Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
POTONGAN berita koran itu begitu membekas di hati Rio Haryanto. Di sekolah bisnis tempat ia menuntut ilmu, Rio adalah satu-satunya pembalap. Murid lainnya adalah jagoan akuntansi dengan capaian akademis yang baik. Maka, ketika menemukan guntingan koran dengan fotonya tertempel di dinding kampus, Rio girang juga karena prestasinya disimak. ”Yang memasang guru saya,” kata dia.
Hati Rio kini makin bungah saja. Pembalap 16 tahun kelahiran Solo, 22 Januari, itu baru saja diganjar sebagai juara umum di ajang Formula BMW Pacific 2009. Rio memastikan kemenangannya di sirkuit Okayama, Jepang, awal bulan ini. Seusai ronde 14 itu, dia sudah mengantongi 229 poin, selisih 49 poin dengan pesaing terdekat. Maka, grand prix di Guia, Makau, Minggu pekan lalu, tak menjadi tekanan mental baginya. Meski begitu, ia tetap berhasrat menaklukkan sirkuit yang dikenal sulit itu. Maklum, treknya sempit dan banyak kelokan tajam. Rio ingin tampil habis-habisan dan tanpa beban.
Karier sebagai pembalap adalah tradisi di keluarga Rio. Ketiga kakak si bungsu ini semuanya pembalap. Dari umur enam tahun, Rio sudah menjajal gokar. Sejak 2001, dia mengikuti berbagai kejuaraan karting. Tiga tahun berturut-turut, hingga 2007, ia menjuarai Junior Asian Karting Open Championship.
Tahun lalu, ia menjajal Formula Asia dan Formula Renault, juga Formula BMW Pacific sebagai pembalap tamu. Sepanjang tahun ini Rio bersaing dengan belasan remaja lainnya di ajang Formula BMW Pacific, yang merupakan anak tangga pertama bagi pembalap muda menuju kejuaraan Formula 1. Rekan satu timnya, dengan bendera Questnet Team Qi-Meritus, adalah Dustin Sofyan, pembalap rookie (pendatang baru) 14 tahun asal Jakarta.
Perjalanan Rio di Formula BMW Pacific bukan hal mudah. Dia sempat bersaing ketat dengan Gary Thompson, asal Irlandia, dan Chris Wootton, dari Australia. Dari empat seri di Sepang, Malaysia, yang diwarnai hujan deras, Rio akhirnya menyelesaikan seri keenam dengan menyabet gelar juara pertama.
Empat seri lanjutan, pada 14-16 Agustus, lomba diselenggarakan di rumah: sirkuit Sentul. Rio mencatat sejarah dengan memborong semua gelar juara di sini. Prestasi di Sentul itu membawanya bertengger di puncak klasemen. Thompson, dari tim E-Rain, ditekuk dengan selisih 12 poin.
Sentul, selain sudah dikenal Rio dengan baik, membawa keuntungan lain. Iklim tropis membuat cuaca menjadi panas. Suhu aspal saja bisa 60 derajat Celsius. Belum lagi panas yang terperangkap dalam pakaian balap. Menurut Rio, di Sentul, temperatur kokpit bisa mencapai 50 derajat Celsius. ”Kebanyakan pembalap dari Eropa teler ketika berada di Asia,” ujarnya saat berkunjung ke kantor Tempo beberapa bulan lalu.
Hal lain yang membawa Rio ke podium juara adalah keunggulan taktisnya. Ia membuktikan telah berkepala dingin ketika berlaga di sirkuit Okayama. Dalam ronde 13 dan 14, Facu Regalia, pembalap tamu asal Spanyol, sukses menjadi yang tercepat. Untungnya, Rio bisa berfokus menjaga selisih poin dengan rookie terbaik, Thompson. ”Saya juga kurang puas tak bisa mengalahkan Regalia. Mungkin dia punya pengalaman lebih baik. Dia sudah dua tahun ikut balap di BMW Eropa,” ujar Rio.
Kedatangan Regalia justru membesarkan keinginan Rio untuk belajar. Tahun ini ia niatkan menjadi fondasi untuk meraih titel. Lalu, tahun depan, ia mengincar ajang balap di Eropa. Tujuannya meningkatkan kemampuan di arena kompetisi yang lebih ketat. ”Tahun depan barulah mula yang sebenarnya. Kalau bisa menang di sana (Eropa), ada kesempatan ke F1,” kata Rio.
Bernafsu segera ke Formula 1? Tidak juga. Ia tak ingin masuk terlalu cepat ke ajang balap paling bergengsi di dunia itu. Rio benar-benar ingin menempa diri hingga sampai pada performa terbaik dan stabil. Kata Rio, paling cepat, ia baru mengincar F1 empat tahun lagi. ”Yang penting mematangkan karier di balap, dan mudah-mudahan pada tahun-tahun depan bisa juara,” ujarnya.
Remaja yang belum berpacar ini, seusai puncak Formula BMW di Makau, diundang ke Australia. Dia akan bergabung dengan pembalap terbaik dari Inggris, Australia, dan Selandia Baru, sebagai pembalap tamu di Formula 3 Australian Drivers Championship.
Di luar sirkuit, Rio bersekolah di Singapura, sejak sekolah menengah pertama. Ia kini berstatus murid di Ftms Global Singapore di jurusan bisnis. Rio membayangkan, suatu hari nanti, ia akan meneruskan bisnis ayahnya, Sinyo Haryanto. Laki-laki 50 tahun itu adalah pemilik Kiky, perusahaan alat tulis-menulis.
Di awal Formula BMW Pacific, satu-satunya sponsor Rio adalah perusahaan keluarganya, Kiky. Meski terbukti berprestasi, rupanya sponsor tak mudah datang membantu. Pemerintah juga tak banyak membantu. Belakangan, sebuah perusahaan operator telekomunikasi ikut menjadi sponsor. Operator itu lalu menjaring dukungan untuk Rio lewat pesan pendek tarif premium dan telepon dukungan dari fan, dengan tarif khusus. Perjalanan Rio pun menjadi lebih enteng.
Untungnya, Formula BMW cukup bersahabat dengan kantong. Regulasinya tak membolehkan tim pembalap memodifikasi banyak hal, sehingga menghemat modal. Mesin mobil balapnya bahkan disegel, hanya boleh diservis ahli khusus. Perubahan kendaraan hanya bisa dilakukan pada sudut ekor mobil dan jarak ban dengan bodi. Alhasil, dalam ajang Formula BMW, bakat dan keahlian pembalaplah yang banyak bicara.
Toh, semurah-murahnya Formula BMW, tetap saja dana yang dikeluarkan Rio lumayan besar. Segala tetek-bengek memang diurus tim Meritus. Tapi, sebelumnya, keluarga Rio harus mengeluarkan paling tidak Rp 3 miliar. Menjadi pembalap memang harus serius dari niat hingga ke penyediaan dana. Kru timnya juga orang terpilih, yang sudah mengenal Rio selama enam tahun, sehingga tak ada masalah kerja sama.
Satu lagi keseriusan si pembalap adalah soal menghadapi media. Rio mengaku sempat grogi bila sedang disorot media. Dia merasa tertekan, terutama sekitar April lalu, tatkala berlaga di Sepang, Malaysia. Ia lalu mengatur pikiran untuk berfokus ke balapan. Perlahan, perasaan tertekan itu menghilang. Buktinya, dia bisa menutup putaran Sepang dengan baik. Langkah selanjutnya di Sentul, Rio berhasil mengukir sejarah. ”Kepercayaan diri saya mulai tumbuh. Saya juga jadi lebih bisa menyesuaikan waktu, dan tak lagi grogi bicara dengan pers pada saat media time,” kata dia.
Di luar urusan balap-membalap, Rio tetaplah remaja biasa. Ibunya yang asli Madiun, Indah Pennywati, 47 tahun, setia mendampingi Rio di Singapura. Di sana mereka tinggal di lantai sebelas sebuah apartemen di pantai timur Singapura. Unit apartemen mereka menghadap ke Batam. Di ketinggian itu, sinyal beberapa saluran televisi Indonesia masih tertangkap. Kadang, sinyal operator telepon Indonesia pun bisa muncul. ”Biasanya kalau cuaca cerah. Saya jadi bisa menelepon dengan nomor telepon Indonesia,” ujar Rio senang.
Tiap pagi Rio memulai hari dengan latihan kebugaran. Penyuka olahraga air ini biasanya berenang, juga latihan semacam push-up, sit-up, pull-up. ”Untuk pembalap, latihan yang penting adalah untuk sistem kardiovaskular, endurance, juga otot,” kata Rio, yang otot tangan dan pundaknya sudah terbentuk.
Seusai latihan pagi, ia bersiap-siap menuju sekolah, yang dimulai sekitar pukul sepuluh, dan berakhir pukul lima sore. Bila di sirkuit, ia melaju dengan kecepatan di atas 200 kilometer per jam, di bus kota menuju sekolah ia tenang saja dengan kecepatan mobil dalam kota.
Malamnya, ia mengerjakan tugas sekolah. Bila sudah di depan komputer, konsentrasinya seperti di sirkuit saja. Tak bisa diganggu. ”Kalau sedang serius begitu, saya tanya-tanya hal lain, bisa marah dia,” kata Indah Pennywati.
Dia juga masih suka manja seperti layaknya anak bungsu. Bergaul dengan teman sebaya tentu juga menjadi bagian keseharian hidupnya. Begitulah, meski belum punya rebewes alias surat izin mengemudi berlogo Kepolisian Republik Indonesia, Rio sudah melaju di berbagai sirkuit dunia.
Ibnu Rusydi, Munawarroh
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo