Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
THE TWILIGHT SAGA: NEW MOON
Sutradara: Chris Weitz
Skenario: Melissa Rosenberg berdasarkan novel karya Stephenie Meyer
Pemain: Kristen Stewart, Robert Pattinson, Taylor Lautner, Dakota Fanning.
Begini.
Dengan kesadaran penuh, saya membayangkan para ibu muda sosialita yang cantik, wangi, menenteng tas bermerek, dan gerombolan ABG (anak baru gede) yang manis-manis, akan melotot membaca resensi film New Moon yang menghebohkan sejagat. Itu pun kalau mereka sempat membaca majalah ini. Mungkin juga tidak. Atau tak peduli. Tak mengapa. Resensi, ulasan, atau kritik film harganya memang nol di hadapan penggemar fanatik.
Jadi, beginilah dongeng Stephenie Meyer yang kini diangkat oleh sutradara Chris Weitz. Di Desa Fork, di Negara Bagian Washington yang hujan melulu, kabut melulu, Bella Swan (Kristen Stewart) seharusnya berbahagia, karena dia mendapatkan Edward Cullen (Robert Pattinson), kekasih yang gantengnya bukan buatan, sang vampir yang usia aslinya 109 tahun, tapi berwajah 17 tahun yang abadi. Harap saudara-saudara sekalian paham, Robert Pattinson inilah salah satu penyebab lonjakan hormon yang begitu ekstrem. Bukan karena seni peran; apalagi kedalaman cerita. Tapi karena raut muka yang lancip dan sepasang mata bersinar yang membuat darah muda menggelegak.
Dalam bab New Moon, penulis Stephenie Meyer seperti bingung menciptakan konflik. Bella sudah tahu sang lelaki pujaannya adalah vampir. Bella sudah menyatakan ingin hidup bersama selama-lamanya. Lalu apa lagi? Oke, marilah kita masukkan lelaki lain, Jacob Black (Taylor Lautner, yang kini tampil penuh otot). Ini penyebab nomor dua, kenapa film ini menjadi penyebab lonjakan hormon.
Jadi, Bu Stephenie menciptakan satu gara-gara. Bella Swan, yang sedang merayakan ulang tahun di antara keluarga besar vampir Cullen yang pucat-pucat itu, membuka kado, dan ou…, jarinya tergores kertas yang tajam. Dan, ou…, darah mengalir, dan ou…, Jasper, salah satu saudara Edward sesama sosok pucat itu, menghambur ingin mengisap darah segar itu. Dan Edward, seperti biasa, segera menghalangi makhluk apa pun yang ingin melukai Bella. (Ini penyebab ketiga, kenapa cerita Bu Stephenie digemari. Menurut adik-adik ABG, senang rasanya melihat sang kekasih ganteng ”come and save the day”, demikian pengakuan salah satu penonton remaja.)
Nah, gara-gara peristiwa ”berdarah” itulah keluarga Cullen memutuskan pindah berbondong-bondong meninggalkan Fork, agar Bella tidak menjadi sarapan mereka (meski keluarga pucat ini mengaku sudah lama ”vegetarian”, yaitu hanya menghirup darah binatang).
Masuklah si Jacob, ganteng nomor dua (tentu saja setelah fase Bella patah hati, berteriak-teriak, ingin bunuh diri agar bisa ketemu kekasih pucatnya). Perlahan Jacob berhasil meniupkan kehidupan dalam tubuh Bella yang sudah seperti topo lecek itu. Nah, tapi dasar Bu Stephenie. Dia ciptakan lagi problem. Dengan Edward Cullen, Bella tak akan bisa berhubungan seks karena Edward khawatir dia bakal kebablasan mengisap darah sang kekasih. Dengan Jacob, Bella juga tak akan bisa berhubungan lebih jauh, karena Bella bisa kena cabik lantaran ternyata Jacob juga penjelmaan serigala jadi-jadian. Sampai di situ, kejengkelan saya sudah sampai tahap ke ubun-ubun. Susah betul Bella mencari pacar yang rada ”normal”. Di sekuel ketiga apa dia akan jatuh cinta pada lelaki jelmaan hantu?
Jika film Twilight masih bisa ditonton dengan perasaan ”lumayan terhibur”, karena sutradara Catherine Hardwicke (sebelumnya lebih dikenal sebagai sutradara film indie yang dahsyat seperti Thirteen), karena Hardwicke berhasil menjungkirbalikkan film ini menjadi karya yang menghibur dan masih mampu memberikan beberapa elemen yang magis (ingat adegan Edward Cullen menghirup racun dari tangan Bella agar dia tak menjelma menjadi vampir? Ingat beberapa imaji berkelebatan, seekor kijang berloncatan di kehijauan hutan, yang melambangkan kehidupan dan bayangan kematian?). Paling tidak Hardwicke masih mencoba menampilkan dialog yang sesekali lucu dan segar.
Film New Moon pada akhirnya berisi kisah cinta segi tiga remaja yang dibumbui ”mempertahankan keperawanan” agar tetap hidup. Sesuatu yang terlarang dan tak boleh tercapai tentu membuat penonton remaja malah gelisah. Kegelisahan itulah yang dieksploitasi oleh para pembuat serial Twilight ini. Seni peran? Sudahlah, tak perlu dibicarakan. Apa yang bisa diharapkan dari Kristen Stewart—yang dulu dikenal sebagai putri film indie—yang berdesah melulu, atau Robert Pattinson yang kerjanya berpose. Seni peran baru mulai saat Dakota Fanning (sebagai Jane) dan Michael Sheen sebagai Aro, deretan Volturi, vampir kuno yang harus mereka temui di Italia sana. Meski mereka hanya tampil beberapa menit, para aktor muda itu lebih mirip patung yang layak dibuang ke laut saja.
Tapi, sudahlah. Apa pun yang ditulis di sini tak akan mempengaruhi para penggemar fanatiknya. Saya mendengar, sejak film New Moon ditayangkan dua pekan lalu, sudah banyak penonton yang menyaksikannya sampai lima atau enam kali (percayakah Anda, ada yang menyaksikan film Twilight di bioskop sampai 24 kali?).
Leila S. Chudori
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo