Utang Pemerintah, Perkembangan Prospek dan Pengelolaannya
Pengarang : Cyrillus Harinowo
Penerbit : Gramedia
Tahun terbit : 2002
Tebal : XV + 265 halaman
Krisis ekonomi yang melanda Asia Tenggara, termasuk Indonesia, di tahun 1997/1998 mewariskan persoalan dahsyat bagi bangsa Indonesia: utang pemerintah dipaksa melambung tinggi karena tugas menyelamatkan sektor perbankan nasional. Karena krisis, pemerintah harus mengeluarkan surat utang kepada sektor perbankan lebih dari Rp 600 triliun, dan ini merupakan tambahan atas utang luar negeri yang sudah mencapai US$ 67 miliar.
Proses akumulasi beban utang tidak selesai di sana karena, bersamaan dengan itu, Indonesia mendapat pinjaman dari Dana Moneter Internasional sebesar US$ 5 miliar, sementara pinjaman kepada kreditor dalam kelompok CGI (Consultative Group on Indonesia) setiap tahun terus berlanjut, sehingga total utang luar negeri saat ini mencapai US$ 77 miliar.
Sampai dengan krisis 1997/1998, Indonesia memang ”mengharamkan” utang dari dalam negeri. Utang-utang sebelumnya selalu berasal dari luar negeri karena utang-utang tersebut biasanya berjangka panjang dengan syarat-syarat (termasuk bunga) yang cukup lunak. Akan tetapi krisis moneter memaksa pemerintah mengeluarkan surat utang untuk sektor perbankan, yang menanggung bejibun kredit macet dan menghadapi rush dari para nasabahnya.
Tak pelak lagi, timbunan utang ini menimbulkan masalah sangat berat bagi pemerintah. Sepanjang tahun 2002 saja beban cicilan utang pemerintah mencapai Rp 43,9 triliun. Beban inilah yang kemudian menjadi bahan diskusi yang kian hari kian panas di tengah masyarakat. Soalnya, berbagai subsidi mulai dicabut, sementara pemerintah kian tajam mencari subyek dan obyek pajak baru. Sementara itu, pemerintah sendiri tak punya pilihan lain karena, seperti dikatakan Presiden Megawati, ”Kontrak (utang) adalah kontrak. Karenanya, harus dihormati.”
Namun, menurut Cyrillus Harinowo dalam buku ini, tidak seluruh diskusi mengenai utang luar negeri cukup obyektif. Mantan bankir Bank Indonesia yang sekarang bekerja pada Dana Moneter Internasional di Washington itu melihat minimal ada dua distorsi. Pertama, diskusi itu umumnya gagal menyampaikan makna menyeluruh dari angka-angka utang yang dibahas. Kedua, diskusi itu juga gagal melihat utang pemerintah Indonesia dalam kerangka manajemen keuangan satu negara dalam konteks global.
Dalam mendiskusikan utang luar negeri yang jumlahnya US$ 77 miliar, misalnya, banyak yang lupa bahwa di dalamnya terkandung utang kepada IMF senilai US$ 11 miliar. Utang IMF tersebut semuanya masuk kategori ”dukungan untuk neraca pembayaran”, sehingga semuanya tersimpan utuh dalam rekening Bank Indonesia dalam bentuk cadangan devisa yang tidak dipakai untuk APBN. Saat ini cadangan devisa Bank Indonesia mencapai US$ 30 miliar, cukup untuk membiayai hampir sepuluh bulan impor. Artinya, kalaupun tidak ada devisa masuk melalui investasi ataupun ekspor, Indonesia masih bisa bertahan selama 10 bulan. Padahal, selama 10 bulan terakhir sampai dengan Oktober 2002, perdagangan luar negeri Indonesia terus membukukan surplus rata-rata di atas US$ 2 miliar sehingga, kalaupun investasi minim, posisi devisa nasional cukup aman.
Mengenai besaran utang pemerintah, juga banyak diskusi yang sangat pesimistis dengan menyebut kedahsyatan utang yang mencapai 87 persen terhadap produk domestik bruto (PDB) Indonesia. Harinowo mengakui, angka ini memang tidak kecil. Tetapi menurut dia angka itu secara relatif masih wajar dibanding rasio utang beberapa negara lain, seperti Jepang (99 persen), Belgia (105 persen), Italia (108 persen), dan Yunani (115 persen).
Dan lebih dari sekadar ”wajar”, Harinowo mengatakan bahwa utang tersebut manageable. Untuk itu, ia menawarkan sejumlah alternatif dan skenario sembari merujuk pengalaman sejumlah negara seperti Belgia, Argentina, dan Sri Lanka. Namun, apa pun variasi teknis yang dikemukakannya, inti rekomendasinya berisi satu logika sederhana: angka pembayaran utang setiap tahunnya harus lebih besar dari utang baru tahun yang bersangkutan. Namun, logika sederhana itu tetap saja harus diterjemahkan dalam kebijakan ekonomi yang rumit, mulai dari target pertumbuhan sampai pengendalian fiskal dan moneter yang sangat cermat. Dalam skenario Harinowo, dengan pola pengelolaan utang yang ditawarkannya, rasio utang tahun ini bisa ditekan menjadi 71,6 persen terhadap PDB, dan terus turun menjadi 55,5 persen pada 2006. Dalam skenario terburuknya, rasio utang akhir tahun ini adalah 79,3 persen terhadap PDB dan 61,2 persen pada 2006.
Namun, cara berpikir Harinowo (kiranya memang tak bisa lain) sangat ceteris paribus. Dia abai bahwa seluruh persoalan yang melilit bangsa ini justru ada di sana, yakni bahwa berbagai kalkulasi ekonomi bisa begitu saja dihancurkan oleh faktor non-ekonomi, mulai dari persoalan KKN, konflik sosial, sampai ketegangan politik. Dan semuanya itu jelas persoalan riil yang ada di depan mata, khususnya
Kendati demikian, harus diakui alternatif-alternatif yang diajukan Harinowo memang sangat memberi pemahaman baru mengenai utang dan pemerintah dan pengelolaannya. Yang menarik, Harinowo mampu menyajikan buku ekonomi yang berat dengan penuturan yang sangat populer sehingga bisa dibaca dengan ringan oleh masyarakat awam. Sayangnya, buku ini penuh dengan kesalahan tipografi dan inkonsistensi penulisan istilah yang mengganggu. Namun, ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab penerbitnya.
(Her Suharyanto, pengamat ekonomi)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini