Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Republik Ghana
Jumlah penduduk: 23 juta jiwa
Luas negara: 238 ribu kilometer persegi
Organisasi: Ghana Football Association, berdiri 1957
Partisipasi Piala Dunia: 1 (16 besar, 2006)
Prestasi: Juara Piala Afrika (1963, 1965, 1978, 1980)
Peringkat FIFA: 34 (Januari 2010)
SANG manajer teguh seperti karang. Padahal bujukan sudah dilancarkan gencar dengan banyak cara. Termasuk surat yang dilayangkan Michael Essien, 27 tahun, kapten tim, kepada Federasi Sepak Bola Ghana. Essien meminta Sulley Ali Muntari, pemain gelandang, dilibatkan dalam tim yang berangkat ke Piala Afrika di Angola, yang digelar sejak tengah hingga akhir bulan ini.
Hasilnya nihil. Tak ada lagi tempat buat Muntari, kata Milovan Rajevac, sang manajer asal Serbia. Essien pun meradang. Bukan apa-apa. Dia sangat membutuhkan kehadiran Muntari. Bisa dibilang pemain asal Inter Milan itu menjadi ”belahan jiwa”-nya di lapangan. Keduanya klop, luar-dalam. Tanpa salah satu dari mereka, Ghana seolah bermain dengan sebelah kaki.
Bagi Essien, turnamen sepenting Piala Afrika tidak saja dijadikan ajang mencari prestasi, tapi yang jauh lebih penting menjadi ajang uji coba sebelum tampil pada Piala Dunia di Afrika Selatan. Lawan yang dihadapi, seperti Pantai Gading, Burkina Faso, dan Togo (yang belakangan mundur), dirasa pas benar untuk menguji pasukannya.
”Sulley Muntari adalah pemain kelas dunia dengan segudang pengalaman yang akan memberikan pelajaran penting buat tim dalam menghadapi Piala Dunia,” tulis Essien dalam suratnya. Namun keputusan sudah bulat, tak ada tempat lagi bagi Muntari.
Sebenarnya, andai Muntari mau meminta maaf—itu yang dilakukan Essien dan Asamoah Gyan dengan cara meminta maaf dan membayar denda 3.400 euro—dia sudah bisa masuk tim. Namun Muntari keras hati. Baginya, mangkir dari tim saat bertanding di Angola dalam pertandingan uji coba bukanlah dosa.
Ada apa sebenarnya dengan Muntari sehingga dia senekat dan sekukuh itu?
Rupanya, ini merupakan buah ketidakcocokan antara Muntari dan Rajevac. ”Sejak hari pertama, sang pelatih tidak menyukai sikapnya di tim nasional. Muntari membandel. Taktik di lapangan tak diindahkannya,” kata Kwaku Ahenkorah, jurnalis radio di Ghana yang paham luar-dalam keadaan tim, kepada situs berita Goal.com.
Sesungguhnya, pihak federasi dan pelatih tak diam. Mereka juga membujuk Muntari agar mau melunak, tapi tak pernah berhasil. Bahkan, kabarnya, Rajevac sempat terbang ke Milan, membujuk melalui pemain Italia yang dikenalnya untuk melunakkan hati Muntari. Namun target yang dibidik tak jua berubah.
Ketidakharmonisan hubungan pelatih dengan seorang pemain bisa menjadi persoalan ruwet bagi tim nasional Ghana. Kemampuan dan tangan dingin Rajevac dalam menangani tim sudah teruji. Setelah Claude Le Roy, pelatih asal Prancis, ogah memperpanjang kontraknya pada Agustus 2008, Rajevac, bekas pelatih Red Star Belgrad, langsung mengejar target dalam melatih skuad Ghana. Taktik dan strateginya bisa menghasilkan tim dengan kekuatan yang bagus.
Sebaliknya, peran pemain macam Muntari juga tak bisa dianggap sepele. Meski banyak pemain bisa menggantikannya, dia punya pengaruh pada tim. ”Bersama Essien, dia adalah pemain pilar tim ini,” kata Rajevac mengakui. Nah, pincangnya kondisi di dalam bisa menjadi pemicu keretakan tim.
Semestinya tim ini belajar pada pengalaman. Di masa lalu, tepatnya pada 1990-an, negeri ini punya pengalaman buruk dalam soal hubungan pemain dalam tim. Hal sepele menjadi persoalan besar. Akibatnya, mereka lemah sendiri. Peringkat Ghana pun menggelongsor hingga ke urutan 89 dalam peringkat Federasi Sepak Bola Internasional (FIFA).
Padahal Ghana memiliki sejarah sepak bola gemilang. Aktif di percaturan dunia tak lama setelah merdeka, kiprah Ghana, yang sebelum merdeka memakai nama Pantai Emas, langsung berkibar. Prestasinya tak buruk. Berbagai trofi didapatkan, termasuk sebagai juara Piala Afrika 1963 dan 1965.
Saking perkasanya, tim Ghana pernah bisa menggasak Kenya dengan angka 13-0. Kehebatan tim ini mengundang decak kagum. Tak salah bila kemudian mereka diberi gelar ”Brasilnya Afrika”, kadang juga sebagai ”Bintang Hitam”. Hal itu berlangsung hingga 1990-an. Namun, setelah itu, meski Ghana pernah memiliki pemain hebat macam Abedi Pele, akibat ketidakakuran, Ghana seret prestasi.
Untunglah generasi berikutnya memiliki kualitas yang lebih baik. Langkah tim di tingkat junior berlanjut ke tingkat yang lebih tinggi. Tak hanya sukses di Olimpiade dan tingkat regional, mereka juga berhasil menggapai prestasi hingga putaran final Piala Dunia 2006 di Jerman.
Catatannya tidak buruk. Tim Ghana menang melawan Republik Cek dan Amerika Serikat, dan sekali kalah oleh Italia. Langkah mereka terhenti di babak kedua, akibat dijegal Brasil.
Bagaimana dengan Piala Dunia sekarang? Materi pemainnya memang tidak banyak berubah. Pada 2006, Ghana terbilang tim yang memiliki rata-rata pemain paling muda, yakni 24 tahun. Nah, kini tim ini memiliki pemain yang berada di masa keemasan karier pemain sepak bola.
Hasilnya cemerlang. Ghana, seperti negara Afrika lainnya, banyak diperkuat pemain yang berkutat di Liga Eropa. Sebut saja, selain Essien (Chelsea, Inggris), masih ada Anthony Annan (Rosenborg, Norwegia), Emmanuel Agyemang-Badu (Sampdoria, Italia), dan Kwadwo Asamoah (Udinese, Italia).
Dengan amunisi seperti itu, mereka langsung tekan gas dalam-dalam. Meski sempat terseok di awal babak kualifikasi, mereka mampu melaju ke babak berikutnya. Semua lawan dipatahkan, sampai akhirnya tim Ghana kalah oleh Benin dalam partai yang tak menentukan.
Soal kualitas dan teknis pemain, tampaknya tak ada masalah berarti bagi tim ini. Justru masalah remeh-temeh yang bisa menjadi halangan. Hubungan yang harmonis di ruang ganti tetap menjadi hal penting bagi sebuah tim. Perolehan prestasi di Piala Afrika sudah pasti akan memberikan pelajaran bagi mereka. Terlebih lagi, mereka tentu emoh mengulangi pengalaman buruk di masa lampau.
Irfan Budiman (Goal, BBC)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo