Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Bukan Longsor Semusim

Tumpang sari dan relokasi permukiman merupakan solusi bagi bencana tanah longsor.

7 Januari 2008 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Puluhan orang itu belum menyerah. Kendati sudah memasuki hari kedelapan pencarian, mereka masih terus mengaduk-aduk tanah mencari korban tanah longsor. "Mudah-mudahan masih ada jenazah yang ketemu," kata Heru Pratama, Kepala Seksi Penanggulangan Bencana Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah, Rabu pekan lalu.

Sebanyak 64 orang tewas sejak longsor terjadi pada 26 Desember lalu. Ini jumlah korban bencana terbesar selama 2007.

Apakah pralaya di Karanganyar itu merupakan akhir musim longsor di tanah Jawa? Ternyata tidak. "Biasanya korban jiwa banyak terjadi di tengah-tengah musim penghujan," kata Surono, Kepala Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi, Badan Geologi Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral. Pada saat itu biasanya longsor besar akan diikuti banjir bandang.

Pada Rabu pekan lalu, Badan Meteorologi dan Geofisika mengeluarkan siaran pers yang meminta pemerintah daerah mewaspadai tanah longsor yang diakibatkan hujan berkepanjangan. Badan ini menjelaskan pola tekanan rendah di selatan khatulistiwa bakal lebih dominan, sehingga potensi pertumbuhan badai tropis makin besar. Daerah pertemuan angin (konvergensi) di sekitar laut Jawa pun terbentuk.

Ketua Pusat Studi Bencana Alam Universitas Gadjah Mada, Sunarto, mengatakan bahwa bencana tanah longsor akan bergerak ke arah utara. Daerah yang perlu diwaspadai berpotensi mendatangkan tanah longsor adalah lereng Gunung Merbabu, Sumbing, Ungaran, Telomoyo, dan Sindoro. "Sebab, gunung-gunung itu sudah tak aktif lagi," katanya.

Gunung yang tak aktif mengeluarkan pasir yang sudah lapuk dan bakal menjadi tanah lempung. Tanah lempung, kata Sunarto, akan jenuh bila terus-menerus tertimpa hujan. Sedangkan gunung berapi aktif biasanya mengeluarkan tanah pasir yang tak mudah longsor. "Bencana di Karanganyar baru titik awal," ujarnya. Sunarto menyebut pergeseran curah hujan di wilayah gunung itu akan mencapai puncak pada Januari-Februari ini.

Surono memprediksi, sepanjang tahun ini korban tewas dari bencana longsor akan lebih dari 200 jiwa. Sedangkan jumlah rumah yang hancur tetap menembus angka 150 unit. "Saya berharap ramalan ini salah, tapi saya cemas perkiraan saya benar," ucapnya.

Dia menengok kembali catatan jumlah korban jiwa bencana tanah runtuh dalam lima tahun terakhir. Pada 2002 tercatat 84 orang meninggal. Setahun berikutnya naik menjadi 180 orang. Empat tahun lalu tercatat 110 orang, dan meningkat pada 2005 menjadi 243 orang. Dua tahun lalu tercatat korban paling besar yakni 539 jiwa meninggal.

Menurut Surono, banyak wilayah di Pulau Jawa yang beralih fungsi. Dia menduga, hal itu disebabkan kebijakan pemerintah daerah yang lebih mengedepankan potensi ekonomi untuk menata ruang wilayah tapi tak memperhitungkan faktor bencana alam.

Setiap akhir bulan, Badan Geologi merilis peta potensi gerakan tanah di setiap daerah. Panduan ini dibuat dengan menggabungkan peta zona kerentanan gerakan tanah milik Badan Geologi dengan prakiraan curah hujan yang dibuat Badan Meteorologi dan Geofisika. Beberapa parameter yang menjadi dasar antara lain jenis batuan, kemiringan dan stabilitas lereng, aspek kegempaan, tata guna lahan, serta statistik terjadinya longsor.

Berdasarkan parameter itu, setiap area bisa dipetakan menjadi empat kategori, yakni zona kerentanan gerakan tanah tinggi, menengah, rendah, dan sangat rendah. Dari banyak kasus longsor, kata Surono, perubahan tata guna lahan mulai menjadi penyebab dominan bencana tersebut. "Ini terutama terjadi di lokasi dengan kemiringan sedang hingga terjal," katanya.

Bencana longsor di Kabupaten Karanganyar merupakan contoh yang jelas. Menurut Tunjung W. Sutirto, peneliti Pusat Penelitian Lingkungan Hidup Universitas Sebelas Maret, terdapat perubahan fungsi lahan seluas 32 ribu hektare di sepanjang daerah aliran Sungai Samin. Tak ayal, cuma tersisa 10 persen kawasan lindung dan 9 persen kawasan penyangga. Sedangkan kawasan budi daya tanaman semusim mencapai 67 persen lebih. "Padahal tanaman semusim tak bisa mencegah erosi dan kelongsoran," katanya.

Tunjung dan rekan-rekannya menemukan perladangan untuk tanaman sayuran, sawah, dan permukiman di lahan dengan kemiringan 15 derajat. Gambaran yang sama juga muncul di kawasan penyangga yang kemiringannya sampai 45 persen. Fungsi lahan sebagai penyangga dan pelindung tak terpenuhi. Ini kemudian mengakibatkan degradasi lahan akibat proses erosi dan longsor.

Daerah longsor di Tawangmangu memang berada di kaki Gunung Lawu, yang memiliki kemiringan rata-rata di atas 20 derajat. Menurut Tunjung, perubahan fungsi kawasan terjadi secara evolutif karena faktor demografi hingga pengembangan kawasan wisata.

Bagi petani, rupanya usaha tani semusim lebih menguntungkan daripada tanaman kayu tahunan. "Penjualan lahan pertanian untuk didirikan vila juga lebih menguntungkan daripada usaha tani," ujar Dina Ruslanjari, peneliti di Pusat Studi Bencana Alam Universitas Gadjah Mada.

Mata rantai inilah yang memicu pergeseran fungsi lahan. Dina mengusulkan pembuatan lahan tumpang sari, antara pohon keras dan tanaman semusim, untuk mengurangi ancaman tanah runtuh. Sedangkan Surono menyarankan relokasi permukiman warga di wilayah yang masuk zona kerentanan tanah menengah hingga tinggi. Daerah dengan kondisi itu tersebar di Sumatera Barat, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Sulawesi Selatan.

Upaya relokasi telah dilakukan pemerintah Provinsi Jawa Barat di beberapa permukiman di Kabupaten Garut, Ciamis, dan Tasikmalaya. Terakhir, kata Surono, terdapat 127 kepala keluarga di Desa Jahiang, Kecamatan Salawu, Tasikmalaya, yang bersedia dipindahkan. Maklum, di desa ini terjadi ancaman tanah lambat, yang mengakibatkan rumah penduduk roboh, jalan bergelombang, dan luas sawah menyusut. "Relokasi ini bisa ditiru wilayah lain." Apalagi, kata Surono, ada landasan hukum, yakni UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Tata Ruang, yang mensyaratkan perencanaan wilayah harus mempertimbangkan aspek kebencanaan.

Untung Widyanto, Imron Rosyid (Solo), Ahmad Fikri (Bandung), Bernarda Rurit (Yogyakarta)


Kabupaten di Jawa yang terkena longsor tahun 2007

Bogor 5 Februari, 2 orang tewas

Pandeglang7 Februari, 6 orang tewas

Purwakarta 27 Januari, 1 orang tewas

Bandung 30 Januari, tak ada korban jiwa

Tasikmalaya6 Desember, 1 orang tewas

Garut31 Oktober, tak ada korban jiwa

Pemalang23 Januari, tak ada korban jiwa

Boyolali22 Februari, 21 April, 23 Juni, masing-masing 1 orang tewas

Magelang18 Februari, 8 orang tewas

Kebumen 4 Januari dan 8 November, tak ada korban jiwa

Banjarnegara dan Kebumen5 November, 1 orang tewas

Klaten18 Februari, 1 orang tewas

Wonogiri19 Mei, 1 orang tewas 26 Desember 2007, 14 orang tewas

Sragen20 Mei, 3 orang tewas

Pacitan24 Maret, 3 orang tewas 14 Mei, tak ada korban jiwa

Karanganyar26 Desember, 64 orang tewas

Madiun 9 Februari, puluhan warga mengungsi

Magetan 13 Maret, tak ada korban jiwa

Sumber peta: Badan Geologi, Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus