Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Pusat Belanja Skouw

Dua jam dari Jayapura, Skouw dua kali sepekan merupakan tempat belanja warga Papua Nugini di perbatasan dengan Indonesia. Akan menjadi jalur perdagangan kedua negara.

18 Januari 2010 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

HILIR-MUDIK orang berjalan di sepanjang perlintasan batas Skouw-Wutung, beberapa di antaranya mendorong troli berisi beras, kardus biskuit, dan minuman dalam kemasan. Senyum dan saling menyapa sesekali terlihat di tengah teriknya matahari yang menyengat tubuh. Suasana ini lazim terjadi di perbatasan Republik Indonesia (Skouw) dan Papua Nugini (Wutung).

Setidaknya dua kali dalam sepekan, penduduk Papua Nugini di Provinsi Sandaun membeli kebutuhan pokok di pasar perbatasan, dekat markas Yonif 713, di Skouw, Distrik Muara Tami, Jayapura. Valentina salah satunya. ”Saya akan pergi ke pusat belanja,” katanya. Beli apa? Spontan saja ia katakan ingin membeli rokok. Ia mengajak anak lelakinya yang masih berusia 1 tahun 6 bulan.

Ia menumpang mobil yang berhenti di pos perbatasan Wutung, Papua Nugini, lalu berjalan kaki menyusuri jalan sekitar 600 meter menuju Pos Pemeriksaan Lintas Batas (PPLB) Skouw, Indonesia. Ia lantas menuliskan nama dan keperluan di sebuah buku yang tergeletak di meja petugas Bea dan Cukai. ”Yang tidak punya kartu lintas batas bisa lewat dengan mencatatkan nama. Tapi, biasanya di hari pasar untuk belanja,” kata Parulian Pardede, Kepala Seksi Perbatasan dan Kerja Sama Jayapura.

Menurut Parulian, harga beli di pasar perbatasan Skouw lebih murah dibanding di Papua Nugini. Pengunjung ramai biasanya dua kali sepekan, ketika hari pasar. Ketika Tempo berkunjung akhir November lalu, Kamis dan akhir pekan adalah hari pasar. Transaksi bisa dengan kina (mata uang Papua Nugini) atau rupiah. Berbeda dengan di Port Moresby, ibu kota Papua Nugini, yang hanya memberlakukan dolar dan kina.

Di Wutung pun tersedia pasar. Tapi pedagang umumnya tak berjualan kebutuhan sehari-hari, melainkan cendera mata, seperti tas, mug, syal, dan kaus. Sebagian besar dilabeli bendera Papua Nugini, yang bergambar burung surga raggiana dan bintang berpadu dalam warna terang: merah, kuning, dan hitam. Tampak pula penjual pinang dan sirih. Dan patung-patung totem berukuran 1-2 meter terpajang di jalan beraspal dua jalur itu.

Jalan ke Wutung terbentang sepanjang kira-kira 600 meter. Ada patung totem berukuran 1-2 meter di sisi jalan beraspal yang terdiri atas dua jalur itu. Selain itu, pengunjung mesti melewati sebidang tanah tak bertuan seluas 5-10 meter persegi. Setelahnya terbentang gapura bertulisan ”Welcome to Papua New Guinea”, ”Welkam tu Papua Niugini” (bahasa Tok Pisin—bahasa asli Papua Nugini) berbalikan dengan ”Good bye. Thank you. God be with you”. ”Gud bai. Tengkyu. God instaap in yu”.

Menuju perbatasan ini dari Jayapura perlu waktu sekitar satu setengah jam. Jalan yang sedikit berkelok-kelok tak terasa melelahkan karena di sisi kiri dan kanan pemandangan alam meneduhkan mata. Menjelang tiba di perbatasan, pengunjung wajib melapor di Pos Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Sektor Muara Tami. Sekalian menitipkan mobil untuk menyusuri gerbang perbatasan. Daerah ini rawan konflik.

Puluhan tahun silam, orang-orang Papua mengungsi ke Papua Nugini lewat perbatasan karena persoalan politik, lalu menyebar ke berbagai provinsi. Perbatasan itu berada di garis 141 derajat Bujur Timur. Menurut sejarahnya, pembagian garis batas dilakukan antara Inggris dan Belanda pada 16 Mei 1895 melalui The Hague Treaty. Inggris mendapat sebelah timur garis itu, dan Belanda di sebelah barat garis 141 derajat Bujur Timur.

Garis itu hanya tampak lewat pos penjagaan, selebihnya adalah garis maya yang membelah tanah adat, kampung, dan kebun. Tak mengherankan bila orang-orang Papua atau Papua Barat masih memiliki kedekatan dengan Papua Nugini. Papua yang wilayah administrasinya berbatasan langsung dengan Papua Nugini (utara-selatan) adalah Kota Jayapura (Skouw-Wutung), Kabupaten Keerom, Pegunungan Bintang, Boven Digoel, dan Merauke. Pos di Skouw-Wutung menjadi perlintasan internasional yang dibuka untuk umum sejak 2000. Sebanyak 23 repatrian melewati jalur ini pada akhir November dan pertengahan Januari lalu.

Rencananya, perbatasan ini akan diresmikan untuk jalur perdagangan kedua negara. ”Delegasi Papua Nugini menyampaikan komitmennya untuk membuka PPLB Skouw-Wutung setelah penyelesaian fasilitas pada PPLB Wutung,” kata Duta Besar Indonesia untuk Papua Nugini, Bom Soerjanto, mengutip catatan pertemuan Joint Border Committee Meeting, 7-11 Desember 2009, di Jakarta.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus