Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gaya Hidup

Cinta yang Tak Memiliki

Banyak orang menyayangi hewan tanpa menjadikannya klangenan. Kampanye meluas ke isu lingkungan.

30 November 2009 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Asyik juga menyaksikan sepak terjang sejumlah penyayang binatang di negeri ini. Boleh percaya boleh tidak, hal pertama yang cepat terdeteksi di antara para pencinta primata adalah kebencian terhadap topeng monyet. Ya, atraksi itu di mata mereka merupakan sebuah pertanda betapa egosentris manusia itu. Lihatlah mereka telah memaksa hewan jadi manusia. Berjalan seperti manusia, mengendarai sepeda dan memakai payung seperti manusia, seraya mematuhi perintah tuannya: Sarimin pergi ke pasar....

Topeng monyet dan foto bersama orang utan di kebun binatang, menurut Kuswandono—kini anggota staf di Taman Nasional Gunung Gede-Pangrango—telah menambahkan gambaran keliru tentang dunia primata. Di mata Kuswandono, yang aktif memberikan aneka penyuluhan mengenai hewan, primata seharusnya hidup di alam bebas. Sebab, memang di sanalah mereka memainkan peran dalam ekosistem. Masalahnya sekarang, habitat primata (hutan) berkurang pesat. Di Indonesia, laju kerusakan hutan mencapai 1,08 juta hektare per tahun, hingga menghasilkan predikat negara tercepat dalam menghabiskan hutan dari Guinness World Records.

Karena itulah, Selasa dua pekan lalu, di Bundaran Hotel Indonesia, Orang Utan Republic Education Initiative Indonesia (OUREI Indonesia) bersama sejumlah lembaga swadaya masyarakat menggelar kampanye menanam pohon. Kegiatan pelestarian satwa dan pelestarian hutan pun menjadi satu paket. ”Sayang binatang, ya pelihara rumahnya (hutan),” kata Angelina Sondakh. Puteri Indonesia 2001 itu menjadi duta besar penyelamatan orang utan Indonesia sejak 2005. Orang utan sebenarnya bukan cinta pertama Angie. Sebelumnya ia aktif dalam pelestarian monyet terkecil di dunia (Tarsius kerdil) yang hidup di hutan Sulawesi Utara.

Hewan dan habitatnya memang dua yang tak patut dipisahkan. Dan Yayasan BOS (The Borneo Orang Utan Survival Foundation) termasuk kelompok yang aktif mencari lingkungan untuk pelepasan orang utan eks rehabilitasi. Tahun ini yayasan membentuk perusahaan agar mendapat permohonan izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu-restorasi ekosistem untuk mengelola sebuah kawasan. Kamis dua pekan lalu, izin telah keluar. Kelak hutan itu akan digunakan sebagai habitat sekitar 800 ekor orang utan yang kini masih di pusat rehabilitasi Yayasan BOS di Kalimantan. ”Orang utan itu salah satu solusi global warming,” kata Direktur Eksekutif Yayasan BOS Aldrian Priadadi.

Ya, para penyayang fauna ini termasuk orang-orang yang hakulyakin: mencintai bukan berarti memiliki. ”Cinta dengan membebaskan ke asalnya,” kata Angie. Tentu, Angie dan kawan-kawan tidak seperti para penyayang yang mewujudkan cinta mereka dengan memberikan kenyamanan suasana di rumah pada anjing, kucing, ikan hias, atau burung. Tapi bukan hanya Angie dan Kuswandono yang berkeyakinan seperti itu. Pendekatan semacam itu terlihat, misalnya, pada kegiatan Asosiasi Pelestari Curik Bali. Para pegiatnya mendorong penangkaran curik bali untuk kemudian dilepaskan ke Taman Nasional Bali Barat. Aksi pelepasan terakhir 40 ekor, dua pekan lalu. ”Menambah populasi di habitat aslinya,” kata Ketua Asosiasi Tony Sumampau.

Asosiasi itu berdiri pada 2004 setelah adanya indikasi kepunahan curik bali. Burung bermata biru dengan bulu-bulu putih di sekujur tubuhnya itu banyak diburu. Harganya sempat mencapai Rp 40 juta per ekor. Saat di puncak harga itu, perburuan curik di alam sangat marak. Bahkan pernah sekelompok pemburu merampok 50 curik bali di tempat penangkaran di Taman Nasional Bali Barat. Saat kritis, curik bali diperkirakan tinggal tersisa puluhan ekor di alam liar.

Kegiatan penangkaran pun digalakkan Asosiasi hingga terkumpul 30-an orang penangkar. Proses penangkaran bukan soal gampang. Begitu sepasang telur menetas, anak curik bali harus cepat diselamatkan ke tempat yang aman, sebelum ia dibunuh sendiri oleh induknya. Sebelum curik bisa makan sendiri, penangkar menyuapi tiap curik setiap satu jam sekali. ”Butuh kesabaran luar biasa,” ujar Tony. Padahal induk curik biasanya bertelur hingga tujuh butir selama setahun saat musim kawin.

Berbicara tentang pelestarian burung, di Yogyakarta ada kelompok pemerhati dan penyayang yang memiliki pendekatan yang sama: Yayasan Kutilang Indonesia. Berdiri pada 1990 sebagai kelompok pengamat burung, Kutilang berkembang pada 2002 menjadi kelompok pelestarian burung. Kegiatannya antara lain melakukan pengamatan terhadap burung, yakni program Jogja Bird Walk, sampai menjaga burung di habitat aslinya dengan program Jogja Bird Rescue. Kegiatan didukung sukarelawan yang disebut Kadang Kukila—teman burung.

Pengamatan rata-rata dilakukan sebulan dua kali, tapi bisa seminggu sekali saat musim hujan. ”Waktunya burung bermigrasi ke Indonesia,” kata Sunaring Kurniadari, salah satu pegiat Kutilang. Tujuannya mendata jenis burung di Indonesia. ”Kalau nemu burung bercincin dari luar negeri, kami laporkan ke komunitas internasional,” dia menjelaskan. Pengamatan biasa diikuti anggota klub burung, siswa sekolah, dan masyarakat umum. Terakhir dilakukan dua pekan lalu, yakni di pantai Parangtritis, juga di pusat kota Malioboro, untuk mendata burung-burung perkotaan.

Kegiatan tak kalah menarik adalah menjaga proses kembang biak burung yang terancam punah agar aman sampai anak burung bisa terbang sendiri. ”Kami tongkrongin di sarangnya dari bertelur sampai terbang, bisa dua bulan,” ucap Sunaring. Setiap hari dua sukarelawan menunggui sarang burung itu, menjaga dari pemburu atau predator. Kegiatan ini terakhir dilakukan terhadap elang jawa tahun lalu di kawasan Gunung Merapi. ”Sekarang kami terus mencari sarang-sarang lain.”

Para penggerak Kutilang beranggapan bahwa penyelamatan burung punya cakupan luas. ”Burung hanyalah jendela untuk menyelamatkan lingkungan,” kata Direktur Eksekutif Yayasan Kutilang Indonesia Ign. Kristianto di situs resmi Kutilang. Dengan 1.584 jenis burung, sekitar 17 persen jumlah spesies burung dunia ada di Indonesia. Kini 119 jenis burung di Indonesia terancam punah. Ancaman kepunahan burung itu dinilai sebagai indikasi kerusakan lingkungan secara luas.

Harun Mahbub, Anwar Siswadi (Bandung)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus