Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Kepada Bas Sting Kembali

Eks basis The Police ini menggelar pertunjukan di Jakarta untuk kedua kalinya. Konser yang menggairahkan.

23 Desember 2012 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dengan dada tegap, bahu dan lengan yang kekar, serta postur tubuh jauh dari kelebihan berat, Sting sama sekali tak seperti lelaki 61 tahun. Rambutnya pendek, dengan penataan bergaya fohawk. Berkaus kelabu lengan panjang yang melekat di badan, serta mengenakan celana model straight cut, dia malah terlihat bagaikan jagoan yang datang dari semesta superhero. Dia juga punya senjata istimewa—yang menjadi ciri khasnya. Sementara Thor, misalnya, mengandalkan godam Mjolnir, Sting percaya pada '57 Fender Precision Bass-nya.

Sting memperoleh instrumen berdawai empat yang cat vintage sunburst-nya sudah butut itu pada awal 1980-an. Inilah masa ketika The Police, band yang mempopulerkan nama Sting, mulai mendunia. Sama dengan di tempat-tempat pertunjukan lain sejak 30-an tahun silam itu, pada Sabtu dua pekan lalu, Sting memboyong dan memainkan bas andalannya di panggung Mata Elang International Stadium, Ancol. Dan, seperti para superhero, dia datang, lalu... menaklukkan.

Lihatlah saat De Do Do Do, De Da Da Da, hit dari The Police pada 1980, dia nyanyikan. Begitu musik melampaui bagian akhir, Sting menyisipkan momen jamming, berduel dengan para musikus pendukungnya. Sulit untuk menepis betapa sebagai pembetot bas dia tak sekadar menjaga ritme—bahu-membahu dengan Vinnie Colaiuta, yang dipujinya "... menurut opini banyak orang, drummer terbaik di dunia". Dia juga meletupkan vibrasi, mendorong interaksi serta imajinasi antarmusikus di panggung. Di situ aplaus memang teramat pantas datang dari penonton yang meleleh menyaksikan peragaan improvisasi nan menggairahkan.

Sting singgah di Jakarta untuk menutup rangkaian tur Back to Bass yang dia mulai pada Oktober lalu di Boston, Amerika Serikat. Selain Colaiuta, ikut serta dua musikus yang hampir tak pernah absen dalam karier solonya, yakni Dominic Miller (gitar) dan David Sancious (keyboard). Selain mereka bertiga, masih ada Peter Tickell (mandolin, biola) dan Jo Lawry (penyanyi latar).

Ini kedua kalinya musikus bernama lengkap Gordon Matthew Thomas Sumner itu tampil menghibur penggemarnya di Indonesia. Konser pertamanya berlangsung pada 5 Februari 1994 di Plenary Hall Jakarta Convention Center. Kala itu, sebagai rangkaian tur album Ten Summoner's ­Tales, dia didukung band yang juga diperkuat oleh Miller, Colaiuta, dan Sancious.

Jeda 18 tahun—padahal Sting tetap rajin berkeliling dunia untuk memainkan musiknya—memang bukan waktu sebentar. Wajar jika antusiasme penggemarnya untuk konser kali ini meluap. Harga tiket dari Rp 850 ribu hingga Rp 5 juta tampaknya bukan rintangan. Dari sekitar 8.000 tempat di dalam gedung yang disediakan penyelenggara untuk penonton, hampir tak ada celah kosong.

n n n

Nama tur boleh Back to Bass, kembali ke bas. Tapi, tentu saja, Sting tak hanya mau bermain bas. Kita tahu, Sting juga menyanyi dan menulis lagu, dengan kandungan dan pesan yang antara lain berlatar warna-warni dimensi hidupnya—sebagai aktivis, aktor, filantropis. Lebih dari itu, tur kali ini bolehlah dibilang kembalinya Sting ke format band, setelah proyek-proyek sebelumnya, terutama Symphonicity Tour, jauh dari ramping karena melibatkan orkestra. Sting sudah menjalani format band sejak The Police dan kemudian hampir sepanjang karier solonya.

Semua faset itulah yang dihadirkan di setiap konsernya, termasuk di Jakarta kali ini. Dia naik panggung dengan tersenyum. "Selamat malam, Jakarta," katanya, menyapa penonton yang sekurang-kurangnya sudah 45 menit menunggu di dalam gedung pertunjukan baru yang mulai populer di Jakarta itu.

Set panggung jauh dari megah. Hanya ada backdrop kain hitam. Peralatan band, juga beberapa pengeras dan monitor suara, disusun dengan posisi menyebar di seluruh panggung. Warna-warna datang dari tata lampu yang menawan, atau dari vest biru langit yang dikenakan Colaiuta dan kaus marun bersablon gambar kelelawar dengan tulisan "Destroy, Destroy, Destroy" yang dipakai Tickell.

Satu-dua not pembuka lalu terdengar, dan penonton seakan-akan memendam magma kegembiraan yang tak terbendung lagi. Sting memulai dengan If I Ever Lose My Faith in You. Penonton bergemuruh menyambut: mereka mengayun-ayunkan tubuh, memotret, juga menyanyikan bait-bait lagu yang pernah meraih piala Grammy untuk kategori Best Male Pop Vocal Performance pada 1994 itu. Menyusul kemudian Every Little Thing She Does Is Magic. Histeria lagi.

Suasana terasa hidup, kontras dengan set panggung. Sting masih sanggup mencapai nada-nada tinggi. Miller bagaikan dewa yang menghasilkan bebunyian surgawi melalui dawai gitarnya. Colaiuta, yang antara lain pernah bermain bersama musikus kelas berat seperti Frank Zappa, Jeff Beck, dan Chick Corea, laksana gurita dengan lengan enteng bergerak ke sana-sini memukul perangkat drum. Dan, alamak, staminanya—di usia 56 tahun, dia seperti dalam pengaruh steroid. Sancious, juga Tickell dan Lawry, tak kalah mengesankan.

Pendeknya, seperti ada yang merasuki Sting dan band pendukungnya, yang lalu dipancarkan ke penonton. Ketika intro ­Englishman in New York yang berirama reggae terdengar, tanpa aba-aba, penonton kompak menyela, menyanyikan bagian chorus berulang-ulang: I'm an alien I'm a legal alien/ I'm an Englishman in New York....

Dengan diskografi yang terhitung panjang, Sting punya kemewahan menentukan susunan lagu untuk setiap konsernya. Dia bisa luwes berpindah-pindah dari materi kala masih bersama The Police ke periode sebagai artis solo. Di situ ada rock, new wave, reggae, jazz. Tapi, pada saat yang sama, dia juga mesti berpandai-pandai mengatur susunan lagunya agar bukan saja kedua era terwakili, melainkan juga ritme konsernya terjaga.

Di situ Sting jitu memilih, walau mungkin tak memuaskan orang yang merasa lagu kesayangannya diabaikan. Sementara tempo penampilan terjaga, antusiasme penonton tak pernah sepenuhnya padam. Mereka histeris, lalu ikut dalam kor massal, mendengar Seven Days, Fields of Gold, dan Shape of My Heart, semuanya berasal dari periode solo. Begitu pula ketika Message in a Bottle; De Do Do Do, De Da Da Da; Roxanne; dan balada bereferensikan mitologi monster laut Yunani, Wrapped Around Your Finger, yang merupakan andalan di masa The Police.

n n n

"Ini cerita tentang Mr Fox dan Mrs Fox, kehidupan, cinta, dan kematian mereka," kata Sting, setelah menunjukkan boneka rubah yang dia pungut dari meja di tengah panggung. Dia mengantarkan lagu ketujuh, The End of the Game, sebuah penutur­an tentang keniscayaan maut yang ditulis sedemikian menyentuh sehingga kesannya justru mengilhami, bukan tragedi.

Lagu yang tak mudah. Tapi itu bukan satu-satunya. Lagu sebelumnya, I Hung My Head, bahkan ganjil strukturnya: berbirama 9/8, hitungan yang tak lazim untuk musik pop. Atau The Hounds of Winter, yang jadi lebih memikat berkat penambahan bagian berisi lolongan vokal Lawry, yang mengingatkan penggemar Pink Floyd pada The Great Gig in the Sky.

Dua jam berlalu. Ketika Sting memetik gitar akustiknya dan terdengar not-not pembuka Fragile rasanya sulit meyakinkan diri bahwa pertunjukan sudah harus benar-benar berakhir. Tapi itu tak terelakkan. Sebelumnya Sting sudah memberikan dua babak tambahan. Dengan menanggalkan basnya, dan menyanyikan penghormatan bagi seseorang yang dengan keji dihilangkan nyawanya, inilah cara yang pas untuk menutup repertoar yang rasanya tak bakal dilupakan oleh siapa pun yang datang.

Purwanto Setiadi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus