Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Olahraga

Aji, Dua Langkah Lagi

Petarung Aji Susilo menuai kemenangan di Jepang. Dia terampil memadukan berbagai jurus bela diri.

10 November 2002 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

AJI Susilo bukanlah Gatotkaca yang punya otot kawat dan tulang besi. Meski menyandang gelar juara kelas menengah TPI Fighting Championship, dia bisa jatuh sakit juga. Sepekan sebelum berangkat ke Jepang untuk bertarung di arena mixed martial art (bela diri campuran), Aji terserang penyakit tifus. Berat badannya turun 3 kilogram, tinggal 67 kilogram. Staminanya langsung anjlok. Kegundahan sempat menyergap dia. Soalnya, ini merupakan kesempatan langka. Aji merupakan atlet bela diri campuran pertama yang dikirim ke Jepang. Untunglah, keajaiban tiba-tiba datang. Penyakit tifusnya cepat sekali sembuh, dan staminanya pelan-pelan membaik. Hasilnya, akhir Oktober lalu dia mampu menyihir para penonton di Tokyo Dome. Sebuah kuncian leher ala jiu jitsu yang dilakukan Aji dari belakang (rear naked choke) menamatkan ambisi Xue Do Won pada ronde kedua. Won adalah petarung Muay Kacha atau kick boxing asal Myanmar. Di negerinya, dia tak terkalahkan. Prestasi Aji memang bukan di ajang yang tertinggi. Bersama dengan petarung dari Belanda, Jepang, Amerika Serikat, dan negara Asia lainnya, dia bertanding pada kompetisi Best (blood, energy, sweet, and tears). Ajang ini setingkat di bawah Pride Fighting Championship (Pride FC) yang sudah kondang. Jika seorang jagoan mampu menang tiga kali di arena Best, barulah dia berhak bertanding di Pride FC. Tapi aturan ini tak baku. Seorang pendekar dapat langsung bertarung di Pride FC bila dilihat dari kacamata bisnis menguntungkan. "Kalau penonton menginginkan dan disetujui pengurus Pride FC, bisa saja," kata Marah Bangun, penanggung jawab acara olahraga di TPI. Kemenangan orang Bandung ini disambut gembira. Bukan cuma pihak TPI—yang mengorbitkannya—yang bangga, Gubernur Jawa Barat dan Bupati Bandung juga turut senang. Hadiah dan penghargaan pun mengalir ke lelaki yang tinggal di Ciparay, Bandung itu. "Para tetangga yang dulu menganggap saya remeh sekarang menghormati saya," tutur Aji sambil tersenyum. Tak ada jalan pintas menuju keberhasilan. Lelaki 28 tahun ini sejak kecil telah menyukai olah raga bela diri. Dia amat tergila-gila pada bintang film laga seperti Bruce Lee dan Jacky Chan. Keinginannya meniru sang idola menuntun Aji bergabung dengan Perguruan Beladiri Tangan Kosong (Betako) Merpati Putih ketika masih duduk di kelas lima sekolah dasar. Lalu dia juga pernah berlatih di perguruan Merpati Seto. Selain itu "Saya juga rajin datang ke tempat latihan karate, tinju, dan kungfu," kata Aji, yang masih menyimpan ratusan poster Bruce Lee di rumahnya. Tempaan berbagai ilmu bela diri itu menjadikan Aji amat tangguh. Ia pernah menghajar lima pencopet bersenjata tajam di sebuah pasar di Bandung karena berusaha mencopet istrinya. Kelimanya tersungkur. Itu sebabnya, "Saya merasa aman kalau jalan sama Mas Aji," kata istrinya, Dike Mei Warlina. Bukan cuma seni bela diri, dia juga pernah belajar ilmu tenaga dalam. Jangan heran jika Aji punya kelebihan menyembuhkan berbagai jenis penyakit. Dan dia sudah mulai membuka praktek pengobatan tradisional sejak duduk di kelas satu SMU. Tapi watak bengalnya tidak hilang. Jika pasien yang datang banyak, ia lebih memilih kabur. Sampai sekarang, ia masih melakukan praktek penyembuhan. Sebagian ruang tamu rumahnya, seluas 12 meter persegi, disulap menjadi ruang praktek. Bertirai sehelai kain, ruang itu diisi kasur untuk memijat pasien. Sisanya digunakan untuk ruang tunggu. Mengintip ruang keluarga Aji, lain lagi suasanya. Seluruh lantainya dilapisi matras tebal. Di situlah ia biasa berlatih ground fighting (tarung bawah), di sela-sela kesibukannya melayani pasien. Sementara itu, pohon mangga di halaman rumah mertuanya digantungi karung pasir yang selalu menjadi sasaran kaki dan kepalan tangannya. Aji mengaku pas-pasan dalam tarung bawah. Karena itu, selain berlatih, dia juga rajin memelototi buku-buku tentang keluarga Gracie, pakar jiu jitsu ala Brasil. Lewat jagoannya, Royce Gracie, jenis bela diri ini memang merajai Ultimate Fighting Championship (UFC) di Amerika Serikat. Ketika mendengar TPI Fighting Champioship (TPI FC) bakal digelar beberapa bulan silam, ia buru-buru berlatih keras. Setiap hari ia berlari mendaki Bukit Cula, yang berada di dekat rumahnya. Latihan itu masih ditambah dengan pukulan dan tendangan di karung pasir, serta latihan di atas matras di rumahnya. Setelah merasa siap, dia pun datang ke Jakarta. Dia membawa kedua anak dan istrinya untuk menyaksikan aksinya. Hasilnya? Luar biasa. Satu demi satu lawan di arena TPI FC bisa dia lewati. Aji mampu menaklukkan Deni Ramdani, juara taekwondo DKI Jakarta. Dengan gampang pula dia membungkam aksi Roy Tangka, atlet judo yang pernah merajai arena Pekan Olahraga Nasional dan juara Singapura Terbuka. Aji mematahkan perlawanan kedua pendekar itu dengan gaya kombinasi silat, karate, dan tinju yang dipelajarinya. Dengan cara yang sama, di final, dia melumat jago judo dan karate Zuli Silawanto. Prestasi itulah yang membuat para pengurus Pride FC kepincut. Mereka lalu mengundang dia untuk bertanding di Jepang. Sebagai persiapan, selama tiga minggu, dia digembleng oleh Tommy Firman (pelatih karate), Surya Saputra (pelatih gulat), dan I Made Hadi Wigraha (pelatih jiu jitsu). Sentuhan mereka cukup ampuh. Terbukti, kendati sempat terserang tifus, Aji bisa mengatasi lawannya. Meski jago tenaga dalam, kemampuan ini tidak bisa dia pakai ketika bertanding. Menurut Tommy Firman, tarung bebas membutuhkan gerakan yang cepat, sehingga tidak akan sempat memakai tenaga dalam. Apalagi di sekitar arena, biasanya banyak pelatih yang bisa menetralisir tenaga dalam. "Kalau orang Indonesia bisa memakai tenaga dalam di arena, kita sudah memiliki juara dunia tinju," kata pelatih karate ini. Kesempatan untuk berprestasi lagi terbuka lebar. Januari mendatang, Aji akan bertanding lagi di Jepang. Jika bisa menang, selangkah lagi dia boleh tampil di ajang Price FC yang amat bergengsi. Tapi, yang masih menjadi ganjalan, berat badannya. Sebelum bertanding nanti, dia harus mempunyai berat minimal 80 kilogram, agar bisa mengimbangi lawannya. Soalnya, ajang Pride FC hanya mengenal dua kelas, yakni kelas di bawah 92 kilogram dan kelas di atas 93 kilogram. Tak sulit meningkatkan berat badan. Yang susah, menjaga agar penggemukan itu jangan sampai mengurangi kelincahannya. Untuk itulah, Aji meminta Ade Rai untuk menjadi konsultan gizinya. Satu lagi, dia juga masih menghadapi masalah dengan staminanya. "Stamina dia kurang kuat untuk bertanding tiga ronde," ujar Tommy. Tapi masih banyak waktu untuk mempersiapkan diri. Dan di kampungnya di Bandung, Aji tahu apa yang mesti dilakukan agar bisa menoreh prestasi lagi. Agus S. Riyanto, Bobby Gunawan, Rian Suryalibrata

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus