Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Diamnya Ustad Abu

Ba'asyir melakukan aksi diam, polisi jalan terus.

10 November 2002 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SAMPAI Senin pekan ini, Abu Bakar Ba'asyir sudah 14 hari berada di kamar VIP Rumah Sakit Soekanto, milik polisi RI, di Kramat Jati, Jakarta Timur. Ustad berjenggot putih berusia 64 tahun itu masih terlihat pucat dan lemah. Toh kondisinya jauh membaik dibandingkan dengan ketika ia dipindahkan polisi dengan "keras" dari Solo pada 28 Oktober. Di rumah sakit Kramat Jati, ia dikawal ketat. Polisi menyiapkan dua kamar untuk "mengapit" kamar yang ditempati pemimpin Pesantren Al-Mukmin di Ngruki, Solo, itu. Satu kamar sengaja disiapkan untuk memeriksa "Amir" Majelis Mujahidin Indonesia itu. Dan pemeriksaan rupanya telah mulai dilakukan Sabtu dua pekan lalu, dipimpin oleh Ajun Komisaris Besar Polisi Jeldi Ramadhan. Polisi memakai bahan hasil pemeriksaan tim polisi atas Umar al-Faruq pada pertengahan Oktober lalu di "suatu tempat yang dirahasiakan" di Amerika Serikat. Al-Faruq, warga Kuwait itu, menurut dokumen CIA adalah tokoh penting Al-Qaidah yang mengetahui serangkaian aksi teror bom atas kedutaan Amerika di berbagai negara dan ditangkap intelijen Indonesia di Cijeruk, Bogor, pada 5 Juni 2002. Ia kemudian "diserahkan" kepada pihak AS. Al-Faruq juga mengaku dua kali mencoba membunuh Presiden Megawati dan ia konon bersaksi bahwa Ba'asyir mengetahui rencana aksinya, termasuk serangkaian peledakan di malam Natal tahun 2000. Tim polisi RI yang dipimpin Brigjen Aryanto Sutadi membenarkan bahwa pengakuan Al-Faruq sama dengan apa yang ditulis majalah Time—majalah ini mengutip dokumen CIA. Polisi kemudian memeriksa Ba'asyir atas dasar keterangan Al-Faruq, ditambah sejumlah keterangan para saksi, laporan intelijen, dan bukti lainnya. Ba'asyir di atas kursi rodanya langsung disodori dua buah surat oleh Jeldi Ramadhan. Surat dengan kepala "Mabes Polri" itu berperihal pencabutan pembantaran—keterangan bahwa Ba'asyir tidak bisa diperiksa karena sakit. Anehnya, isi surat justru berisi perintah pelaksanaan pembantaran. "Jelas saya tolak," kata Achmad Michdan, anggota tim pengacara Ba'asyir, yang saat itu ada dalam ruangan. Surat kedua sama janggalnya. Hal yang disebutkan adalah penahanan lanjutan Ba'asyir, tapi isinya justru surat perintah penahanan. Padahal surat penahanan dari Solo bertanggal 20 Oktober hingga 8 November alias masih berlaku. "Ini jelas kacau," ujar Michdan. Tapi, menurut Komisaris Besar Polisi Prasetyo, Kepala Bidang Penerangan Kepolisian RI, surat kedua itu adalah surat penahanan resmi untuk Ba'asyir. Satu per satu pertanyaan pun mulai dilontarkan polisi kepada Ba'asyir. Namun, setelah 12 pertanyaan dilansir—dari 50 yang disiapkan—tim pengacara Ba'asyir sadar bahwa polisi telah melakukan pemeriksaan. Ini tampak dari seorang polisi yang sibuk mengetik jawaban Ba'asyir pada komputer jinjing. Pertanyaan yang diajukan mulai dari aktivitas Ba'asyir di Gerakan Pemuda Islam Indonesia hingga apakah Ba'asyir pernah ke luar negeri atau tidak. Ba'asyir juga akhirnya sadar dirinya sudah diperiksa, padahal pihaknya masih ingin mengklarifikasi dua surat tersebut. "Saudara menjebak saya, ya," kata Ba'asyir kepada polisi. Selanjutnya ia membisu seribu bahasa. Polisi terus mendesak, Ba'asyir bergeming. Ia mengajukan tiga syarat untuk memulai lagi pemeriksaan. Pertama, Kepala Kepolisian RI—pekan lalu minta maaf kepada Rumah Sakit Muhammadiyah di Solo atas kerusakan yang terjadi dalam pemindahan Ba'asyir—minta maaf kepadanya dan umat Islam. Kedua, ia minta kepastian tidak diperiksa berdasarkan tekanan pihak asing. Ketiga, ia meminta penangguhan penahanan. Munarman, anggota pengacara Ba'asyir lainnya, membantah diamnya Ba'asyir sebagai bentuk pembangkangan. Ba'asyir, kata dia, sudah menjawab beberapa pertanyaan. Kalau polisi merasa punya bukti yang kuat, sebaiknya langsung ke pengadilan. "Diam itu tak ada masalah dalam hukum," kata Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia ini. Ahli hukum pidana Universitas Indonesia, Harkristuti Harkrisnowo, juga mengatakan tidak ada konsekuensi yuridis yang diakibatkan oleh aksi diam Ba'asyir ini. Lagi pula, "Siapa tahu saja permintaan (Ba'asyir) untuk menghadirkan Al-Faruq itu dipenuhi polisi," kata dia. Yang aneh, kata Harkristuti, justru tiga syarat oleh Ba'asyir itu. Dalam hukum, tawar-menawar tidak dikenal, kecuali di pengadilan. Jadi, apa yang akan dilakukan polisi? Komisaris Besar Polisi Prasetyo menegaskan pihaknya akan terus memberkas Ba'asyir walaupun baru mengajukan tiga pertanyaan—menurut pengacara Ba'asyir, sudah 12 pertanyaan dilontarkan. "Kita tetap akan melanjutkan kasus ini. Segera kami limpahkan ke kejaksaan," ujar Prasetyo. Fajar W.H., Tomi Lebang, Imron Rosyid (Solo)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus