"KALAU tidak nomor satu, ya nomor dua," kata Amran Zamzani
mengenai harapan tim Indonesia dalam Olimpiade Bridge 1980.
Tekad pimpinan tim nasional itu dilontarkannya ketika Indonesia
memenangkan kejuaraan bridge Timur Jauh di Tokyo, Desember 1979.
Tapi kemudian Amran menurunkan ramalannya. "Kita boleh berharap
setinggi langit, tapi keputusan terakhir ada di tangan Tuhan,"
ucapnya menjelang keberangkatan tim. Hasilnya lumayan dalam
Olympiade Bridge di Belanda, yang diikuti 58 negara dan
berlangsung antara 27 September sampai 11 Oktober lalu, ternyata
Indonesia menjadi juara ketiga bersama Norwegia. Namun prestasi
itu menurut Ketua GABSI (Gabungan Bridge Seluruh Indonesia),
Wisnu Djajeng Minardo "memuaskan".
"Dulu, dengan pemain tangguh Manoppo Bersaudara, kita, baru
mencapai 14 Besar Juara Bridge Dunia," katanya kepada TEMPO di
rumahnya. Wisnu kembali ke Indonesia Kamis pekan lalu setelah
melihat sendiri tim Indonesia lolos sebagai 8 besar ke semi
final. Wisnu menganggap, "dengan prestasi itu dunia kini sudah
dapat menilai sampai mana kepintaran otak manusia Indonesia
dalam olahraga."
Sampai hari-hari terakihir menjelang dimulainya Olympiade
Bridge yang berlangsung di kota pegunungan, Valkenburg, pemain
Indonesia masih dianggap pemain kampungan dan kotor oleh
kalangan pers. Harian Belanda De Telegraf, misalnya menulis
"sepeser pun tak ada orang bersedia bertaruh bagi tim
(Indonesia) yang linglung," kutip Wisnu. Kantor berita Reuter
juga memberi komentar bernada minir, tambahnya.
Kode
Selama pertandingan, Indonesia selalu bermain wajar. "Tidak
seperti pemain-pemain prof Italia, juara dunia selama 13 tahun.
Soal kecil saja mereka protes untuk menjatuhkan mental lawan,"
cerita Wisnu. "Tapi justru mungkin karena bermain wajar, mau
yang safe saja, Indonesia tak berhasil mengalahkan Amerika
Serikat," tambahnya. Prancis, juara Olympiade ini, kabarnya
mengalahkan juara II AS dengan spekulasi berani melakukan
penawaran Grand Slam, padahal satu kartu As ada di tangan AS.
Untuk menghadap Olympiade ini persiapan GABSI tidak
tanggung-tanggung. Para pemain Hengky Lasut, Max Agouw, Ferdy
Waluyan, Denny Sacul, Munawar Samiruddin dan Yassin Wijaya
praktis sudah dibina selama dua tahun. Tidak hanya energi,
waktu, pikiran, juga uang lebih Rp 30 juta sudah dikeluarkan
untuk itu. Singkatnya, tim Indonesia dikirim tidak untuk sekedar
mencari pengalaman, tapi untuk menjadi juara.
Kelemahan tim Indonesia antara lain karena para pemain inti Max
Agouw dan Ferdy Waluyan merosot fisiknya oleh cuaca 10ø C di
sana. "Gejala kedinginan sudah tampak sejak awal, karena pada
upacara pembukaan, pemain dibiarkan berdiri dalam gua di daerah
pariwisata di pegunungan Valkenburg. Sedangkan dalam pelatnas di
Jakarta, mereka cuma berada dalam kamar ber-AC sejak pukul 2
siang hingga larut malam.
Pengaturan penonton, yang tidak diberi jarak yang lapang dari
pemain juga dianggap merugikan tim Indonesia. "Itu mengganggu
konsentrasi. Penonton juga mungkin memberi kode kepada tim yang
didukungnya," kilah Wisnu pula. "Suasana tidak sebagus di
Kejuaraan Timur Jauh," tambahnya.
Prestasi tim wanita Indonesia jauh di bawah tim pria. Mereka
cuma menempati urutan ke-24 dari 27 negara peserta.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini