Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Demi Sekolah Anak-anak

Biaya pendidikan di Papua Nugini mahal. Salah satu alasan bagi para pengungsi untuk ikut repatriasi.

18 Januari 2010 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

RUMAH panggung itu bercat putih kusam. Berukuran sekitar 30 meter persegi, bangunannya beratap seng, dindingnya berbahan kayu, dengan sedikit tambalan plastik. Kamar mandi berada di sebelahnya. ”Saya bayar sewa 10 kina per bulan,” kata Vien Norrotouw, 50 tahun, di Port Moresby. Jumlah itu setara dengan Rp 34 ribu.

Suaminya, John Norrotouw, adalah pegawai negeri senior yang bergaji sekitar Rp 2,5 juta per dua minggu. Mereka dikaruniai lima anak, tiga di antaranya duduk di bangku sekolah menengah pertama dan atas. Biaya studi untuk mereka sekitar Rp 10 juta per tahun di sekolah swasta yang berstandar internasional. ”Di sini sekolah mahal, banyak orang putus sekolah,” kata Vien, yang rindu segera kembali ke Jayapura.

Kerinduan itu kian kuat mengingat selama 25 tahun mengungsi status kewarganegaraannya tak jelas. Ia pun tak dapat membantu keuangan rumah tangga karena tak bisa sembarang membuka lapak di depan rumah untuk berjualan makanan atau minuman. ”Untuk pakai tanah, takut nanti ada orang datang (membongkar),” kata ibu rumah tangga ini.

Untungnya, kedua anaknya menerima beasiswa kuliah dari pemerintah Indonesia, di Universitas Parahyangan dan Universitas Pendidikan Bandung. ”Mereka lumayan (pintar),” kata John ketika dihubungi Tempo, Rabu pekan lalu, saat berada di Jayapura untuk mendampingi 14 repatrian swasembada yang pulang ke Papua. Tapi ia tidak memilih pulang.

Menurut Ketua Yayasan The Independent Group Supporting the Autonomous Region of Papua in the Republic of Indonesia Adolf Hanasben, sekitar 20 anak menerima beasiswa kuliah di Yogyakarta, Malang, dan Bandung. Ia menuturkan biaya hidup di Port Moresby lebih tinggi dibanding di Jayapura. Mereka terimpit masalah ekonomi bila dihitung pendapatan dengan biaya pendidikan anak-anak ditambah biaya sehari-hari. Maka Vien menyambut positif inisiatif pemerintah memulangkan para pengungsi ke Tanah Air. Data yang diterima Tempo dari Kedutaan Besar Indonesia di Papua Nugini, upah minimal di sana sekitar Rp 2,5 juta per bulan. Satu liter bensin US$ 1,20 (US$ 1 = Rp 9.200), tarif bus US$ 0,40, serta seperempat ayam barbeque dan kentang US$ 6.

John menuturkan setiap keluarga repatrian yang pulang menerima uang survive Rp 17 juta, pada Desember lalu. Tidak ada uang tanah dan biaya pendidikan anak-anak. John dan Vien memilih menyekolahkan anak-anak mereka ke swasta, dengan memperoleh keringanan separuh biaya. ”Pendidikan lebih penting dari segala sesuatu di masa depan,” katanya. Ia mengeluarkan Rp 2,5 juta per anak.

Ketiga anak mereka sudah mulai bersekolah kembali pada Januari ini. ”Enjoy, meskipun suasana baru,” kata John, yang sesekali ke Jayapura. Mata pelajaran bahasa Indonesia yang pertama kali dikeluhkan si anak. Sebab, semua pendidikan di Papua Nugini menggunakan bahasa pengantar Inggris.

Biaya hidup yang tinggi di Papua Nugini juga dirasakan Teihinus Wally, 55 tahun. Pria yang dikaruniai 11 anak ini tidak sanggup membiayai sekolah putra-putrinya. Lima anaknya putus sekolah di tingkat SMP, dan hanya dua yang mengecap bangku SMA.

Sandy Yaristouw tak mau menjadi korban tingginya angka anak putus sekolah di Papua Nugini. Repatrian asal Goroka berusia 38 tahun ini langsung mengurus kelengkapan administrasi di kantor Kedutaan Indonesia di Port Moresby. Suaminya, Alex Yaristouw, merantau ke Papua Nugini pada 1982.

Alasan utama mereka ikut program repatriasi sukarela adalah menyekolahkan putra-putrinya. ”Saya ingin Sandra dan Jane sekolah di seminari,” kata Sandy. Suaminya pun dapat memulai usaha dengan berjualan pinang di Jayapura daripada di Papua Nugini. ”Terima kasih sama pemerintah, bisa bantu anak-anak,” kata Alex.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus