bahkan kemarau panjang justru melecut semangatnya: dagangannya akan lebih laris. Ia sadar berbagai minuman dalam kaleng atau botol telah membasahi sekian banyak kerongkongan. Tapi ia juga tahu, masih ada lidah yang ingin menikmati minuman yang ia jual: nira. Di tepi jalan antara Malangbong (Garut) dan Ciawi (Tasikmalaya), setiap hari tak kurang dari 30 orang berderetderet menjual minuman tradisional yang oleh orang Sunda disebut lahang. Minuman yang disadap dari tandan bunga enau itu disimpan dalam tabung bambu yang disebut lodong. "Lumayanlah untuk mengisi waktu, daripada nganggur," ujar Titi, 18 tahun. Pembelinya adalah sopir-sopir atau penumpang kendaraan yang lewat di sepanjang jalan itu: Rp 100 tiap gelas. Titi, hanya tamat SD, setiap hari rata-rata bisa menjual dua lodong. Itu berarti bisa membawa pulang sekitar Rp 2.000. "Biarlah saya yang mencari nafkah, agar anak-anak saya bisa bersekolah," ujarnya. Titi anak sulung dari empat bersaudara. Orangtuanya tidak lagi bertani, sebab sawahnya yang hanya seperempat hektar, tertutup debu Gunung Galunggung. Para penggemar lahang ternyata tidak hanya sopir dan penumpang kolt, bis atau truk. Tidak sedikit pula 'orang gedean", dengan sedan mereka mampir mencicipi minuman khas itu. "Kalau nereka yang minum, itu artinya rejeki nomplok. Mereka sering membayar lebih mahal," kata Titi lagi. Namun tidak semua penjual lahang beruntung seperti Titi. Ny. Aan, 27 tahun, teman Titi, pernah sial. Sejumlah pemuda, dengan Toyota Kijang, minum sepuluh gelas, tapi tidak membayar. "Saya tidak bisa berbuat apa-apa," kata ibu dari lima anak itu. Untunglah, seperti para penjual lahang lainnya, ia punya pohon enau sendiri. Ada empat hatang enau di kebunnya yang disadap sendiri oleh suaminya. Bunga enau berumur sebulan, yang masih tergantung di pohonnya yang tinggi itulah yang disadap. Sebatang bambu panjang berlubang-lubang digunakan sebagai tangga. "Tandan bunga enau itu harus dipukul-pukul dulu dengan kayu sampai memar, agar airnya keluar lebih banyak," tutur Jajang, 40 tahun, suami Aan. Setelah ujungnya dipotong, air nira yang keluar ditampun ke dalam lodong ukuran kecil. Subuh disadap, air lahang itu sudah memenuhi lodong yang dipasang dan bisa diambil. Lodong yang baru pun dipasang. Tapi minuman manis itu hanya tahan 24 jam. Lebih dari itu bisa berubah menjadi cuka dengan rasa asam. Dan bila diolah lagi, antara lain dicam pur dengan ragi, bisa menjadi tuak, semacam minuman keras yang memabukkan. Sebelum menjadi cuka atau tuakcairan itu juga bisa diolah menjadi gula padat. Cara memasaknya cukup lama. Dipanasi selama 3 jam sambil terus-terusan diaduk. Dengan bahan pewarna tertentu, kulit buah manggis misalnyal gula padat itu berwarna merah. Ada pula yang kekuning-kuningan. Di Medan minuman tradisional itu disebut air nira, sementara orang Jakarta menyebutnya tuak. Dua-duanya disadap dari tandan bunga enau atau aren. Di Jawa Tengah disebut legen. Orang Jawa Timur menyadapnya dari bunga nilo alias siwalan yang disebut mancung sedang orang Jawa Tengah menyadapnya dari tandan bunga pohon nyiur yany disebut manggar. Justru di musim panas minuman itu mengucur lebih deras -- selama dua-tiga bulan. Rasanya hampir sama: manis-manis segar, agak sedikit apak. Umumnya orang suka karena lebih mampu menawar haus. Dan harganya sangat murah. Tapi konon banyak pula khasiatnya Misalnya menghangatkan badan dan memperkuat tulang dan otot-otot. Atau sebagai penyembuh penyakit kuning Ada pula yang menganggapnya bisa memperlancar air seni. Bagi wanita yang baru usai bersalin minuman tersebut bisa memperlancar air susu. Bagi Salman Karim, 45 tahun, pengusaha jasa konstruksi dari Bandung air lahang tidak punya khasiat apa-apa "Saya suka meminumnya karena bisa membuat suasana nostalgia. Di masa kanak-kanak saya suka minum lahang orang tua saya biasa membuat gula- gula," kata Salman kelahiran Garut itu. Bersama istri dan lima anaknya, hampir Setiap Minggu ia bernostalgia di tepi jalan meminum nira. Di Medan, Mislan K.R., 47 tahun, yang percaya akan khasiat air nira sudah 21 tahun ayah dari lima anak ini menjual nira di tempat-tempat yang ramai seperti pasar Mercu Buana dan Lapangan Merdeka. Ia menjual nira dengan cara membuka keran yang dipasang di bagian bawah dua batang bambu di boncengan sepeda tuanya. Dari rumahnya di Bandar Khalifah (Deli Serdang), 11 km dari Medan, ia mengayuh sepedanya. Pukul 12 siang biasanya dagangannya habis. "Di musim panas paling laris. Di musim hujan dagangan baru habis pukul 4 sore," kata Mislan. Mislan menjual hanya Rp 50 segelas. Di belakang rumahnya terhampar kebun yang cukup luas dengan 50 pohon aren yang rata-rata setinggi 8 meter. Setiap sore Mislan yang hanya sempat duduk sampai kelas IV SD itu menderes sendiri arennya. Keesokan harinya dari setiap pohon ia bisa mengumpulkan kira-kira 40 gelas air nira. Sudah tiga kali ia jatuh dari pohon aren. Sampai sekarang tulang pantatnya kadang-kadang masih terasa nyeri. Kerja pokoknya memang berjualan air nira. Itulah sebabnya ia tetap bertahan dengan profesi tersebut meskipun sesekali dagangannya tumpah di jalan karena disodok kendaraan bermotor. "Tapi orang yang menabrak biasanya baik hati selalu membayar kerugian kepada saya," katanya. Bila dagangannya tidak habis ia membuat gula merah. Dari nira itulah Mislan, kelahiran Kalimantan, membiayai keluarganya. Anak sulungnya sudah duduk di bangku SMP. Rumahnya yang setengah beton ukuran 8 x 6 meter, termasuk bagus menurut ukuran di desanya. Apalagi ia juga punya radio. "Tapi saya belum mampu membeli televisi. Sehari paling-paling saya hanya bisa membawa pulang Rp 4.000," ujarnya. Di Surabaya, Iksan, 31 tahun, bahkan kewalahan melayani para penggemar legen. Berbeda dari penjual legen yang lain, Iksan tidak menyimpan minuman itu dalam tabung bambu melainkan dalam jeriken-jeriken plastik, masing-masing berisi 25 liter. Setiap hari ia mampu menjual tak kurang dari 30 jeriken. Ia memang satu-satunya pedagang legen di tepi Jalan Undaan Kulon, salah satu jalan protokol di Surabaya. Langganannya mulai dari abang becak sampai penumpang kendaraan umum dan pemilik mobil mewah. Bahkan selalu terlihat ia dikerumuni para pengendara sepeda motor yang kehausan. Maklum harganya sangat murah, hanya Rp 25 segelas. Sudah 6 tahun Iksan yang hanya berpendidikan SD itu berdagang legen. Tapi baru tahun ini ia merasa sukses. Tahun-tahun sebelumnya dagangannya hanlpir tak laku, hingga ia terpaksa menarik becak di malam hari. Sekarang setiap hari ia bisa mengantungi keuntungan bersih Rp 20.000--setelah dipotong Rp 4.S00 (untuk gaji ketiga karyawannya) dan 'Rp 500 uang makannya sendiri. Dengan penghasilan itu Iksan menghidupi istri dan lima anaknya yang tinggal di Tuban. Ia juga sudah membeli sawah dan kambing, tapi tidak punya kebun siwalan sendiri. Ia mengambil legen dari seorang tengkulak di Jalan Semarang dengan harga Rp 2.000 per jeriken. Tengkulak itu sendiri setiap hari mendatangkan bertruk-truk legen dari Tuban. Hampir semua penjual legen di Surabaya berasal dari sana. Banyak penduduk Tuban bertani siwalan, seperti Sumadi, 60 tahun, dari Desa Tegalbang, Kelurahan Palang. Ia memiliki 10 pohon siwalan yang setiap batang sehari menghasilkan 20 liter legen, yang dijualnya kepada tengkulak Rp 50 setiap liter. Sebelumnya para tengkulak dari Surabaya melakukan ijon, hingga ketika para petani menderes legen, mereka tidak menerima uang lagi. Sekarang para pengijon sudah lenyap. Di sekitar Borobudur dan Muntilan Jawa Tengah, harga segelas legen ratarau juga hanya Rp 25. Basrowi, 48 uhun, sudah 3 tahun memikul batang-batang bambu berisi legen dari kampung ke kampung. Setiap hari tak kurang dari 10 km jalan-jalan kampung ditempuhnya, memburu nafkah untuk keenam anaknya. Seperti penjual legen lainnya, Basrowi juga tak umat SD. Untunglah, di daerah Muntilan hanya dia sendiri yang berjualan minuman khas itu. "Apalagi di kampung-kampung belum ada minuman seperti Teh Botol. Kalaupun ada, harganya mahal, Rp 100 sebotol," ujarnya. Sehati ia hanya bisa mengantungi Rp 1.500, tapi agaknya ia cukup senang. "Kenalan saya jadi banyak," katanya gembira. Tapi ada satu hal yang merisaukan Basrowi. "Saya harus lebih sering berganti sandal jepit," katanya. Sepasang sandal, harganya Rp 175, hanya tahan selama dua bulan saja. Di bagian pundak bajunya penuh tambalan karena selalu robek kena pemikul. Di Jakarta, minuman itu juga berharga Rp 25 segelas. Para penggemar menyebutnya tuak. Di Ibukota para penjual tuak menambahkan gumpalan-gumpalan es hingga rasanya lebih segar. Maklum, udara di Jakarta lebih panas. Lagi pula hal itu untuk mencegah agar air nira itu tidak terlalu cepat menjadi cuka. Bila para penjual legen di Surabaya hampir semuanya berasal dari Tuban, sementara legen pun banyak didatangkan dari sana, di Jakarta para penjual tuak umumnya berasal dari Serang. Minuman rakyat itu memang ada yang disadap dari pohon-pohon aren di Jakarta, tapi bila permintaan terlalu banyak, orang Jakarta mendatangkan tuak dari Serang. Haji Abdurrahman, 60 tahun, bertahun-tahun hidup sebagai petani aren di Jakarta. "Saya punya sepuluh batant pohon aren, tersebar di Kampung Rawa, Kampung Jawa, Cempaka Putih, Rawasari dan Kampung Ambon," katanya. Ia menjual tuak sejak 1936 ketika harganya cuma secepeng tiap dua gelas. "Pada aman itu dengan uang seperak saya bisa memiliki sebatang pohon aren sampai mati," kata bapak dari sembilan anak dan kakek dari 16 cucu itu. Sampai sekarang pohon aren memang diperjual-belikan. Di Jakarta harganya mencapai Rp 10.000 sebatang. Ada petani pemilik aren yang bekerja sama dengan penderes dengan cara bagi hasil. Setiap batang aren memang menghasilkan air nira dua kali sehari. Haji Abdulrahman lebih suka menderes sendi pohon-pohon arennya. Di rumahnya, di kawasan Cempaka Putih, haji ini menampung tak kurang dari 30 orang penjual tuak yang semuanya berasal dari Kabupaten Serang. Setiap orang dipungut semacam sewa tempat tinggal Rp 200 seminggu. "Mereka itu pekerja musiman. Sambil menunggu musim panen mereka merantau ke Jakarta berjualan tuak," ujar si haji lagi. Setiap hari ia sendiri mengayuh sepeda tuanya mengantarkan satu Jeriken tuak seharga Rp 4.000 ke warung-warung. Udin, 30 tahun, salah seorang penjaja tuak yang berjalan menyusuri jalan-jalan terik di Jakarta. "Kalau ada pekerjaan lain saya lebih baik meninggalkan dagang tuak ini. Memikul empat lodong tuak ke sana ke mari kan berat. Karena itu saya sebal kalau ada orang beli jigo minta satu gelas penuh," katanya. Wajahnya yang hitam memang tampak selalu sebal. Orang-orang Jakarta ternyata masih banyak yang gemar minum air nira yang segar dan memancarkan aroma yang khas itu. Rasanya memang berbeda dengan minuman dalam botol atau minuman-minuman dengan merk asing. Yang jelas harganya murah, terjangkau oleh abang-abang becak, penarik bajaj, sopir taksi, penjual sayur, tukang parkir.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus