Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Olahraga

'Monster-monster' Bundesliga

Liga Jerman membuat rekor dengan meloloskan tujuh wakil di putaran kedua kompetisi antarklub Eropa. Bermodal pemain muda dan perubahan gaya bermain.

23 Desember 2012 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

UNTUK ukuran kiper, Roman Weidenfeller, 32 tahun, belumlah terlalu tua. Tapi, masalahnya, dia bermain untuk Borussia Dortmund, tim yang ketika mengangkat trofi Bundesliga Jerman musim lalu rata-rata usia pemainnya 24,2 tahun-rekor termuda untuk satu tim juara Liga Jerman. "Kadang saya merasa seperti paman bagi mereka," kata wakil kapten Die Borussen- julukan Dortmund-itu.

Setelah dua musim berturut-turut terpuruk di kompetisi tingkat Eropa-gagal lolos dari babak grup Liga Eropa 2010/2011 dan hanya menjadi juru kunci di babak grup Liga Champions 2011/2012-"paman" dan "para keponakannya" tersebut musim ini beroleh hasil gilang-gemilang. Dortmund menjadi juara Grup D Liga Champions, mengatasi perlawanan dua tim bertabur bintang, Real Madrid dan Manchester City, serta klub bertradisi besar, Ajax Amsterdam.

"Meski kami pernah gagal di Eropa, saya tak pernah kehilangan kepercayaan kepada para pemain," kata pelatih Jrgen Klopp, setelah menundukkan City 1-0 dalam laga terakhir babak grup, awal Desember lalu. Klopp mengingatkan, para "serdadunya" masih muda dan akan terus berkembang sampai 5-6 tahun lagi. "Setelah dua musim mengangkat trofi Bundesliga, sekarang saatnya bagi kami membuat kejutan besar di Eropa."

Pencapaian Dortmund yang keluar dari "grup neraka" sebagai penguasa klasemen dengan rekor tak pernah kalah sebenarnya sudah kejutan tersendiri. Tapi fenomena yang lebih besar ada pada prestasi keseluruhan wakil Jerman di kompetisi Eropa.

Tiga klub Jerman berhasil lolos ke babak 16 besar Liga Champions: Dortmund, Bayern Mnchen, dan Schalke. Itu masih ditambah dengan empat tim Bundesliga yang melangkah dari babak grup Liga Europa. Prestasi ini menyamai rekor Spanyol, yang juga meloloskan tujuh tim dari babak grup kompetisi antarklub Eropa tiga musim lalu. Kehebatan Jerman: tiga klub mereka di Liga Champions semuanya berpredikat juara grup.

Tentu saja hasil ini disambut bangga orang-orang Jerman. "Saya yakin salah satu dari mereka bakal menjadi juara, baik di Liga Champions maupun Liga Europa," kata mantan kiper nasional, Oliver Kahn, yang turut mengangkat trofi tatkala Bayern Mnchen menang dalam Liga Champions 2000/2001.

Setelah musim itu, tak ada trofi antarklub Eropa yang singgah ke Jerman. Bayer Leverkusen memang berhasil menembus semifinal Liga Champions 2001/2002. Tapi, setelah itu, prestasinya mandek. Paling banter, wakil Jerman hanya sampai perempat final Liga Champions.

Kebangkitan klub Bundesliga baru terjadi tiga musim belakangan, terutama di Liga Champions. Mnchen berhasil masuk final dua kali, sebelum keok oleh Inter Milan pada 2009/2010 dan ditaklukkan Chelsea pada musim lalu. Pada saat yang sama, Schalke juga "hanya" menjadi semifinalis.

Menurut pelatih yang membawa Mnchen juara Liga Champions 2000/2001, Ottmar Hitzfeld, kebangkitan klub-klub Jerman tak lepas dari kebijakan Asosiasi Sepak Bola Jerman (DFB), yang menggencarkan pembinaan usia muda pada awal 2000-an. "Sekarang mereka memetik hasilnya, baik untuk tim nasional maupun klub," katanya.

Sekadar menyebut beberapa nama, Mnchen memiliki Thomas Mueller, Tony Kroos, dan Holger Badstuber. Dortmund punya Mario Goetze, Marco Reus, dan Mats Hummels. Dan di Schalke terdapat Lewis Holtby, Julian Draxler, serta Joel Matip. Merekalah pemain berusia awal 20-an tahun yang menjadi pemain inti di klub masing-masing.

Penguatan akademi sepak bola di setiap klub itu dilakukan DFB menyusul kegagalan tim nasional Jerman pada Piala Eropa 2000. Mereka pulang dari Belgia-Belanda dengan hanya membawa satu poin dan berstatus juru kunci babak grup.

Lihatlah hasilnya kini. Dari 525 pemain yang terdaftar di Bundesliga, 60 persen berwarga negara Jerman dan rata-rata berusia 24 tahun. Bandingkan, di Liga Primer Inggris musim lalu, hanya 39 persen yang memiliki paspor Inggris. Saat bermain melawan Manchester City, tujuh pemain Dortmund berwarga negara Jerman. Sebaliknya, hanya kiper Joe Hart yang orang Inggris di kubu City.

Mantan gelandang nasional Jerman, Steffen Freund, punya analisis teknik berbeda. Dia menilai secara keseluruhan klub Jerman sekarang lebih berfokus pada penguasaan bola. "Mereka juga berani menyerang saat bermain di kandang lawan," kata asisten pelatih Tottenham yang pernah menjadi pelatih tim nasional junior Jerman ini. "Mereka tak lagi bermain seperti era saya, yang mengandalkan kekompakan dan organisasi pertahanan."

Sampai pekan lalu, kata dia, rata-rata pertandingan di Liga Jerman menghasilkan 1,45 gol. Angka ini hanya kalah oleh rata-rata gol di Liga Spanyol (1,47 gol), tapi masih lebih baik daripada yang terjadi di Liga Inggris. "Sekarang pemain idola di Jerman adalah gelandang serang, bukan orang seperti saya, gelandang bertahan," ujar Freund.

Dengan sebegitu banyak tim yang lolos ke babak kedua kompetisi antarklub Eropa, bisakah wakil Jerman menduduki kursi puncak? Klopp mengiyakan bila menyangkut Dortmund. "Pemain saya memiliki mentalitas 'monster', tak pernah mau menyerah," katanya. "Pemain muda selalu haus prestasi."

Andy Marhaendra (AFP, UEFA, DW)


Senyap Selama 12 Menit

Senyap. Tak ada gemuruh penonton. "Mengerikan dan aneh," kata pelatih Eintracht Frankfurt, Armin Veh. "Benar-benar tak menyenangkan," ujar pelatih Mainz, Thomas Tuchel. Suasana sepi itu terjadi ketika Mainz bertandang ke kandang Frankfurt, Stadion Wald, pada derby Rhein-Main-yang biasanya panas-akhir November lalu.

Kesenyapan seperti itu juga terjadi di hampir semua pertandingan Bundesliga selama tiga pekan ini. Memang tak lama, hanya sekitar 12 menit ditambah 12 detik. Inilah bentuk protes dari semua penggemar Liga Jerman. Mereka tak bersorak, dan memilih membeku saat menonton laga. Jumlah menit dan detik yang 12 itu menyimbolkan diri mereka sebagai "pemain ke-12".

Protes itu merupakan reaksi dari proposal kepolisian yang ingin menghilangkan semua standing area, tribun tanpa kursi, yang terdapat di hampir semua stadion klub-klub Bundesliga. Hanya di Jerman keberadaan standing area masih terjaga, meski untuk pertandingan tingkat Eropa mereka menutupnya. Di liga-liga besar Eropa lain tak ada lagi.

"Sekarang tergantung pihak liga, mereka telah melihat kami semua menentangnya. Mereka harus berdialog dengan kami," kata Philipp Markhardt, juru bicara gerakan protes 12:12. "Rencana itu merusak kultur sepak bola Jerman."

Suporter menjadi kekuatan utama klub-klub Liga Jerman selama ini. Mereka memanjakan pendukung dan mendapatkan timbal balik yang setimpal.

Pertama, seiring dengan revolusi penguatan pembinaan usia muda pada awal 2000, DFB mewajibkan klub menjual minimal 51 persen sahamnya kepada kelompok suporter. Walhasil, orang seperti Roman Abramovich, pemilik Chelsea dari Rusia, atau para syekh Timur Tengah tak bakal bisa menguasai klub Liga Jerman seperti mereka melakukannya di klub Inggris.

Kedua, rata-rata harga tiket pertandingan di Jerman jauh lebih murah ketimbang di negara Eropa lain. Ambil contoh, seorang pendukung Chelsea harus membayar 750 pound sterling (hampir Rp 12 juta) untuk memiliki tiket terusan klub kesayangan mereka. Sedangkan seorang pendukung Borussia Dortmund yang berada di standing area hanya mengeluarkan 187 euro (sekitar Rp 2,5 juta) untuk hal yang sama.

Walhasil, pada musim lalu, Liga Jerman menempati rekor tertinggi dalam soal penonton: rata-rata dihadiri hampir 42 ribu orang. Angka ini jauh di atas yang lain: Liga Spanyol 28.478 orang, Liga Prancis 21.034 orang, Liga Italia 25.304 orang, dan Liga Inggris 35.592 orang.

Catatan itu membuat pihak sponsor berlomba-lomba menyediakan uang untuk klub-klub Bundesliga. Ditambah dengan faktor iritnya belanja pemain dan sedikitnya pengeluaran untuk gaji, klub-klub Liga Jerman jauh dari kata pailit. Ini tentu berbeda dengan klub Liga Inggris dan Spanyol, yang terus-menerus rugi bejibun.

Namun ancaman itu datang dari pihak keamanan. Suporter membalasnya dengan cara diam 12 menit. Klub-klub pun berada dalam dilema.

AM

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus