Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bahasa

Fenomena ’Ter-’

3 Desember 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

  • Kurnia JR

    Sebuah saluran televisi swasta menayangkan teks berita seperti ini, ”Wartawan terculik dibebaskan di Baghdad.” Yang dimaksud adalah peristiwa yang terjadi pada diri si wartawan di sebuah kota yang bergolak. Gara-gara ”terculik” itu, saya malah tergoda memikirkan apakah insiden penculikan itu terjadi tanpa sengaja, ataukah si wartawan hanya korban salah sasaran—yang hendak diculik si X, yang ”terculik” si wartawan malang.

    Teks itu tak memberi penjelasan lebih lanjut, tapi segera disusul berita lain. Sementara itu, saya tak bisa menyimpulkan mana dugaan saya yang benar. Saya justru berpikir barangkali teks itu salah tulis. Boleh jadi, penulisnya ingin menerapkan prinsip ekonomi dalam berbahasa. Mestinya ditulis ”wartawan yang diculik….” Kita tahu, di sana penculikan merupakan kasus ”lumrah” yang sengaja dilakukan kelompok-kelompok tertentu dengan berbagai alasan yang tak selalu politis sembari memanfaatkan situasi runyam di Irak. Penerapan ekonomi kata seperti ini tak menguntungkan, apalagi jika sekadar ”menghemat” 4 karakter sembari mengorbankan makna.

    Masalahnya, ”teks berjalan” di layar TV itu tidak mengimbuhkan keterangan apa-apa, yang seharusnya memperjelas cerita. Problem kedua: ”dibebaskan di Baghdad”. Ini menyiratkan ”teka-teki” bahwa ada kemungkinan jurnalis apes ini diculik di kota lain, tetapi kota apa? Tak jelas juga.

    Lain cerita: sudah lebih dari setahun ini media massa nyaris setiap hari, mau tak mau, secara terpaksa atau mungkin tak peduli, ”harus” menulis kata suspect pada berita tentang wabah flu burung. Sementara televisi yang bermotif bahasa lisan secara enteng saja menyebut /saspek/ untuk kosakata Inggris suspect, media cetak yang bermotif tulisan kerap ”tersandung-sandung” secara mental ketika harus mengetik suspect (atau saspek saja sekalian?). Ada juga yang mencoba ”menerjemahkan” dengan ”tercuriga”. Yang lain mulai meraba-raba bentukan lain, seumpama ”ternyana”, untuk menjauhkannya dari kesan ”tersangka”, apalagi ”tercuriga”, yang berbau-bau dunia hukum dan kriminalitas.

    Menurut saya, persoalannya bukan di situ, melainkan ikut campurnya ”ambisi” ekonomi bahasa. Jika sang penulis cukup kreatif untuk menahan diri dari pengulangan suatu istilah dalam teks berita yang disusunnya, tak akan terjadi ”pemborosan” yang ditakutkannya. Dia bisa menulis, ”Pasien yang diduga terinfeksi virus flu burung telah diperbolehkan pulang.” Dia tak layak menyerah dengan menulis ”ringkas” saja: ”Pasien suspect flu burung telah diperbolehkan pulang.” Asalkan mau berupaya kreatif sedikit, dia akan mampu menghindari pengulangan frase ”pasien suspect flu burung” yang monoton.

    Awalan ”ter-” tak selayaknya dijadikan tameng untuk secara sembrono menerjemahkan setiap kosakata Inggris berbentuk past tense (masa lampau) atau untuk ”meringkas” suatu ungkapan menjadi istilah tunggal jika memang hasilnya tidak mampu memenuhi syarat makna yang dituju.

    Ada kasus lain yang sempat jadi bahan perdebatan sebentar dalam diskusi bahasa di kantor SCTV beberapa tahun silam, yaitu istilah terkini. Bentukan ini dipakai sebagai tajuk salah satu acara berita stasiun TV tersebut. SCTV memakai kata terkini untuk arti mutakhir: berita terkini, berita mutakhir. Ketika istilah itu dipertanyakan, seseorang menyeletuk, ”Istilah itu biasa dipakai di Malaysia.” Pernyataan itu mungkin betul, tetapi perlu kita camkan bahwa kata tersebut dipakai di Malaysia bukanlah pembenaran yang memadai untuk memungkinkan bentukan itu juga ”layak” dipakai dalam struktur bahasa Indonesia.

    Pertanyaannya, bagaimana bisa, kata kini diimbuhi awalan ”ter-” menjadi mutakhir? Bukankah kini sama dengan sekarang yang, jelas, bukan suatu continuum (something consisting of a series of variations or of a sequence of things in regular order, The Merriam-Webster Dictionary). Bukan sebuah progres dengan tahapan-tahapan ”belum”, ”sedang”, menuju ke makna penuh; atau dari ”kurang” ke ”agak”, kemudian ”paling”. Bukan pula skala. Bagaimana jika kita terapkan ”ter-” pada sekarang? Tersekarang? Kini ya kini, tidak perlu penegasan ”yang paling kini” sebagai lawan, misalnya, terhadap ”yang kurang kini”, sebab kata itu merupakan konsep-selesai.

    Mungkin ”presedennya” adalah bentukan kata ”terakhir”. Akhir adalah akhir, namun entah siapa yang memulai, diimbuhi awalan ”ter-” untuk menegaskan ”yang paling akhir”, seakan-akan ada yang ”bukan akhir-akhir amat”. Jangan pula, mentang-mentang ada ungkapan ”menjelang finish” atau ”nyaris finish” lalu kita merasa oke-oke saja menulis ”terfinish”. Silakan juga Anda renungkan bentukan yang dimula-mulai oleh TV beberapa tahun yang lalu, yaitu ”terfavorit”. Kini, kata terakhir sudah ”baku”. Bahkan terkini sudah meluas, sampai-sampai ada situs internet bernama Terkini.com (Cuplikan Informasi Terkini).

    Seperti kata Goenawan Mohamad, ”Bahasa adalah bangunan salah kaprah,” dan kita bermain-main di dalamnya—tanpa dosa.

  • Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    Image of Tempo
    Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
    • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
    • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
    • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
    • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
    • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
    Lihat Benefit Lainnya

    Image of Tempo

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    >
    Logo Tempo
    Unduh aplikasi Tempo
    download tempo from appstoredownload tempo from playstore
    Ikuti Media Sosial Kami
    © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
    Beranda Harian Mingguan Tempo Plus