TERIK matahari menghajar tubuhnya. Namun Titi tidak beringsut.
Bahkan kemarau panjang justru melecut semangatnya: dagangannya
akan lebih laris. Ia sadar berbagai minuman dalam kaleng atau
botol telah membasahi sekian banyak kerongkongan. Tapi ia juga
tahu, masih ada lidah yang ingin menikmati minuman yang ia jual:
nira.
Di tepi jalan antara Malangbong (Garut) dan Ciawi (Tasikmalaya),
setiap hari tak kurang dari 30 orang berderetderet menjual
minuman tradisional yang oleh orang Sunda disebut lahang.
Minuman yang disadap dari tandan bunga enau itu disimpan dalam
tabung bambu yang disebut lodong. "Lumayanlah untuk mengisi
waktu, daripada nganggur," ujar Titi, 18 tahun.
Pembelinya adalah sopir-sopir atau penumpang kendaraan yang
lewat di sepanjang jalan itu: Rp 100 tiap gelas. Titi, hanya
tamat SD, setiap hari rata-rata bisa menjual dua lodong. Itu
berarti bisa membawa pulang sekitar Rp 2.000. "Biarlah saya yang
mencari nafkah, agar anak-anak saya bisa bersekolah,"
ujarnya. Titi anak sulung dari empat bersaudara. Orangtuanya
tidak lagi bertani, sebab sawahnya yang hanya seperempat
hektar, tertutup debu Gunung Galunggung.
Para penggemar lahang ternyata tidak hanya sopir dan penumpang
kolt, bis atau truk. Tidak sedikit pula 'orang gedean", dengan
sedan mereka mampir mencicipi minuman khas itu. "Kalau nereka
yang minum, itu artinya rejeki nomplok. Mereka sering membayar
lebih mahal," kata Titi lagi.
Namun tidak semua penjual lahang beruntung seperti Titi. Ny.
Aan, 27 tahun, teman Titi, pernah sial. Sejumlah pemuda, dengan
Toyota Kijang, minum sepuluh gelas, tapi tidak membayar. "Saya
tidak bisa berbuat apa-apa," kata ibu dari lima anak itu.
Untunglah, seperti para penjual lahang lainnya, ia punya pohon
enau sendiri. Ada empat hatang enau di kebunnya yang disadap
sendiri oleh suaminya.
Bunga enau berumur sebulan, yang masih tergantung di pohonnya
yang tinggi itulah yang disadap. Sebatang bambu panjang
berlubang-lubang digunakan sebagai tangga. "Tandan bunga enau
itu harus dipukul-pukul dulu dengan kayu sampai memar, agar
airnya keluar lebih banyak," tutur Jajang, 40 tahun, suami Aan.
Setelah ujungnya dipotong, air nira yang keluar ditampun ke
dalam lodong ukuran kecil.
Subuh disadap, air lahang itu sudah memenuhi lodong yang
dipasang dan bisa diambil. Lodong yang baru pun dipasang. Tapi
minuman manis itu hanya tahan 24 jam. Lebih dari itu bisa
berubah menjadi cuka dengan rasa asam. Dan bila diolah lagi,
antara lain dicam pur dengan ragi, bisa menjadi tuak, semacam
minuman keras yang memabukkan.
Sebelum menjadi cuka atau tuakcairan itu juga bisa diolah
menjadi gula padat. Cara memasaknya cukup lama. Dipanasi selama
3 jam sambil terus-terusan diaduk. Dengan bahan pewarna
tertentu, kulit buah manggis misalnyal gula padat itu berwarna
merah. Ada pula yang kekuning-kuningan.
Di Medan minuman tradisional itu disebut air nira, sementara
orang Jakarta menyebutnya tuak. Dua-duanya disadap dari tandan
bunga enau atau aren. Di Jawa Tengah disebut legen. Orang Jawa
Timur menyadapnya dari bunga nilo alias siwalan yang disebut
mancung sedang orang Jawa Tengah menyadapnya dari tandan bunga
pohon nyiur yany disebut manggar.
Justru di musim panas minuman itu mengucur lebih deras -- selama
dua-tiga bulan. Rasanya hampir sama: manis-manis segar, agak
sedikit apak. Umumnya orang suka karena lebih mampu menawar
haus. Dan harganya sangat murah.
Tapi konon banyak pula khasiatnya Misalnya menghangatkan badan
dan memperkuat tulang dan otot-otot. Atau sebagai penyembuh
penyakit kuning Ada pula yang menganggapnya bisa memperlancar
air seni. Bagi wanita yang baru usai bersalin minuman tersebut
bisa memperlancar air susu.
Bagi Salman Karim, 45 tahun, pengusaha jasa konstruksi dari
Bandung air lahang tidak punya khasiat apa-apa "Saya suka
meminumnya karena bisa membuat suasana nostalgia. Di masa
kanak-kanak saya suka minum lahang orang tua saya biasa
membuat gula- gula," kata Salman kelahiran Garut itu. Bersama
istri dan lima anaknya, hampir Setiap Minggu ia bernostalgia di
tepi jalan meminum nira.
Di Medan, Mislan K.R., 47 tahun, yang percaya akan khasiat air
nira sudah 21 tahun ayah dari lima anak ini menjual nira di
tempat-tempat yang ramai seperti pasar Mercu Buana dan Lapangan
Merdeka. Ia menjual nira dengan cara membuka keran yang dipasang
di bagian bawah dua batang bambu di boncengan sepeda tuanya.
Dari rumahnya di Bandar Khalifah (Deli Serdang), 11 km dari
Medan, ia mengayuh sepedanya. Pukul 12 siang biasanya
dagangannya habis. "Di musim panas paling laris. Di musim hujan
dagangan baru habis pukul 4 sore," kata Mislan. Mislan menjual
hanya Rp 50 segelas.
Di belakang rumahnya terhampar kebun yang cukup luas dengan 50
pohon aren yang rata-rata setinggi 8 meter. Setiap sore Mislan
yang hanya sempat duduk sampai kelas IV SD itu menderes sendiri
arennya. Keesokan harinya dari setiap pohon ia bisa mengumpulkan
kira-kira 40 gelas air nira. Sudah tiga kali ia jatuh dari pohon
aren. Sampai sekarang tulang pantatnya kadang-kadang masih
terasa nyeri.
Kerja pokoknya memang berjualan air nira. Itulah sebabnya ia
tetap bertahan dengan profesi tersebut meskipun sesekali
dagangannya tumpah di jalan karena disodok kendaraan bermotor.
"Tapi orang yang menabrak biasanya baik hati selalu membayar
kerugian kepada saya," katanya. Bila dagangannya tidak habis ia
membuat gula merah.
Dari nira itulah Mislan, kelahiran Kalimantan, membiayai
keluarganya. Anak sulungnya sudah duduk di bangku SMP. Rumahnya
yang setengah beton ukuran 8 x 6 meter, termasuk bagus menurut
ukuran di desanya. Apalagi ia juga punya radio. "Tapi saya belum
mampu membeli televisi. Sehari paling-paling saya hanya bisa
membawa pulang Rp 4.000," ujarnya.
Di Surabaya, Iksan, 31 tahun, bahkan kewalahan melayani para
penggemar legen. Berbeda dari penjual legen yang lain, Iksan
tidak menyimpan minuman itu dalam tabung bambu melainkan dalam
jeriken-jeriken plastik, masing-masing berisi 25 liter. Setiap
hari ia mampu menjual tak kurang dari 30 jeriken.
Ia memang satu-satunya pedagang legen di tepi Jalan Undaan
Kulon, salah satu jalan protokol di Surabaya. Langganannya mulai
dari abang becak sampai penumpang kendaraan umum dan pemilik
mobil mewah. Bahkan selalu terlihat ia dikerumuni para
pengendara sepeda motor yang kehausan. Maklum harganya sangat
murah, hanya Rp 25 segelas.
Sudah 6 tahun Iksan yang hanya berpendidikan SD itu berdagang
legen. Tapi baru tahun ini ia merasa sukses. Tahun-tahun
sebelumnya dagangannya hanlpir tak laku, hingga ia terpaksa
menarik becak di malam hari. Sekarang setiap hari ia bisa
mengantungi keuntungan bersih Rp 20.000--setelah dipotong Rp
4.S00 (untuk gaji ketiga karyawannya) dan 'Rp 500 uang makannya
sendiri.
Dengan penghasilan itu Iksan menghidupi istri dan lima anaknya
yang tinggal di Tuban. Ia juga sudah membeli sawah dan kambing,
tapi tidak punya kebun siwalan sendiri. Ia mengambil legen dari
seorang tengkulak di Jalan Semarang dengan harga Rp 2.000 per
jeriken. Tengkulak itu sendiri setiap hari mendatangkan
bertruk-truk legen dari Tuban. Hampir semua penjual legen di
Surabaya berasal dari sana.
Banyak penduduk Tuban bertani siwalan, seperti Sumadi, 60 tahun,
dari Desa Tegalbang, Kelurahan Palang. Ia memiliki 10 pohon
siwalan yang setiap batang sehari menghasilkan 20 liter legen,
yang dijualnya kepada tengkulak Rp 50 setiap liter. Sebelumnya
para tengkulak dari Surabaya melakukan ijon, hingga ketika para
petani menderes legen, mereka tidak menerima uang lagi. Sekarang
para pengijon sudah lenyap.
Di sekitar Borobudur dan Muntilan Jawa Tengah, harga segelas
legen ratarau juga hanya Rp 25. Basrowi, 48 uhun, sudah 3 tahun
memikul batang-batang bambu berisi legen dari kampung ke
kampung. Setiap hari tak kurang dari 10 km jalan-jalan kampung
ditempuhnya, memburu nafkah untuk keenam anaknya.
Seperti penjual legen lainnya, Basrowi juga tak umat SD.
Untunglah, di daerah Muntilan hanya dia sendiri yang berjualan
minuman khas itu. "Apalagi di kampung-kampung belum ada minuman
seperti Teh Botol. Kalaupun ada, harganya mahal, Rp 100
sebotol," ujarnya. Sehati ia hanya bisa mengantungi Rp 1.500,
tapi agaknya ia cukup senang. "Kenalan saya jadi banyak,"
katanya gembira.
Tapi ada satu hal yang merisaukan Basrowi. "Saya harus lebih
sering berganti sandal jepit," katanya. Sepasang sandal,
harganya Rp 175, hanya tahan selama dua bulan saja. Di bagian
pundak bajunya penuh tambalan karena selalu robek kena pemikul.
Di Jakarta, minuman itu juga berharga Rp 25 segelas. Para
penggemar menyebutnya tuak. Di Ibukota para penjual tuak
menambahkan gumpalan-gumpalan es hingga rasanya lebih segar.
Maklum, udara di Jakarta lebih panas. Lagi pula hal itu untuk
mencegah agar air nira itu tidak terlalu cepat menjadi cuka.
Bila para penjual legen di Surabaya hampir semuanya berasal dari
Tuban, sementara legen pun banyak didatangkan dari sana, di
Jakarta para penjual tuak umumnya berasal dari Serang. Minuman
rakyat itu memang ada yang disadap dari pohon-pohon aren di
Jakarta, tapi bila permintaan terlalu banyak, orang Jakarta
mendatangkan tuak dari Serang.
Haji Abdurrahman, 60 tahun, bertahun-tahun hidup sebagai petani
aren di Jakarta. "Saya punya sepuluh batant pohon aren, tersebar
di Kampung Rawa, Kampung Jawa, Cempaka Putih, Rawasari dan
Kampung Ambon," katanya. Ia menjual tuak sejak 1936 ketika
harganya cuma secepeng tiap dua gelas. "Pada aman itu dengan
uang seperak saya bisa memiliki sebatang pohon aren sampai
mati," kata bapak dari sembilan anak dan kakek dari 16 cucu itu.
Sampai sekarang pohon aren memang diperjual-belikan. Di Jakarta
harganya mencapai Rp 10.000 sebatang. Ada petani pemilik aren
yang bekerja sama dengan penderes dengan cara bagi hasil.
Setiap batang aren memang menghasilkan air nira dua kali sehari.
Haji Abdulrahman lebih suka menderes sendi pohon-pohon arennya.
Di rumahnya, di kawasan Cempaka Putih, haji ini menampung tak
kurang dari 30 orang penjual tuak yang semuanya berasal dari
Kabupaten Serang. Setiap orang dipungut semacam sewa tempat
tinggal Rp 200 seminggu. "Mereka itu pekerja musiman. Sambil
menunggu musim panen mereka merantau ke Jakarta berjualan tuak,"
ujar si haji lagi.
Setiap hari ia sendiri mengayuh sepeda tuanya mengantarkan satu
Jeriken tuak seharga Rp 4.000 ke warung-warung.
Udin, 30 tahun, salah seorang penjaja tuak yang berjalan
menyusuri jalan-jalan terik di Jakarta. "Kalau ada pekerjaan
lain saya lebih baik meninggalkan dagang tuak ini. Memikul empat
lodong tuak ke sana ke mari kan berat. Karena itu saya sebal
kalau ada orang beli jigo minta satu gelas penuh," katanya.
Wajahnya yang hitam memang tampak selalu sebal.
Orang-orang Jakarta ternyata masih banyak yang gemar minum air
nira yang segar dan memancarkan aroma yang khas itu. Rasanya
memang berbeda dengan minuman dalam botol atau minuman-minuman
dengan merk asing. Yang jelas harganya murah, terjangkau oleh
abang-abang becak, penarik bajaj, sopir taksi, penjual sayur,
tukang parkir.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini