Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Olahraga

<font color=#FF9900>Don Capello</font> di Kandang Singa

Fabio Capello resmi menjadi pelatih tim sepak bola nasional Inggris. Dia bertekad membawa Inggris pada kemenangan, meski disambut cercaan.

7 Januari 2008 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TAHUN baru, banyak hal baru bagi Fabio Capello. Mulai Senin ini, pria 61 tahun itu resmi berkantor di Soho Square, London, markas Asosiasi Sepak Bola Inggris (FA). Dia dipilih FA menjadi manajer tim sepak bola nasional Inggris, pekerjaan yang sudah dia idamkan sejak lima tahun lalu. Gaji barunya, yummy. Hingga 2010, dia beroleh bayaran 6 juta pound sterling atau sekitar Rp 111,25 miliar tiap tahun. Kekuasaan barunya menggiurkan. Nasib, tangis, dan tawa seluruh penggila sepak bola Inggris berada di tangannya.

Capello, memang, ketiban rezeki paling jumbo sepanjang kariernya setelah mondar-mandir menangani klub-klub besar—AC Milan, AS Roma, dan Real Madrid. ”Ini merupakan pekerjaan terakhir dalam karier saya,” katanya.

Pekerjaan terakhir tentu harus berbuah manis dan layak dikenang. Itu tidak mudah. Belum lagi bekerja untuk tim Tiga Singa—julukan bagi kesebelasan negeri itu. Si keriting ombak yang nyaris tak pernah senyum ini sudah diganggu banyak komentar. Saat namanya disebut sebagai pengganti Steve McClaren, publik di sana yang mayoritas penggila sepak bola langsung mengaum garang. Komentar miring dan cemooh sudah mendarat di telinganya.

Pers Inggris juga sadis. Jangankan Capello, sebelum ini, David Beckham, pemain setengah dewa, lumayan babak belur digaprak pers di sana. Gara-gara diusir dari lapangan di Piala Dunia 1998, koran-koran memakinya habis-habisan. Beckham murung hingga harus pergi ke Amerika Serikat untuk menenangkan diri.

Gaji Capello memang besar, namun persoalan yang menghadangnya juga tak kalah besar. Kondisi sepak bola Inggris sedang down. Inggris, misalnya, keok di tangan tim Kroasia di kandang sendiri dan gagal masuk Piala Eropa. Selain itu statusnya sebagai non Englishman juga memberatkan.

Lihat betapa susahnya Capello diterima di antara para master sepak bola Inggris. Pelatih seperti Gareth Southgate, Tony Adams, dan Paul Ince, yang alumni tim nasional Inggris, meremehkan pilihan Asosiasi terhadap pria yang sukses di klub Italia dan Spanyol itu. ”Saya tak ada masalah dengan dia, tapi, jujurnya, saya lebih suka bila pelatih kali ini adalah orang Inggris,” kata Tony Adams, bekas bek tangguh Arsenal.

Apalagi Inggris tak kurang orang. Ada Martin O’ Neil, pelatih Aston Villa, bisa jadi pilihan; atau Harry Redknapp, yang pernah menjadi manajer West Ham United dan Southampton, sekarang di Portsmouth, juga pantas dipertimbangkan.

Rupanya, pengalaman pahit kalah dengan Kroasia saat di bawah manajer Mc Clarren telah menjadi pukulan telak bagi FA. Apakah akan coba manajer Englishman lagi? ”Plis deh,” mungkin itu yang keluar dari mulut Sir Trevor Brooking, petinggi di FA.

Inggris pernah mengontrak orang Swedia, Sven Goran-Eriksson, meskipun putus di tengah jalan, setelah Piala Dunia usai, Juni tahun silam. Hasilnya tak buruk. Eriksson berhasil membawa Inggris berlaga di dua Piala Dunia dan beraksi di Piala Eropa, meski hanya sampai perempat final. Adapun rekam jejak Capello masih lebih baik dibanding Eriksson. Dia yang sukses di AC Milan, AS Roma, dan Real Madrid, di atas kertas diharapkan bisa membawa Inggris mencapai prestasi lebih baik.

Untuk itulah, setelah melalui berbagai proses, termasuk bertanya-tanya dengan penguasa Liga Inggris, seperti Sir Alex Fergusson, Arsene Wenger, dan Rafael Benitez, Asosiasi memutuskan merekrut Capello. Capello berhasil memukul mundur Jose Mourinho, eks manajer Chelsea yang juga naksir posisi itu.

Eit..., jangan terburu memberi selamat pada Capello. Pertama, dia harus menunaikan janjinya segera menguasai bahasa Inggris dalam waktu sebulan. Kedua, dia diwajibkan hilir-mudik ke berbagai stadion untuk mencomot pemain yang paling pantas masuk dalam timnya.

Yang berat, dia harus bisa bekerja sama dengan para pemainnya. ”Don” Capello ini kerap bermasalah dengan pemain, saat menjadi manajer AS Roma, Madrid, misalnya. Selama sebulan penuh dia menaruh Antonio Cassano, pemain depan yang ahli menggocek bola, hanya di bangku cadangan.

Ketika di AS Roma pula, dia tak cocok dengan Francesco Totti. Padahal publik begitu menyayangi pemain ini. Lama-kelamaan, pemain lainnya pun tidak cocok dengannya. Di Juventus, Capello pernah bikin sakit hati Alessandro Del Piero karena secara terang-terangan si manajer membujuk pemain belakang Fabio Cannavaro dan pemain tengah Ferreira Emerson hijrah bersamanya ke Madrid. Di Madrid, dia juga mengistirahatkan David Beckham semata-mata karena bintang itu meneken kontrak dengan LA Galaxy sebelum masa kontraknya habis. Kiper Gianluigi Buffon mendampratnya sebagai diktator.

Gaya Capello memang menyebalkan. Paling tidak, itu juga yang dirasakan Roberto Carlos, pemain Brasil yang kini bermain di Fenerbache, Turki. Menurut si gundul ini, yang ada di kepala Capello hanyalah kerja. ”Sepuluh tahun mengenalnya, dia sama sekali tidak pernah berbicara hal lain di luar pekerjaan,” katanya. Carlos kepingin, si bos itu mbokya juga mau ngobrol tentang hobi atau keluarga.

Akan begitu jugakah sikapnya terhadap pemain Inggris? Atau, mungkin Capello sudah membuat resolusi tahun baru menjadi manajer yang ramah? Tak ada jaminan. Ditambah persoalan bahasa, sikap seperti ini akan menjadi ganjalan dengan tim nasional Inggris. ”Dia orang yang sulit dan juga banyak maunya,” kata Marcel Desailly, pemain asal Prancis yang pernah menjadi anak buah Capello saat bermain di AC Milan.

Selain itu, ada problem lain. ”Gaya permainan,” kata Ruud Gullit, mantan anak buahnya di AC Milan. Menurut bekas kapten Belanda ini, gaya permainan yang diinginkan Capello amat berbeda dengan tipikal sepak bola Inggris yang penuh daya gebrak dan bermain cepat. ”Dia tidak pernah berpikir bagaimana menyajikan permainan yang seksi; dia hanya ingin menang,” kata Gullit, yang berada dalam asuhannya selama empat tahun.

Itulah sebabnya, meski berhasil membawa Real Madrid menjadi juara musim lalu, pihak manajemen memecatnya. Alasannya, gaya permainan yang dibuat Capello mengecewakan pendukungnya

Lantas apa kata si Don? Dia cuek saja. Anjing menggonggong Capello, eh, kafilah, tetap berlalu. Katanya, di negeri yang menjadikan sepak bola seperti agama, dia harus punya cara berbeda. ”Pertanyaan setiap orang Inggris kenapa tim nasionalnya tidak menang, itu yang akan saya jawab,” katanya. Caranya? Capello masih menyimpan rahasia itu di kepalanya.

Kini, ujian pertama sudah menunggu di depan mata. Tim asuhannya akan bertandang ke Swiss dalam pertandingan uji coba di Wembley awal bulan depan. Hasil pertandingan itu menjadi awal pertarungan panjang Don Capello menaklukkan singa Inggris yang ganas.

Irfan Budiman

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus