Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Surat Pembaca

Surat Pembaca

30 November 2009 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Cekal yang Membingungkan

HEBOH kasus Anggodo Widjojo dalam dugaan rekayasa kasus kriminalisasi pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi membuat ”tangkal” menjadi kosa­kata yang akrab di telinga masyarakat.­ Polisi menyebut si A telah dicekal (maksudnya, cegah dan tangkal). Petugas Imigrasi juga mengatakan hal yang sama. Maka seolah-olah kata ”dicegah”, ”ditangkal”, ”dicekal” itu bermakna sa­ma. Sebab, petugas pajak juga punya kosakata ini untuk mereka yang malas bayar pajak. Korps diplomat juga pu­nya kata lain yang artinya sama: persona non-grata.

Padahal perbedaannya jelas. Dicegah­ itu berlaku bagi mereka yang memegang paspor dalam negeri sebagai larangan bepergian ke luar negeri. Sementara itu, ditangkal berlaku bagi mereka yang memegang paspor asing dan tak dibolehkan masuk wilayah Indonesia. Jadi, kalau warga Indonesia ditangkal masuk nega­ranya sendiri, bisa jadi ini penemuan baru. Ini memang pernah terjadi pada mereka yang dituduh terlibat Gerakan 30 September 1965.

Maka apakah Anggoro Widjojo, kakak Anggodo, terhubung ke dalam nuansa politik seperti itu ketika ditangkal masuk negaranya sendiri? Pernyataan itu membuat bingung kita sebagai masyarakat awam.

M.E. Dirk
Setiabudi, Jakarta Selatan


Awas Pemakzulan Presiden

ADA yang memanfaatkan agar pemimpin nonaktif Komisi Pemberantas­an Korupsi kembali aktif bekerja untuk menjatuhkan Presiden. Indikasinya, Presiden didesak agar mengintervensi kasus ini sehingga di kemudian hari Presiden kembali dituding telah mencampuri urusan hukum yang bukan wewenangnya. Ujung-ujungnya, kekisruh­an ini adalah tuntutan pemakzulan Kepala Negara.

Kita harus mewaspadai upaya-upaya ke arah ini. Bagaimanapun Susilo Bambang Yudhoyono adalah pemimpin yang sudah dipilih rakyat dalam mekanisme demokrasi yang diakui konstitusi. Pemakzulan dengan cara-cara memancing di air keruh pusaran kasus hukum dan politik hanya akan mengacaukan situasi. Semoga semua pihak mampu menahan diri untuk tidak terjebak permainan sebagian kecil kelompok yang ingin meng­adu domba.

Yayan Saptawan
[email protected]


Cari Simpati di Angket Century

DUKUNGAN atas penggunaan hak angket di Dewan Perwakilan Rakyat atas kasus Bank Century terus bergulir.­ Penyokongnya lebih dari 200 anggota dari delapan fraksi. Inisiatif ini perlu dihargai. Penggunaan hak angket pada dasarnya agar suatu kasus dapat langsung diselidiki oleh Dewan. Namun kesannya para anggota Dewan mendahului Badan Pemeriksa Keuangan yang sedang menyelidiki aliran selisih dana haram yang dikucurkan pada Bank Century.

Apakah motif penggunaan hak angket itu untuk keadilan atau sifatnya politis, mereka yang tahu. Jika kasus ini dipolitisasi, tidak akan menyelesaikan masalah dan hanya akan berujung pada kegaduh­an politik. Karena itu, tunggu hasil audit BPK sehingga Dewan mendapat informasi yang lengkap tentang kasus Bank Century.

Yudi Prasetyo
Jalan Ciliwung, Margonda
Depok, Jawa Barat


Pancasila di Mata Siswa

ADA kecenderungan siswa sekarang tak memahami apa itu Pancasila. Bahkan ada yang tak tahu urutan-urutan silanya. Setidaknya itu terlihat dari tayangan di televisi dan evaluasi yang dilakukan Direktorat Jenderal Kesatuan Bangsa dan Politik Departemen Dalam Negeri. Gejala ini, katanya, mulai terjadi setelah era Reformasi. Setelah jatuhnya pemerintah Orde Baru, muatan pendidikan berkait­an dengan Pancasila berkurang. Kondisi ini diperparah oleh makin diabaikannya pendidikan pembangunan karakter siswa di sekolah.

Berkurangnya wawasan kebangsaan bisa berdampak pada menipisnya rasa nasionalisme, yang sudah mulai terlihat beberapa waktu terakhir. Maraknya pertikaian dan perkelahian antardesa merupakan salah satu tanda menipisnya rasa nasionalisme. Penguatan kembali Pancasila juga perlu dilakukan melalui kebijakan pemerintah yang mencermin­kan nilai-nilai Pancasila. Pemaham­an Pancasila pada generasi muda saat ini diharapkan menghasilkan tafsiran kritis sehingga nilai Pancasila terus relevan dengan kehidupan bangsa di masa depan.

Jusuf Sani
[email protected]


Banjir di Simpang Otista

Senin sore pekan lalu, saya dan ke­luarga pulang ke daerah Cipinang Muara melalui Jalan Kebon Nanas, Jakarta Ti­mur. Tapi mobil kami terjebak dalam banjir yang melanda persimpangan Jalan Otista 3 dan Jalan Mayjen D.I. Panjaitan, setelah daerah itu diguyur hujan sebentar.

Air meluap hingga got tak terlihat­ lagi. Banjir itu menutup jalan, darilampu pengatur lalu lintas di simpang tersebut ke arah utara hingga pengkol­an Kampung Melayu. Air menutup hampir seluruh jalan dan hanya menyisakan satu jalur untuk bisa dilewati. Kema­cetan tidak terelakkan dan bahkan beberapa­ sepeda motor macet di tengah jalan, membuat keadaan semakin semrawut. Tak satu pun petugas ada pada saat itu.

Kami memohon agar Pemerintah Pro­vinsi Jakarta memperbaiki saluran air di daerah itu yang mungkin terlalu sempit atau mampat, sehingga banjir tidak berulang lagi. Hujan sebentar saja sudah banjir seperti ini, bagaimana jadi­nya bila hujan deras? Bisa-bisa kami dan warga lain di sekitar sini terjebak, tak bisa keluar atau pulang ke rumah. Mohon keluh­an kami diperhatikan.

Alex Candra
Cipinang Muara, Jakarta Timur


Oh, Kereta Api Kita

SAYA naik kereta api listrik Bogor-Jakarta. Karena sudah malam, saya ha­nya kebagian tiket kelas ekonomi. Pintu gerbongnya tak bisa menutup lagi, jendelanya sudah tak ada, lantainya becek sehabis hujan, lampunya mati entah kenapa. Jadilah sepanjang perjalanan saya duduk dalam gelap segelap-gelapnya. Hanya gemuruh kereta dan suara angin terdengar. Orang, mungkin pedagang, lalu lalang di depan tapi tak kelihatan bagaimana rupa dan bentuknya. Ini bisa dimanfaatkan jika perampok mau me­nodong dan menggasak harta penum­pang. Sebab, niat bisa muncul kemudian jika ada kesempatan.

Kenapa kereta kita dibagi ke dalam kelas: superjelek, agak bagus, dan luma­yan bagus? Kereta yang saya naiki itu tentu kelas superjelek. Kereta yang agak bagus kalau naik kelas ekonomi AC yang harga tiketnya dua kali lipat. Kalau mau naik yang lumayan bagus, tentu Pakuan­ Ekspress yang harga tiketnya hampir tiga kali lipat, itu pun hanya berhenti di Gambir. Kenapa kereta kita tak dibagi atas kelas cepat dan agak cepat? Sehingga penumpang bisa memilih kereta berdasarkan kecepatannya, dengan harga yang terjangkau isi dompet orang keba­nyakan.

Ini belum soal budaya penumpang kita yang tak mau antre, mendahulukan pe­numpang keluar sebelum masuk. Akhir­nya yang sering terjadi adalah penumpukan di pintu masuk: masuk tak bisa, keluar macet. Setelah masuk pun orang tak peduli apakah mereka yang seharusnya mendapat prioritas (ibu hamil, orang tua, orang sakit, dan bawa anak) tak mendapat tempat duduk. Tanda kursi prioritas memang masih menempel di kaca (karena kereta kita kebanyakan diimpor dari Jepang), tapi itu sekadar sti­ker pemberitahuan.

Hidayat
Duren Sawit, Jakarta Timur

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus