Tak masuk akal. Begitulah kesimpulan yang singgah di pikiran Kepala Staf TNI Angkatan Laut, Laksamana TNI Bernard Kent Sondakh, setelah membaca laporan audit Yayasan Angkatan Laut akhir Oktober lalu. Data-data yang janggal bertebaran. Di antaranya: sebuah usaha yang dibangun dengan modal Rp 200 juta tapi hanya sanggup meraih untung Rp 6,4 juta. ”Cuma bisa buat beli permen karet. Buat bayar gaji pegawai saja enggak cukup,” gerutu pria Minahasa itu.
Keputusan cepat diambil: 13 dari 29 unit usaha Yayasan Bhumyamca akan ditutup. ”Sisanya akan segera disusulkan,” ujarnya tegas. Kent tidak bertindak tanpa dasar yang kuat. Ada empat audit akuntan publik—termasuk Pricewaterhouse Coopers—yang sudah meneliti yayasan itu sejak April silam. Mereka mengatakan, sebagian besar unit usaha itu tekor karena tak kompetitif (lihat: Kapal Uang Bocor AL). Hanya beberapa usaha yang bergerak di sektor pelayaran dan angkutan, sektor utama usaha Angkatan Laut, yang untung.
Apa boleh buat, kesehatan dan kelangsungan hidup yayasan itu sangat bergantung pada unit-unit usahanya. Sebenarnya Angkatan Laut punya tiga yayasan yang semuanya bergerak dalam bidang pendidikan dan sosial. Ada Yayasan Nala dan Yayasan Hang Tuah, yang dikelola oleh Jalasenastri, persatuan istri Angkatan Laut, dan Yayasan Bhumyamca. Namun, di antara ketiganya, hanya Yayasan Bhumyamca yang membentuk unit-unit usaha. Sudah puluhan unit usaha dibentuk, tapi yang tersisa kini kira-kira hanya 26 unit usaha.
Yayasan Bhumyamca tercatat pernah memiliki unit usaha yang berserak di berbagai bidang. Pada masa jayanya, jangkauannya meliputi usaha kayu PT Sangkuliang, resor Pulau Banyan Marina Club, sampai Bank Bahari di sektor keuangan—kini semua itu berguguran karena bangkrut. Pengembangan usaha yang kelewat jauh dari bisnis inti telah banyak makan biaya, namun unit-unit usaha baru tetap saja dibentuk. Kemubaziran berlanjut. Padahal, berbeda dengan angkatan lain, hasil usaha Yayasan Angkatan Laut sepenuhnya untuk menunjang kesejahteraan prajurit dan kegiatan sosial. ”Kita tak pernah menggunakan duit yayasan untuk pembelian alat tempur atau operasi,” ia menjelaskan.
Buruknya kinerja unit bisnis ini tak lepas dari kurangnya profesionalisme pengelola yang ada di dalamnya. Sudah menjadi kelaziman, unit-unit usaha itu dikelola oleh para purnawirawan yang kebanyakan tak paham soal bisnis. Keterlibatan mereka, menurut Kent, ”untuk mengisi hari tua daripada menganggur”. Padahal, keuntungan usaha amat dibutuhkan untuk menunjang kesejahteraan tentara yang minim. ”Ya, bagaimana bisa untung. Sekolah nembak disuruh ngurusi bisnis. Enggak ada hubungannya,” ujar Kent.
Menurut Kent, 54 tahun, dari sekian banyak usaha itu, Angkatan Laut hanya menerima Rp 6 miliar setiap tahun. ”Untuk memberi bonus hari raya buat prajurit saja tidak cukup,” ujarnya. Dengan sekitar 80 ribu prajurit dan karyawan sipil AL, setidaknya dibutuhkan dana Rp 8 miliar untuk sekadar memberi THR Rp 100 ribu per kepala. Itu pun belum meliputi kebutuhan lain: dari biaya taman kanak-kanak dan sekolah Hang Tuah yang dikelola oleh Yayasan Hang Tuah, Universitas Hang Tuah Surabaya oleh Yayasan Nala, dua buah panti asuhan di Surabaya dan Jakarta, beasiswa anak prajurit tidak mampu, sampai renovasi perumahan prajurit.
Sesungguhnya tak semua bisnis AL itu berkinerja buruk. Misalkan saja Admiral Lines. Perusahaan kargo itu mampu meraup untung Rp 1 miliar hanya dengan tiga kapal kargo, dua di antaranya sudah layak pensiun. Selain itu ada usaha penyewaan properti milik Bhumyamca Sekawan di Cilandak yang berhasil menangguk dolar sampai US$ 1,9 juta (atau sekitar Rp 18,6 miliar) hanya di semester awal tahun ini. Keuntungan itu menjadi tak berarti karena untung sebesar itu juga digunakan untuk menyapih usaha lain yang sekarat. ”Jadi, percuma saja,” tuturnya.
Mantan Inspektur Jenderal Mabes TNI ini menyodorkan sebuah solusi yang diyakininya menguntungkan. Juallah aset-aset perusahaan yang buruk. Duitnya lalu disimpan di bank sebagai dana abadi. ”Yang pasti, jumlahnya lebih dari Rp 6 miliar,” katanya. Ditambah dengan untung satu-dua usaha yang sehat, cukuplah. ”Kalau ada Rp 200 miliar saja, saya bisa dapat Rp 24 miliar setahun,” katanya. Duit sebanyak itu bisa digunakan membangun seribu rumah untuk prajurit, tanpa perlu pening memikirkan rugi perusahaan. Selain itu, TNI AL bisa berkonsentrasi pada tugas pokoknya sebagai kekuatan tempur. ”Tak ada lagi bisnis-bisnis,” ia menegaskan.
Markas Besar TNI AL sendiri terkesan serius menggagas penjualan berbagai aset usaha yayasan tersebut. Kent sudah membentuk tim likuidasi yang dipimpin oleh Wakil KSAL, Laksamana Muda Syahroni Kasanadi, untuk meneliti dan menghitung aset-aset perusahaan tersebut. Rencananya, akhir Desember data final tentang kekayaan dan kinerja perusahaan-perusahaan sudah bisa diperoleh. ”Selanjutnya, kita akan memutuskan apakah dijual putus atau ditawarkan ke pihak swasta,” kata Kent, yang tak bisa menjelaskan berapa nilai total kekayaan usaha Yayasan Bhumyamca. Sebab, menurut dia, tak sedikit dari perusahaan itu meminjam aset dan fasilitas AL, seperti kantor dan lahan. Sebelum pertengahan 2003, semua proses diharapkan sudah selesai.
Namun, menurut Ketua Yayasan Bhumyamca, Laode Dayan, tak semua usaha adalah milik yayasan yang bisa dijual. ”Beberapa hanya bersifat penyertaan saham,” tuturnya. Dan porsi saham milik AL amat kecil. Kalaupun dijual, mungkin jumlah duitnya tak banyak. Meski begitu, Panglima TNI Jenderal Endriartono Sutarto memilih mendukung beleid Kent. ”Kalau enggak menguntungkan, sebaiknya memang bubarin saja,” katanya pendek. Markas Besar TNI sendiri sepenuhnya menyerahkan soal yayasan kepada kepala staf angkatan masing-masing. ”Itu sepenuhnya kewenangan mereka,” katanya.
Arif A. Kuswardono, Bernarda Rurit (TNR)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini