Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TENGAH malam, 18 Januari 1984, Stephen Douglas Kerr menerima kabar pedih: Malcolm, ayahnya, tewas ditembak teroris di Beirut, Libanon. "Kabar itu menghantam Steve dengan keras dan mendorongnya keluar ke jalanan Tucson, Arizona. Dia tidak berhenti berlari," tulis Susan Kerr, kakak Steve, dalam bukunya yang berjudul One Family's Response to Terrorism: A Daughter's Memoir.
Dua hari kemudian, Steve, saat itu mahasiswa tingkat pertama University of Arizona, sudah berada dalam kondisi siap menjalani pertandingan bola basket membela tim kampusnya. Dia memang sempat menitikkan air mata selama momen hening sebagai bentuk penghormatan kepada ayahnya-seorang akademikus ternama Amerika Serikat di bidang relasi politik negara-negara Arab. Tapi Steve tetap bisa menjalani pertandingan dengan baik. Dia mencetak lima dari tujuh percobaan tembakan dan membawa timnya memenangi pertandingan.
Empat tahun kemudian, Steve kembali menangis sesaat sebelum pertandingan dimulai. Penyebabnya kali ini adalah ejekan kejam beberapa fan lawan: "Mana ayahmu? Sana, kembali ke Beirut!"
Saat itu Steve sedang menjalani pemanasan bersama timnya. Dia kemudian membuang bolanya, duduk di bangku pemain, dan menangis. Tapi itu tidak berarti dia ciut. Dalam pertandingan malam itu, Steve menyumbangkan 22 poin. Dia juga mencetak enam tembakan tiga angka berturut-turut dan membawa timnya memenangi pertandingan. "Jelas bahwa mereka membuat saya memainkan permainan terbaik saya," kata Steve malam itu.
"Itulah Steve," ucap Andrew, adiknya. "Alih-alih mengejar idiot-idiot itu, dia menghancurkan malam mereka dengan memenangi pertandingan."
Steve tahu bagaimana menghadapi sebuah situasi dengan baik. Latar belakang inilah yang diyakini beberapa pengamat sebagai salah satu faktor di balik kesuksesannya dua dekade lebih kemudian. Steve Kerr berhasil membawa tim Golden State Warriors menjuarai kompetisi bola basket Amerika Serikat (NBA) pada tahun pertamanya sebagai pelatih kepala. Dia mengakhiri penantian 40 tahun tim asal Oakland, California, itu.
Kerr datang ke Oakland, Mei tahun lalu, saat kondisi Golden State Warriors sedang tak stabil. Pemilik klub, Joseph Steven Lacob, memecat Mark Jackson, pelatih yang sebelumnya memimpin Warriors sejak 2011. Lacob merasa sikap Jackson sudah tak sesuai lagi dengan visinya. Sedangkan para pemain andalan Warriors, Stephen Curry, Andre Iguodala, dan Draymond Green, sempat menyatakan dukungan mereka secara terbuka terhadap Jackson. Mereka memohon agar Jackson dipertahankan.
Kerr tampaknya peka terhadap situasi sensitif di Warriors. Dalam salah satu sesi latihan pada awal musim, Curry bertanya apakah mereka bisa mempertahankan yel yang dibuat pada zaman Jackson: "Just us". Kerr langsung menyetujuinya. "Ini tim kalian, bukan tim saya," ujarnya. "Tugas saya adalah membangun dari apa yang sudah ada. Bukan merobohkannya."
Pendekatan ke tiap pribadi pun dijalankan Kerr untuk membangun kepercayaan di antara dirinya dan anggota tim. Harrison Barnes, salah seorang pemain, mengaku terkejut saat Kerr menghubunginya, Mei tahun lalu. Kerr berkata dia ingin bertemu di mana pun Barnes berada. "Itu luar biasa-memiliki komitmen untuk terbang dan menemui pemain," kata Barnes, yang saat itu ada di Miami. "Akan lebih mudah buatnya untuk bertemu dengan Steph (Curry) dan menelepon orang-orang lain."
Barnes, 22 tahun, adalah pemain forward berbakat. Tapi dia baru saja menyelesaikan musim yang buruk. Kerr datang untuk memberinya tujuan baru. "Tahun lalu, kamu tidak digunakan dengan baik sesuai dengan potensimu. Tapi, jika kami percaya pada apa yang kami katakan, kamu memiliki kesempatan untuk sukses," tutur Barnes menirukan Kerr.
Begitulah, selama beberapa pekan sejak Mei itu, Kerr bertemu dengan sejumlah pemain. Dia bahkan sampai pergi ke Australia untuk menemui Andrew Bogut. Apa yang ia lakukan dalam pertemuan-pertemuan itu sama dengan yang dia terapkan pada Barnes: mempresentasikan visinya mengenai pemain tersebut dan bagaimana cara mencapainya. Kerr mendapatkan respons positif.
"Dia ditakdirkan menjadi pelatih," kata Klay Thompson, shooting guard Warriors. "Ini terlihat dari sikap tenangnya. Dia memiliki cara yang benar-benar bagus dalam menghadapi orang-orang."
Steve Kerr juga orang yang percaya bahwa kesenangan bisa membawa motivasi. Itulah sebabnya, di markas Warriors, musik-musik 1990-an diputar selama sesi latihan. Asisten Kerr yang bertugas menganalisis video lawan, Nick U'Ren, juga menyelipkan kartun-kartun lucu di sesi-sesi menonton video timnya. Asisten-asisten Kerr yang lain juga dengan sukarela menceritakan momen memalukan mereka untuk ditertawakan dan dijadikan bahan pelajaran.
Kerr mengatakan cara menangani orang-orang yang ia terapkan di Warriors ini berutang pada didikan sang ayah, yang karena tuntutan tugasnya harus tinggal di beberapa negara Arab selama berkarier sebagai peneliti dan pengajar. Steve sempat ikut tinggal bersama Malcolm di Libanon dan Mesir sebelum kembali ke Amerika Serikat untuk menempuh pendidikan sekolah menengah atas.
"Orang tua saya secara nyata menunjukkan kepada saya sebuah dunia yang ada di balik budaya khas Amerika Serikat. Mereka memberi saya sebuah pendidikan soal bagaimana mengerti orang lain, bersimpati terhadap mereka, dan bersikap hormat," ujar Kerr. "Mereka mengajari saya bahwa orang-orang bisa berbicara atau berpakaian secara berbeda atau memiliki kebiasaan dan kepercayaan yang asing bagi saya. Sangat penting untuk tidak hanya mengerti perbedaan itu, tapi juga merengkuhnya."
Ini tidak berarti bersimpati kepada orang adalah satu-satunya cara yang diketahui Kerr untuk meraih respek. Pertemuannya dengan pemain legendaris Michael Jordan adalah salah satu contoh. Kisah itu terjadi pada musim gugur 1995, saat Kerr baru bergabung dengan Chicago Bulls dan Jordan baru kembali dari masa pensiun sementara.
Jordan terkenal memiliki kebiasaan mengintimidasi rekan-rekan setimnya di sesi latihan. Suatu hari dia mencoba mem-bully Kerr, tapi pria kurus itu melawan. Pertarungan yang tak seimbang terjadi. Hasilnya: salah satu lingkar mata Kerr lebam.
Keesokan harinya, Jordan meminta maaf. Tapi yang terpenting adalah kejadian itu memunculkan rasa hormat terhadap Kerr. "Sejak saat itu, saya selalu menghormatinya," kata Jordan. "Dia tidak menyerah. Dia melawan balik. Mungkin dialah yang mendapat akibat paling buruk dari pertengkaran itu, tapi saya menghormatinya. Seratus persen."
Inilah mengapa kolumnis ESPN, Ian O'Connor, yakin: di balik sikap simpatik Steve Kerr, terdapat mental yang liat. "Kerr akan menghadapi tantangan baru ini sebagai seorang penggiling, pengejar kesuksesan, dan orang yang berhasil keluar dari kungkungan tragedi. Dia bisa berhasil atau gagal sebagai pelatih Golden State," tulis O'Connor, sebelum Kerr memastikan timnya menjadi juara. "Tapi satu hal sudah jelas: dia tidak akan takut mengalami dua hal itu."
Gadi Makitan (ESPN, Sports Illustrated)
STEVE KERR
Tempat dan tanggal lahir: Beirut, Libanon, 27 September 1965
Karier sebagai pemain:
Karier setelah pensiun sebagai pemain:
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo