Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Olahraga

Ada Fulus di Balik Paspor Baru

Gagal masuk tim nasional dan tawaran fulus membuat para pemain Brasil rela berganti paspor. Presiden FIFA khawatir kelak mereka menguasai tim nasional negara lain.

3 Desember 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TAK ada kawan, apalagi kekasih. Namun Eduardo Alves da Silva, bocah yang baru saja lewat akil balik, nekat terbang ke Kroasia pada 1998. Di Zagreb, dia kehilangan matahari dan keceriaan Rio de Janeiro. Hanya tekadnya menjadi pemain bola sukses yang membuatnya datang memenuhi tawaran bermain di NK Dinamo Zagreb. Biar harus menyeberangi Samudra Atlantik, dia tak mau melewatkan kesempatan itu. Dia ingin menjadi pemain besar.

Hampir sepuluh tahun berselang, mimpinya menjadi kenyataan. Bahkan melampaui target. Dudu—panggilan akrabnya—kini bermain di Arsenal sekaligus menjadi pahlawan bagi negeri barunya. Tiga tahun silam, dia mulai mengenakan seragam merah-putih, bukan hijau-kuning, seragam tim nasional Brasil. Pilihan yang tak keliru. Bulan lalu, dia ikut meloloskan tim senior negeri itu ke putaran final Piala Eropa musim panas depan. Sejak 2004, ia sudah 21 kali bermain di tim nasional dan mencetak 13 gol.

Dudu hanyalah satu contoh keberhasilan pemain Brasil yang berganti paspor. Di belahan dunia yang lain, pemain sejenis Dudu bertebaran. Di Portugal kini ada dua pemain asal Brasil yang menjadi langganan tim nasional. Mereka adalah Anderson Luis de Souza alias Deco (Barcelona) dan Pepe, bintang muda yang berlaga di Real Madrid. Keduanya menjadi pemain Portugal setelah melalui proses naturalisasi atau perpindahan warga negara.

Fenomena inilah yang membuat Sepp Blatter, Presiden FIFA, ketar-ketir. Pekan silam, saat mengikuti undian kualifikasi Piala Dunia zona Eropa, secara terbuka pria asal Austria ini mengungkapkan ketakutannya terhadap invasi pemain-pemain Brasil yang berpindah kewarganegaraan. ”Kalau ini dibiarkan, bukan mustahil dalam Piala Dunia 2014 atau 2018, 16 tim yang berlaga berisi pemain-pemain asal Brasil,” katanya sengit.

Sebenarnya, berganti paspor bukanlah hal yang baru. Ferenc Puskas pada mulanya bermain untuk tim nasional Hungaria, pada 1940-1950-an. Tapi, ketika Hungaria diduduki Russia, dia pindah dan membela Spanyol. Pun demikian dengan Ladislao Kubala. Legenda Barcelona itu pernah tiga kali memakai kostum berbeda: Cekoslovakia, lalu Hungaria, dan akhirnya Spanyol.

Kala itu, hal seperti ini bisa dimaklumi. Akibat perang, dunia morat-marit. Namun kini naturalisasi tak lagi terjadi karena sesuatu yang lazim seperti yang terjadi di tim Prancis. Mereka adalah imigran yang menetap sejak kecil. Saat ini, naturalisasi bisa saja terjadi dalam jangka waktu yang singkat dan dilakukan semata untuk mendongkrak prestasi negeri baru sang pemain.

Kalau Blatter ngeri kepada Brasil, bolehlah masuk akal karena negeri itu gudangnya pemain. Di sana ada sekitar 60 juta pemain atau sepertiga dari jumlah penduduk. ”Laki-laki di negeri itu semua bermain bola,” katanya. Persis seperti yang terjadi dengan kopi, Brasil kini menjadi pengekspor pemain bola terbesar di dunia. Kenaikan ”ekspor” ini terjadi sejak 1990-an, ketika liga-liga Eropa memulai era baru. Setiap tahun, peningkatannya bisa sampai lima kali lipat.

Kini orang mulai meributkan banyaknya pemain asal Brasil yang melakukan naturalisasi. Di Piala Dunia di Jerman tahun lalu saja, wajah tropis mereka nongol di negeri empat musim seperti Belgia (Luis Oliveira), Jepang (Alessandro Santos), Portugal (Deco dan Pepe), dan Spanyol (Marcos Senna). Sisanya ada di Kosta Rika, Makedonia, Togo, dan Tunisia.

Di luar pemain Brasil, pemain yang berganti paspor tidak banyak. Salah satunya Ariza Makukula. Pemain hitam ini murni berasal dari Kongo tapi kemudian mendapatkan warga negara Portugal dan langsung bermain untuk tim usia 21 tahun. Pelatih Luiz Felipe Scolari mengajaknya masuk tim nasional.

Ini yang membuat Blatter keder. ”Perpindahan pemain ke sebuah negara tidak sesuai dengan program kami,” kata Blatter. Presiden badan sepak bola dunia ini ingin pemain bagus datang dari negerinya sendiri. Itu artinya pembibitan dan pembinaan sesuai dengan arahan FIFA dan berjalan dengan baik.

Namun FIFA tetap saja sulit membendung naturalisasi ini. Dalam peraturan yang dikeluarkan badan sepak bola tertinggi ini, mereka yang bisa bermain untuk negeri barunya setidaknya pernah berada di negeri baru itu atau memiliki orang tua atau kakek yang pernah tinggal di negeri barunya. Mereka yang pernah membela suatu negara tidak boleh bermain membela negara lain.

l l l

PERATURAN tinggal peraturan. Sebab, naturalisasi bisa juga terjadi karena pemain tersebut menikah dengan perempuan negeri lain. Nah, siapa yang bisa melarang jodoh? Namun ada soal lain yang tak bisa dihalangi, yakni soal fulus. Tak bisa dimungkiri, soal uang di balik paspor baru menjadi penyebab utama para pemain Brasil mengganti identitasnya.

Empat tahun silam, pemain Brasil, yakni Ailton, Dede, dan Leandro, yang bermain di Liga Jerman, dibujuk negeri kaya raya Qatar untuk segera berpindah warga negara. Negeri Teluk ini membutuhkan tenaga ekstra untuk bisa lolos ke Piala Dunia 2006. Iming-imingnya duit segar US$ 1 juta atau sekitar Rp 9 miliar. Angka itu belum termasuk berbagai bonus yang dijanjikan.

Negeri kaya ini memang butuh prestasi instan. Meski sebenarnya pembibitan di sana tidak juga buruk, kesebelasan negara itu kepingin langsung mendapat prestasi. Sebelumnya, Qatar juga merekrut Soria dan Abdulla Obaid Koni, yang mendapat kewarganegaraan baru. Soria, yang berasal dari Uruguay, diambil hanya beberapa minggu menjelang Asian Games dimulai di negeri itu.

Qatar memang paling doyan menjawil barang yang sudah jadi. Atlet Kenya, Stephen Cherono, juga dibetot menjadi warga Qatar untuk memperkuat negeri itu dalam ajang lari 3.000 meter. Ujung-ujungnya memang soal duit. Dibanding hidup di negerinya sendiri, tinggal di negeri petrodolar itu teramat nyaman.

Namun Ailton membantah bila disebut uang yang jadi soal. ”Maaf, uang bukan faktor utama. Saya mendapatkan uang banyak dengan bermain di Werder Bremen,” kata Ailton. Persoalan utama baginya, dia ingin bermain di turnamen besar. Sedangkan Brasil, tumpah darahnya, tak jua memakainya. Namun pencetak gol terbanyak dan pemain terbaik di Bundesliga 2004 ini masih kalah cemerlang dibanding pemain lain. Ailton akhirnya batal pindah negara.

Kalah bersaing juga dialami Francileudo Silva dos Santos, 28 tahun. Pemain yang dijuluki Roadrunner ini bermain di Belgia. Namun, tak cocok dengan iklim yang dingin, dia pindah ke Tunisia. Bermain gemilang di Tunisia, dia mendapat tawaran bermain di Sochaux. Tak sia-sia, dia pun gemilang dan berhasil membawa klub itu memenangi Piala Liga Prancis empat tahun silam.

Federasi sepak bola Tunisia langsung menawarinya menjadi warga negara Tunisia pada 2000, tapi Santos ingin bermain untuk negerinya sendiri. Harapan itu musnah. Namanya kalah bunyi dibandingkan dengan Julio Baptista dan Robinho. Akhirnya, dia menerima pinangan Tunisia. Tak percuma, dia berhasil membawa Tunisia menjadi juara Piala Afrika pada 2004.

Begitulah Brasil. Negeri ini teramat kaya dengan pemain hebat. Bagi orang Brasil, olahraga yang dibawa orang Inggris pada 1894 ini tidak lagi sekadar permainan, tapi menyatu dalam hidup mereka. Sepak bola membuat mereka menjadi orang yang dihormati dan menaikkan derajat mereka—sekalipun harus menyeberangi lautan ribuan kilometer dari kampung halaman.

Keberhasilan itu mereka bawa mudik. Setelah mengantar Kroasia lolos ke Piala Eropa, Eduardo sejenak pulang kampung melepas penat dan mengumbar hasil kerja kerasnya di negeri orang. ”Aku senang menghabiskan waktu bersama sanak keluarga,” katanya. Rio de Janeiro tetap kampung halamannya.

Irfan Budiman

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus