Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bahasa

Bahasa dan Indonesia Baru

23 Desember 2012 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bandung Mawardi*

Ingatan atas sejarah bahasa Indonesia adalah penghormatan kerja para pengasuh adab dan buku di masa lalu. Bahasa menentukan adab. Bahasa menjiwai Indonesia. Para pengasuh adab melakoni misi membesarkan dan menggerakkan bahasa Indonesia dengan suguhan buku-buku impresif. Tanggung jawab sebagai pengasuh adab menjelaskan hasrat pembentukan dan pengembangan bahasa Indonesia.

Sutan Takdir Alisjahbana menulis buku Tatabahasa Baru Bahasa Indonesia (1949) untuk membuktikan optimisme menguatkan adab berpijak ke bahasa. Buku ini mengandung maksud pemodernan bahasa Indonesia tanpa meninggalkan hakikat asali. Sutan Takdir Alisjahbana memang berhasrat menjadikan bahasa Indonesia sebagai modal merengkuh modernitas. Bahasa mesti mewartakan gagasan dan amalan kemodernan di Indonesia. Agenda mengasuh bahasa berarti mengarah ke pembaruan atau perubahan-perubahan konstruktif. Sutan Takdir Alisjahbana menjelaskan pamrih mengajukan buku itu ke publik: "… tatabahasa ini berusaha sungguh-sungguh membuat orientasi baru tentang pemandangan bahasa Indonesia seluruhnja." Kita mengenang buku itu lanjutan gairah adab mengacu ke hajatan Poedjangga Baroe di masa 1930-an.

Armijn Pane juga memerankan diri sebagai pengasuh adab di rumah bahasa. Penggerak Poedjangga Baroe ini searus dengan Sutan Takdir Alisjahbana dalam misi membesarkan bahasa Indonesia. Armijn Pane menganggap bahasa menentukan identitas dan martabat Indonesia setelah meninggalkan masa kolonialisme. Garapan buku berjudul Men­tjari Sendi Baru Tata Bahasa Indonesia (1950) menjelaskan ambisi besar untuk memodernkan bahasa Indonesia. Armijn Pane ingin membuktikan bahwa penggunaan bahasa Indonesia berjiwa modern dalam sastra, pers, dan pengajaran di sekolah bakal mewujudkan Indonesia baru.

Armijn Pane dan Sutan Takdir Alisjahbana memang penggerak bahasa Indonesia secara ideologis. Penggunaan ung­kapan "baru" sejak masa 1930-an terus melantunkan optimisme mengamalkan adab modern di Indonesia. Kita masih mengingat nama mereka tapi mungkin lupa dengan warisan buku Tatabahasa Baru Bahasa Indonesia (1949) dan Mentjari Sendi Baru Tata Bahasa Indonesia (1950). Ingatan publik cenderung mengakui mereka sebagai pengarang novel berhaluan modernitas-Barat. Mereka juga tampil sebagai pengasuh bahasa untuk mewujudkan Indonesia berwajah dan berjiwa baru.

Buku-buku tentang sejarah Indonesia jarang mengurai misi mereka dalam membentuk Indonesia melalui jalan bahasa. Ingatan atas Indonesia di masa 1940-an dan 1950-an cenderung ke urusan revolusi, demokrasi, separatisme, dan partai politik. Ingatan atas laju pembentukan dan pertumbuhan bahasa mungkin ada di catatan kaki berisi tiga kalimat pendek. Kita mesti insaf bahwa hajatan mewujudkan Indonesia Baru memiliki pijakan bahasa. Kontribusi Sutan Takdir Alisjahbana dan Armijn Pane ada di arus kemodernan dan keindonesiaan. Ambisi mengajarkan tata bahasa baru pun mengartikan sangkalan atas dominasi kalangan sarjana kolonial dalam ideologisasi bahasa Indonesia sejak akhir abad XIX.

Kita juga pantas mengenang buku Kaidah Bahasa Indonesia (1956) garapan Slamet Muljana. Buku ini semakin menguatkan hasrat meninggalkan ideologi-kepatuhan dan nalar-kolonial. Pemuliaan bahasa Indonesia disahkan dengan gairah publikasi buku di zaman berhaluan modern. Slamet Muljana menghendaki pengetahuan atas bahasa Indonesia turut mengentalkan keindonesiaan. Pembelajaran dan penguasaan kaidah-kaidah bahasa Indonesia bakal menimbulkan optimisme mewujudkan impian Indonesia baru.

Buku-buku garapan Sutan Takdir Alisjahbana, Armijn Pane, dan Slamet Muljana adalah referensi untuk mengingat peran bahasa Indonesia di masa 1940-an dan 1950-an. Ingatan bisa mengajak kita bergerak ke refleksi peran bahasa Indonesia di masa sekarang. Pengajaran bahasa Indonesia di sekolah dan universitas tampak mengabaikan penghormatan tokoh dan pembacaan buku-buku lama. Masa lalu sering ditinggalkan dengan kepongahan. Kita mungkin menganggap Indonesia abad XXI adalah Indonesia berjiwa politik, ekonomi, dan teknologi. Bahasa seolah-olah tak berperan atau sengaja ditepikan di bait terakhir puisi sendu.

Agenda mewujudkan Indonesia baru memang terus dilanjutkan meski tanpa suluh bahasa. Ingatan-ingatan atas tokoh dan buku di masa lalu sekadar rindu kelabu. Kita hampir tak memiliki keprihatinan. Pemerintah sekadar memahami bahasa Indonesia sebagai mata pelajaran. Bahasa Indonesia sengaja dipisahkan dari sejarah Indonesia. Bahasa Indonesia cuma buku pelajaran dan nilai. Kita tak perlu terharu.

*) Pengelola Jagat Abjad Solo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus