Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Wawancara

<font size=2 color=#FF6600>Nasaruddin Umar</font><br />Persepsi Arab Bukan Persepsi Islam

7 Januari 2008 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dia figur dengan banyak wajah. Telah lama dia dikenal sebagai akademisi. Wawasannya luas, hasil menuntut ilmu dari barat sampai ke timur. Keahliannya tentang kesetaraan gender dalam Islam amat mumpuni dan diakui hingga ke forum Perserikatan Bangsa-Bangsa. Ia juga mendalami tasawuf dan rutin memberikan pengajian di Masjid Sunda Kelapa, Jakarta Pusat.

Satu setengah tahun terakhir, Nasaruddin Umar ”terseret” masuk jajaran birokrasi. Dia ditunjuk menjadi Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Departemen Agama. Ada kisah menarik di balik pengangkatan itu. Adalah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sendiri yang langsung meminta Nasaruddin.

Mereka sudah lama berteman. ”Saya kenal Pak SBY sejak beliau masih berpangkat kolonel,” ujar Nasaruddin. Ketika itu mereka—bersama Kolonel Prabowo Subianto—kerap bekerja sama meggembleng alumni penerima beasiswa Supersemar yang akan ditugasi memberikan penyuluhan ke pelosok negeri.

Sejak itu hubungan tak pernah terputus. Dalam kesempatan melawat ke Amerika, SBY berjumpa kembali dengan teman lamanya yang sedang mengajar di Washington DC. ”Beliau meminta saya membantu membangun Indonesia,” kata Nasaruddin. Butuh waktu setahun baginya memikirkan tawaran itu sebelum akhirnya menerima.

Tugas sebagai Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam ternyata tak mudah. Ia mesti menghadapi maraknya aksi kekerasan terhadap kelompok agama yang dianggap menyempal. Namun Nasaruddin punya kiat menangani masalah ini. Ia tak segan turun ke lapangan ketika terjadi kegentingan, dan menggelar dialog.

Pada Rabu pekan lalu, pria kelahiran Ujung Bone, Sulawesi Selatan, 23 Juni 1959 itu, menerima Nugroho Dewanto, Widiarsi Agustina, dan Sunudyantoro dari Tempo. Ia menuturkan pandangannya tentang kekerasan terhadap kaum minoritas, kesetaraan gender, sampai tingginya tingkat perceraian di kalangan umat Islam. Berikut petikannya:

Belakangan ini sering terjadi masalah dalam relasi di kalangan internal umat Islam. Apa sebetulnya yang terjadi?

Ada pembengkakan kualitas umat. Dulu aspirasi umat Islam ditahan-tahan terus karena faktor politik. Begitu ada kebebasan, mereka mengekspresikan dirinya sehingga terlihat banyak persoalan. Misalnya saja aliran sesat yang disebut Majelis Ulama Indonesia bertambah, menurut saya kok tidak. Ahmadiyah, misalnya, sudah lama ada. Al-Qiyadah juga sejak 10 tahun lampau.

Dalam soal itu, kenapa pemerintah tak meminta masyarakat menyikapinya sebagai perbedaan pendapat saja?

Sementara ini kami mengatakan, perbedaan itu jangan sampai menjadi anarkistis. Jika sudah anarkistis, hukum yang berbicara. Tugas kami adalah memelihara muslim di Indonesia agar tidak menyempal. Juga, bagaimana para penyempal itu bisa kembali dan tidak dihakimi. Jika itu terjadi, hukum yang harus bicara. Sejauh ini ternyata pendekatan persuasif jauh lebih produktif.

Bagaimana komunikasi Anda dengan MUI?

MUI bekerja berdasar hukum syariah, sementara saya bekerja menurut hukum positif, hukum negara, Pancasila. Meski begitu, jangan pertentangkan syariah dengan hukum negara. Saya pribadi setuju peran MUI dalam soal haram dan halal, karena itu penting bagi umat Islam di Indonesia. Tapi, memang, seperti yang dilakukan Nabi, harus ada seni dalam me-manage masyarakat. Madinah bisa solid meskipun konfigurasinya sangat tinggi.

Ada kritik, ulama di MUI sendiri tak terbiasa dengan aneka pendapat. Corak pemikiran mereka serupa. Tak mengherankan bila fatwanya menimbulkan kontroversi....

Saya melihat MUI menjadi kontroversi karena gaya bahasa yang ditampilkan. Tapi mungkin seperti yang dikatakan Kiai Ma’ruf Amin, ada benarnya juga: media tidak meliput prosesnya, tapi ketukan palunya saja. Jadinya, ya, begitu.

Anda sering berdialog dengan MUI?

Kami tidak bisa datang sendiri jika tidak ada undangan. Tapi, kalau mereka mengundang, kami selalu datang. Sebaliknya, kami lebih sering mengundang karena kami harus memutuskan masalah yang berkaitan dengan agama. Bagaimanapun, MUI punya peran penting dalam pembinaan umat.

Sebagai lembaga yang dibiayai negara, bukankah semua warga negara berhak mengkritik MUI....

Pendapat itu ada dasarnya, tapi MUI juga punya mekanisme internal sendiri. Mungkin kritik perlu sebagai upaya pematangan semua pihak. Bagaimanapun, proses to becoming itu tak mungkin sekali jadi, ada tahapannya. Dalam fatwa soal Al-Qiyadah, misalnya, ada butir bahwa umat Islam tak boleh bertindak anarkistis. Dalam soal lain sebelumnya tak ada. Ini sebuah kemajuan.

Baru-baru ini Gus Dur melontarkan kritik bahwa Presiden menempatkan fatwa MUI tak ubahnya seperti fatwa MA, padahal MUI bukan lembaga negara....

Saya mendengar sendiri pernyataan Presiden dalam forum MUI. Sebagai kepala negara, Presiden harus bersikap sama terhadap semua agama. Soal beliau mendukung MUI, masak di depan Kongres MUI tidak mendukung? Tapi jangan diartikan dukungan itu tanpa upaya mengkritik. Kesan saya, informasi yang diterima Gus Dur tidak utuh.

Anda dikenal sebagai ahli kesetaraan gender, bahkan menulis disertasi tentang hal itu. Apa yang membuat Anda tertarik pada isu perempuan?

Gender adalah bagian dari masalah masyarakat sekarang. Pada 1993, ketika saya menyusun disertasi itu, gender masih isu baru di Indonesia. Padahal di Inggris isu itu sudah ramai sejak 1972 dan menggantikan isu feminisme. Isu ini masuk Indonesia seiring dengan peredaran buku-buku sekitar awal 1990-an. Sayangnya, tak banyak yang memahami isu ini. Dosen pembimbing saya di Universitas Islam Negeri Jakarta pun menganggap ini tak layak menjadi disertasi. Tapi saya ngotot karena saya menganggap ini bisa menjadi persoalan masa depan.

Apa riset yang Anda lakukan sebelum menulis disertasi itu?

Saya beruntung karena mendapat kesempatan visiting study ke berbagai negara. Salah satunya Jepang. Di sana saya melihat bagaimana kondisi perempuan yang terbelakang tak berbanding lurus dengan kemajuan negara itu. Saya juga ke Kanada dan Amerika untuk belajar sosiologi gender. Saya juga sering bertemu para Indonesianis di berbagai universitas di Amerika.

Apa yang Anda temukan?

Ada perbedaan persepsi tentang ajaran Islam dengan budaya Arab. Persepsi Islam yang dipahami di Indonesia sesungguhnya bukan persepsi Islam, tapi persepsi Arab. Di Indonesia, orang tak bisa memilah mana budaya Arab, mana yang Islam, karena sama-sama berbahasa Arab. Karena itulah, kami melakukan beberapa terobosan. Saya, misalnya, merekomendasikan tanda baca Quran, tapi tidak secara radikal sehingga tak menimbulkan kontroversi. Ini karena saya tahu betul manfaat pendekatan sosiologis. Orientasi saya pun pada tujuan, bukan popularitas. Karena itu, saya bisa keluar-masuk pesantren.

Disertasi Anda tergolong sensitif untuk kalangan pesantren?

Memang. Disertasi saya juga merekomendasikan: asas Islam itu sebenarnya monogami, bukan poligami seperti yang dikenal selama ini. Saya dianggap menjadi penggerak kesetaraan gender di Indonesia. Padahal sebenarnya ada aktivis kesetaraan gender lainnya seperti para feminis. Sayangnya, bahasa mereka terlalu sekuler sehingga kurang berhasil. Sedangkan saya memakai bahasa agama, jadinya lebih mudah masuk di kalangan rakyat jelata.

Bagaimana kiat Anda masuk pesantren?

Saya menggunakan kaidah usul fiqh. Bagaimana metodologi yang sama bisa dipakai untuk output berbeda. Seekstrem apa pun perbedaan itu, kalau masuk dengan metodologi yang benar menurut ulama, tak akan ada masalah. Kalau kita memakai bahasa Arab, kiai-kiai bisa menerima. Tetapi, kalau menggunakan istilah Barat, mereka akan bilang no way. Mengapa harus menggunakan jalur kontroversi kalau kita bisa menggunakan jalan aman? Bagaimanapun kami harus menghormati mereka dan tawadhu’ pada kiai. Kami berdiskusi dari hati ke hati.

Anda tidak memakai metode hermeneutika?

Justru kami memakai metode itu. Tapi, di pesantren, kami memakai istilah takwil. Sebetulnya kan tidak ada bedanya. Ilmu mantiq yang dikenal di pesantren pun sesungguhnya adalah tradisi berpikir Yunani.

Seberapa jauh Anda bisa mengubah persepsi kalangan pesantren?

Semuanya masih proses. Dulu perempuan tak punya keberanian membela hak dan mengungkap penderitaannya. Sekarang mereka berani mengungkap dan melawannya sesuai dengan koridor hukum. Apalagi ada Undang-Undang Anti-Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Undang-undang ini sudah sangat maju dan saya ada di belakangnya....

Kabarnya, asas monogami dalam UU Perkawinan akan diperluas, tak hanya mengatur pegawai negeri, tapi juga pejabat negara dan perusahaan negara?

UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan memang masih banyak kelemahannya, terutama bagi perempuan. Namun kami khawatir, amendemen undang-undang itu akan membuka peluang bagi kelompok pro-poligami melakukan aksinya. Itu yang saya katakan juga di forum PBB ketika bicara tentang posisi perempuan dalam Islam.

Apa yang Anda sampaikan dalam forum itu?

Bagaimana Islam sebenarnya menghormati perempuan dan bukan seperti yang dibayangkan orang Barat, suka menindas perempuan. Saya jelaskan pula, ada latar belakang historis, sufistik, dan sejarahnya. Misalnya dalam tasawuf, perempuan lebih mulia dibandingkan laki-laki. Ada hadis Nabi yang mengatakan, kepada siapa kami harus berbakti? Nabi menjawab, ”Ibumu,” sampai tiga kali, baru, ”Bapakmu.” Sedangkan dalam fiqh, laki-laki lebih tinggi dari perempuan.

Bagaimana tanggapan mereka?

Saya jelaskan juga, Quran kerap memakai nama perempuan. Ada surat Al-Baqarah yang artinya lembu betina. Juga ada An-Naml (semut) dan Al-Ankabut (laba-laba). Mereka masyarakat binatang yang betinanya memiliki peran besar. Dan ternyata para ahli biologi dari Australia juga menyampaikan bagaimana lebah dan laba-laba betina termasuk yang paling produktif bagi kaumnya.

Apa sebabnya Anda menjadi saksi dalam sidang Mahkamah Konstitusi tentang larangan poligami bagi pegawai negeri?

Itu perintah atasan. Saya diminta memberikan penjelasan dari segi agama kepada majelis hakim.

Perintah dari Menteri Agama?

Dari Menteri, dan sesungguhnya langsung dari Presiden. Syukurlah, sidang memutuskan larangan itu sah.

Bagaimana menjelaskan perspektif gender kepada para kiai yang dikenal bersikap keras dalam soal pemimpin perempuan?

Saya lurus-lurus saja berbicara tentang perspektif gender dalam Islam. Quran Surat An-Nisa ayat 34 mengatakan, ”Aarrijalu qawwamuna alannisa” (laki-laki adalah pemimpin bagi perempuan). Quran mengatakan arrojul, bukan azzakar. Dalam tradisi bahasa Arab, anak laki-laki yang baru lahir belum boleh disebut rojula karena belum memiliki peran budaya. Bayi laki-laki yang baru lahir disebut azzakar. Jadi, yang penting adalah peran budayanya, bukan jenis kelaminnya. Tanpa mengurangi rasa hormat saya pada kiai, pernah enggak mereka mengkaji antropologi budaya Arab, juga klimatologi Timur Tengah? Semua itu ada kaitannya.

Kesetaraan gender sekarang selalu diidentikkan dengan penyamaan laki-laki dan perempuan....

Saya tak sependapat. Penyamaan itu justru mengorbankan hak para perempuan. Agama sudah sangat bagus menjelaskan: perempuan diberi kemuliaan, laki-laki diberi fungsi. Jangan sampai ada pendapat laki-laki boleh poligami, mengapa perempuan tidak? Quran menyebutkan ketatnya syarat berpoligami. Harus ada keadilan yang sifatnya kualitatif, bukan kuantitatif.

Banyak ulama justru melakukan poligami. Tindakan ini bisa menjadi legitimasi?

Masyarakat kita belum sepenuhnya matang dan pintar. Namun kita juga tak bisa mempersepsikan masyarakat kita seperti itu terus. Mereka tambah dewasa. Banyak perempuan yang selama ini terkungkung sekarang lebih sadar akan haknya dan berani bersikap.

Butuh waktu berapa lama agar masyarakat kita makin dewasa?

Tergantung bagaimana proses penyadaran dilakukan. Jika normal seperti sekarang, bisa berlangsung cepat. Kecuali ada upaya mengamendemen undang-undang dan menjadikan situasinya set back lagi.

Sebagai Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam, ke mana umat Islam akan Anda bawa?

Kami ingin membawa umat Islam ke rel yang benar. Sementara ini kepentingan pembinaan umat Islam kurang terurus.

Bagaimana cara Anda mengurus umat Islam?

Banyak. Ada 700 ribu masjid yang mesti diurus. Ada 400 kilometer persegi tanah wakaf yang belum sepenuhnya terurus, sampai soal perceraian. Soal perceraian, ini fenomena menarik. Dari dua juta perkawinan per tahun, terjadi 200 ribu perceraian di berbagai kalangan. Ada peran infotainment yang menayangkan cerita kawin-cerai selebriti. Masyarakat jadi berpikir, cerai adalah sesuatu yang biasa dilakukan.

Bagaimana soal pengelolaan masjid? Ada kekhawatiran masjid dikuasai kelompok-kelompok tertentu?

Kami sedang membuat pola bagaimana masjid diproteksi dari berbagai kepentingan politik atau jaringan tertentu. Pembinaannya kami serahkan ke pemilik atau masyarakat sekitar. Jangan sampai pengurus masjid itu adalah kelompok tak dikenal dari luar. Kami juga melatih para imam masjid agar mereka bisa memberikan masukan pada pengurus masjid. Ya, kami juga berharap masyarakat berhati-hati.

Nasaruddin Umar

Tempat dan Tanggal Lahir: Ujung Bone, 23 Juni 1959

Pendidikan:

  • 1976-1980, Fakultas Hukum Islam IAIN Alauddin, Makassar
  • 1990-1992, Master Hukum Islam di UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta
  • 1993-1998, Program doktoral Islam di UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta
  • 1993-1995, Visiting student program PhD di Universitas McGill, Montreal, Kanada dan Universitas Leiden, Belanda

Pekerjaan:

  • 1998, Pengajar di Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta
  • 1996, Pengajar di Fakultas Ilmu Sosial dan Politik UI
  • 2000-2004, Anggota MUI
  • 2006-Sekarang, Dirjen Bimbingan Masyarakat Islam Departemen Agama

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus