Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di toko mebel, telepon selulernya berdering. Wout Brama, 23 tahun, yang sedang asyik berbelanja tempat tidur, langsung menjawabnya. Suara di telepon itu memperkenalkan diri dari tim nasional Belanda. Awalnya Brama tak percaya. Tapi tak lama kemudian sederet kalimat menyembur ke kupingnya, dan setelah itu, gelandang FC Twente itu pun mengaku tak mampu berdiri lagi. "Kakiku gemetar."
Ternyata si penelepon adalah Bert van Marwijk, manajer tim nasional Belanda. Dia mengontak Brama untuk mengajaknya ikut dalam pertandingan uji coba melawan Italia, pertengahan November lalu. "Setelah Engelaar, Braafheid, dan Elia, saya adalah pemain FC Twente keempat yang dipanggil untuk bermain di tim nasional," kata Brama, berusaha menekan kegembiraan yang meluap-luap.
Lambertus van Marwijk, 57 tahun, begitu nama lengkap pelatih tim nasional Belanda itu, memang harus menjajal banyak pemain untuk dipasang di timnya. Jenisnya pun harus beragam: dari pemain yang sudah berpengalaman hingga pemain muda seperti halnya Brama dan kawan-kawan.
Untungnya dia punya banyak waktu untuk itu. Maklum, sejak Juni lalu, tim asuhannya sudah mendapatkan tiket ke Afrika Selatan. "Jelas menyenangkan, kami mendapat waktu persiapan yang lebih lama," katanya. Ketika timnya dipastikan lolos, dua partai sisa yang tak lagi berpengaruh lantas dijadikan ajang uji coba pemain.
Apa pun yang menyangkut tim Belanda selalu saja menarik perhatian publik. Bukan apa-apa, kiprah tim ini memang istimewa. Bersama indahnya sepak bola Amerika Latin, gaya permainan menyerang mereka menjadi suguhan sedap setiap Piala Dunia diselenggarakan. Dua kali masuk final Piala Dunia, dan keduanya berakhir dengan kekalahan, mereka kerap dijuluki juara tanpa mahkota.
Dalam putaran Piala Dunia kali ini prestasi mereka kembali mengkilap. Tim Belanda langsung menyedot perhatian. Di babak kualifikasi semua lawan mereka babat habis. Dari delapan kali bertanding, tak satu pun kehilangan poin. Produktivitasnya mencolok, membuat 14 gol dan hanya kebobolan dua biji gol.Mooie alias cantik benar tim Oranje ini.
Sebuah prestasi yang membuat banyak orang terbelalak. Padahal, pertengahan tahun lalu, banyak orang yang ragu terhadap kemampuan Van Marwijk ketika didapuk menggantikan Marco van Basten, pelatih sebelumnya yang kedaluwarsa kontraknya. Pihak pengurus sepak bola ogah memperpanjangnya. Pilihan itu digeser pada Bert van Marwijk, pelatih Feyenoord, klub asal Rotterdam.
Di luar Belanda, nama Marwijk memang kurang terkenal dibandingkan dengan pelatih lain seperti Louis van Gaal atau Leo Beenhaker, yang sudah wira-wiri di berbagai klub Eropa. Nah, kalaulah ada yang bersinar dari Van Marwijk, salah satunya adalah membawa Feyenoordmenjadi juara UEFA Cup pada 2002. Sebagai pemain, prestasinya biasa saja. Dia hanya sekali membela Belanda. Itu pun dalam sebuah partai uji coba pada 1975. Selebihnya, dia hanya bermain di klub.
Apa kehebatan si Rambut Perak, sehingga mampu membuat tim Oranye tampil perkasa? Soal pemain tentu dia tak perlu pusing. Dia punya banyak berlian. Bintang Arsenal, Robin van Persie, ada di sana. Dari Italia ada Wesley Snider, yang bermain di Inter Milan. Rafael van der Vaart yang bermain di Real Madrid menjadi playmaker penting di tim ini.
Nama lain adalah Arjen Robben, pemain sayap asal Bayern Munich yang memiliki kemampuan tipikal khas Belanda. Satu pemain penting lainnya adalah Mark van Bommel, gelandang bertahan yang menolak bermain di era Marco van Basten. Bommel tak bisa menolak lagi. Maklumlah, dia adalah menantu Van Marwijk.
Tambahan lainnya adalah pemain muda asal negeri sendiri yang jumlahnya tersebar di berbagai klub dalam negeri.Mereka harus dipadukan dengan tepat. Takaran pemain muda dengan yang berpengalaman haruslah pas. Yang tak kalah penting adalah taktik permainan. Sebagai orang Belanda, tentu Marwijk tak meninggalkan gaya sepak bola menyerang.
Dalam buku Brilliant Orange, David Winner, sang penulis, melihat kesamaan gaya arsitektur Belanda dengan sepak bola yang dicetuskan Rinus Michels dalam tim Ajax pada dekade 1970, yang kemudian dijalankan dengan gemilang oleh Johan Cruyff di tim nasional Belanda.
Di mana pun, ukuran lapangan sepak bola dan bentuknya tidak pernah berubah. Kotak persegi panjang dengan ukuran panjang kali lebar berkisar seratus meter. Namun tidak bagi orang Belanda. Dalam ukuran itulah, terdapat ruang yang dapat dimanfaatkan sedemikian rupa.
Belanda negara sempit. Penduduknya susah payah membuat tanah mereka bertambah lapang-termasuk dengan sebagian dataran yang lebih rendah ketimbang permukaan laut.
Demikian juga dengan total football, yang merupakan upaya memanfaatkan lahan seefisien dan sefleksibel mungkin. "Ruang menjadi kata yang selalu hadir pada saat kami bermain. Sewaktu diserang, kita membuat ruangan lawan menjadi sempit, sebaliknya ketika menyerang, kita membuat ruang menjadi lebar bagi kami," kata Ruud Kroll, veteran Belanda yang bermain apik dalam Piala Dunia 1978.
Resep bermain bola dengan menggunakan ruang secara efisien tetap menjadi pakem yang dipegang Marwijk. Namun, berbeda dengan Marco van Basten, misalnya, Marwijk jauh lebih sabar dan telaten dalam menata pertahanan. "Menyerang dengan tujuh pemain sekaligus sama saja dengan bunuh diri," katanya.
Perbedaan lainnya, "Marco langsung menekan ketika bola masih dipegang pemain belakang lawan. Tapi saya menundanya. Bagi saya, tim bisa lebih efektif bila menekan ketika lawan sudah memainkan bola."Menurut Marwijk, taktik Marco itulah yang membuat mereka kalah dari Rusia dalam Piala Eropa tahun silam.
Sejauh ini koreksi dan evolusi dari total football itu telah membuahkan hasil. Tapi tentu belumlah final. Di Piala Dunia tahun depan, Marwijk mendapat laga yang sesungguhnya.
Budiman (Voetbal International, Reuters, fifa.com)Robin van Persie:
Pemain Komplet
Ketika berada di kotak penalti, sodorkanlah bola padanya. Boleh jadi papan skor di stadion akan segera berubah. Robin van Persie tidak saja menjadi tumpuan Arsenal di Liga Primer, tapi juga tim nasional Belanda. Meski kerap mencetak gol, toh dia emoh disebut striker pembunuh. "Saya jelas berbeda dari Fernando Torres atau Didier Drogba," katanya.
Robin, pemain kelahiran Rotterdam 26 tahun lalu, punya dua peran yang berbeda. Kadang dia turun sebagai ujung tombakatau justru penyerang bayangan. Bisa jadi dia berada di sayap kiri atau kanan, lalu tiba-tiba saja berada di kotak penalti untuk menebar teror. "Menyenangkan bisa melakukan dua fungsi itu sekaligus."
Kemampuan ayah dua anak ini memang terbilang komplet. Meski memiliki kaki kiri yang baik, dia pun mampu beroperasi di bagian kanan lawan. Kemampuannya mengolah bola mati pun tak usah diragukan. Urusan tendangan bebas atau sepak pojok menjadi menu rutinnya.
Tak pelak, dia pemain komplet yang sangat berharga bagi tim. Itulah sebabnya, baik Arsene Wenger maupun Bert van Marwijk amat terpukul mengetahui cedera yang dialaminya dalam pertandingan uji coba antara Belanda dan Italia, pertengahan November lalu. Otot ligamennya yang robek membuatnya istirahat paling tidak lima pekan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo