Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Olahraga

<font size=1 color=#FF9900>KAMERUN</font><br />Berkat ’Si Dukun Putih’

Kamerun memegang rekor sebagai negara Afrika yang enam kali lolos ke Piala Dunia. Panas-dingin sepak bola juga mempengaruhi iklim politik.

23 November 2009 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BERKAT gol Pierre Webo dan Samuel Eto’o, Kamerun terhindar dari kerusuhan nasional untuk kedua kalinya dalam dua tahun terakhir. Di Fes, kandang Maroko, Tim Singa Garang—julukan Kamerun—menang 2-0 dalam laga terakhir kualifikasi Zona Afrika Grup A, Sabtu dua pekan lalu. Hasil itu memastikan negara Afrika tengah-barat ini lolos ke putaran final Piala Dunia Afrika Selatan 2010.

Andaikan gagal, kemungkinan besar rakyat Kamerun marah dan membakar apa saja. Itu niscaya kian membuat pening Presiden Paul Biya, yang tengah menghadapi tekanan politik. Februari tahun lalu, setidaknya empat orang tewas akibat kerusuhan di kota terbesar Kamerun, Douala, yang dipicu unjuk rasa menentang kenaikan bahan bahan bakar minyak. Ujung-ujungnya, rakyat memprotes amendemen undang-undang yang memungkinkan Biya, yang berkuasa sejak 1982, ikut lagi dalam pemilihan presiden 2011.

Setelah lolos ke Piala Dunia, krisis politik pun sejenak terlupakan. Rakyat bergembira ria menyambut keberhasilan Kamerun untuk keenam kalinya ke putaran final—rekor terbanyak untuk kesebelasan dari Afrika. Pesta bir diadakan di banyak tempat di Ibu Kota Yaounde. Bendera nasional berkibar di mana-mana.

Presiden Biya tak lupa menongolkan wajah di layar kaca untuk mengucapkan selamat. ”Kesebelasan kita memberikan lagi kebanggaan itu,” kata presiden berusia 76 tahun tersebut. Andai saja esoknya bukan Minggu, Biya pasti akan memutuskan hari itu menjadi libur nasional. Biya pernah melakukannya setelah kesebelasan Kamerun menggondol emas Olimpiade 2000.

Kerusuhan akibat kegagalan tim nasional memang bukan hal mustahil di negara yang luasnya sedikit lebih besar daripadaSumatera itu. Tengoklah peristiwa awal Oktober 2005. Bermain di Yaounde dalam partai terakhir kualifikasi Piala Dunia 2006, Kamerun cuma bermain imbang 1-1 melawan Pantai Gading. Langkah Kamerun terhenti.

Yang parah, bek kanan Pierre Wome menyia-nyiakan peluang gol dari titik putih. Tendangan penaltinya pada menit-menit terakhir tak masuk. Pendukung Kamerun melampiaskan kekesalan dengan membakar rumah keluarga Wome. Si pemain melarikan diri ke Italia, ke klub tempatnya bermain, Inter Milan. Sebagian suporter mengancam akan membunuhnya. Wome tak berani pulang kampung sampai menyatakan pensiun dari tim nasional satu setengah tahun kemudian.

Rakyat kadung terbuai oleh kebesar-an masa silam. The Indomitable Lions adalah tim Afrika pertama yang membuka mata dunia. Thomas N’Kono—kapten saat itu—dan kawan-kawan tampil mengejutkan dalam keikutsertaan mereka pertama kali di putaran final Piala Dunia Spanyol 1982. Meski gagal melangkah ke babak kedua, Kamerun tak pernah kalah di babak grup. Mereka bahkan sukses menahan Italia—juara dunia saat itu—1-1.

Dalam keikutsertaan kedua, Piala Dunia Italia 1990, Kamerun sukses menjadi tim Afrika pertama yang lolos ke perempat final. Langkah mereka dihentikan Inggris. Dalam laga perdana, mereka mempecundangi tim juara bertahan Argentina, berkat gol tandukan sang kapten, Omam Biyik. Bintangnya adalah Roger Milla, yang saat itu sudah berusia 38 tahun, pemain yang mencetak dua gol ke gawang Kolombia dalam perdelapan final. Milla berhasil mengoleksi empat gol.

Di luar koleksi gelar juara Piala Afrika 2000 dan 2002, Piala Dunia 1990 adalah prestasi terbesar terakhir yang didapat. Setelah itu, dalam tiga keikutsertaan berikutnya—Piala Dunia 1994, 1998, dan 2002—laju Kamerun selalu terhenti di babak grup. Keterpurukan mencapai puncaknya ketika mereka tak lolos ke Piala Dunia 2006.

Piala Dunia 2010 hampir menjadi bencana nasional berikutnya. Di bawah pelatih asal Jerman, Otto Pfister, Rigobert Song dan kawan-kawan ditekuk tim gurem Togo 1-0 dan ditahan Maroko tanpa gol dalam dua laga awal kualifikasi. Pada Mei, Pfister menyatakan mundur karena merasa tanggung jawabnya terlalu diintervensi oleh pengurus Federasi Sepak Bola Kamerun. N’Kono ditunjuk sebagai pelatih sementara.

Tanggung jawab akhirnya dibebankan ke pundak Paul Le Guen. Dia pelatih yang tiga kali membawa klub Olympique Lyon menjuarai Liga Prancis, meski gagal mengangkat prestasi Glasgow Rangers dan Paris Saint-Germain. ”Saya bukan mesiah,” kata pria Prancis berusia 45 tahun itu pada awal tugasnya, Juli lalu.

Pelatih Togo yang juga asal Prancis, Alain Giresse, menyangsikan Le Guen membawa keajaiban bagi Kamerun. ”Paul akan sadar betapa rumitnya menjadi pelatih nasional sebuah negara Afrika. Dia harus membaur dengan kehidupan lokal,” tutur Giresse, yang sudah punya pengalaman bahwa kultur sepak bola Afrika jauh berbeda dengan Eropa.

Namun mantan striker legendaris Kamerun, Patrick Mboma, memberikan dukungan moral. Le Guen adalah rekan setim Mboma ketika membela Paris Saint-Germain. ”Paul seorang pendiam, tapi saya menyukainya,” kata Mboma.

Mboma benar. Di tangan Le Guen, Kamerun terus-menerus menang dalam empat pertandingan. Dari posisi juru kunci Grup A di bawah Pfister, berkat Le Guen, Kamerun menyodok ke peringkat pertama.

Dengan bintang yang hampir semuanya merumput di Eropa, Le Guen cuma membuat satu perubahan kecil. Dia mengganti kapten, dari Rigobert Song ke tangan Eto’o. Song, stopper yang selalu menjadi pilihan inti dalam satu dasawarsa terakhir, cuma tampil sebagai pemain pengganti dalam laga perdana. Kamerun pun menang 2-0 atas Gabon, yang saat itu menjadi pemimpin klasemen, September lalu.

Otorita sepak bola Kamerun mengabulkan apa pun permintaan Le Guen: gaji 250 ribu euro (sekitar Rp 3,5 miliar) per bulan—lebih dari 20 kali lipat gaji pelatih lokal. Para pemain juga mendapat penginapan nomor satu, juga fasilitas latihan kelas wahid yang sebelumnya tak ada.

Dari bernada skeptis, pers Kamerun kini menjuluki Le Guen sebagai si dukun kulit putih. Tahun depan, ”dukun dari Prancis” ini berpeluang menunjukkan sihirnya lagi di Afrika Selatan. Dan Presiden Biya bisa mengalihkan perhatian rakyatnya dari masalah politik.

Andy Marhaendra (AFP, FIFA)

REPUBLIK KAMERUN
Luas negara: 475.442 kilometer persegi
Jumlah penduduk: 19,5 juta jiwa
Bahasa nasional: Prancis, Inggris
Mata yang: XAF (1 XAF =  US$ 0,00227)
Pendapatan per kapita : US$ 2.139
Asosiasi sepak bola: Fédération Camerounaise de Football Konfederasi: CAF Julukan: Lions Indomptables (Indomitable Lions)
Peringkat FIFA: 14
Prestasi: perempat final 1990

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus