Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teknologi & Inovasi

Menguak Iklim Purba Towuti

Penelitian di Danau Towuti bertujuan mengungkap data iklim purba di Indonesia bagian tengah.

29 Juni 2015 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SAMBIL berlumur lumpur dan air, tim peneliti terus melesakkan mata bor ke dasar Danau Towuti di Sulawesi Selatan. Siang itu, akhir bulan lalu, setelah bekerja keras selama sepekan, bor mencapai kedalaman 100 meter. Tapi tim masih harus menembus dasar danau lebih dalam, lapis demi lapis, untuk mencapai kedalaman 200 meter, sesuai dengan titik target yang direncanakan.

Bergiliran, kelompok peneliti gabungan dari Indonesia, Amerika Serikat, Jerman, Swiss, dan Kanada itu mengebor di tiga lokasi berbeda di danau. Dari ketiga titik tersebut, tim wajib mengumpulkan sampel sedimen endapan lumpur, drilling core, setinggi 150 meter. Sampel inilah yang nantinya akan dijadikan bahan penelitian untuk menguak sejarah iklim lingkungan Sulawesi pada ratusan ribu tahun lalu.

"Fakta itu tergambar dari tiap sentimeter sedimen yang diambil," kata Hendrik Vogel, anggota penelitian dari University of Bern, Swiss, kepada Tempo, di lokasi pengeboran.

Danau Towuti terletak di Kecamatan Sorowako, Kabupaten Luwu Timur. Tak jauh dari danau, didirikan Researcher House yang merangkap sebagai laboratorium lapangan tim yang dipimpin James Russell dari Brown University itu. Di sinilah mereka mengevaluasi kegiatan pengeboran, setiap hari.

Bagi para pakar paleoklimatologi, istilah lain ilmu iklim purba, tiap lapisan sedimen dasar danau serupa dengan lembaran-lembaran buku sejarah. Tiap lapisannya menyimpan material yang dapat menceritakan bagaimana lingkungan sekitar danau terbentuk. "Tiap sentimeter sedimen biasanya menyimpan informasi dalam rentang 40-60 tahun yang lalu." Itu berarti, dari sampel yang dikumpulkan, tim dapat menguak perubahan iklim yang terjadi di Danau Towuti pada 600-900 ribu tahun silam.

Dengan kedalaman mencapai 500 meter lebih, Towuti merupakan danau purba terdalam se-Asia Tenggara. Endapan lumpur di dasar danau yang terbentuk dari proses tektonik ini pun tersusun rapi, sehingga mampu menghasilkan data yang baik.

Pada 2010, Russell dan beberapa peneliti lain pernah mengambil sampel sepanjang 10 meter dari danau seluas 561 kilometer persegi ini. Penelitian tersebut terbilang sederhana karena tak menggunakan alat bor besar seperti proyek kali ini. Meski begitu, sampel sederhana itu mampu menguak kondisi iklim pada 60 ribu tahun lalu dan melahirkan tiga kajian ilmiah. Salah satunya studi yang ditulis Russell.

Dalam jurnal PNAS edisi 8 April 2014, dia membeberkan proses pergerakan sungai es di Indonesia bagian tengah pada 60 ribu tahun lalu. Dia berpendapat arus musim hangat Indo-Pasifik di sekitar perairan Indonesia memainkan peran dalam perubahan iklim global. "Arus ini memaksa masuk ke wilayah perairan lain," tulis dia.

Intervensi arus Indo-Pasifik itu terlihat dari bergesernya permukaan dan vegetasi tumbuhan di Danau Towuti. Kondisi ini, Russell menjelaskan, terus berlangsung sampai Zaman Holosen pada 33-16 ribu tahun lalu.

Pada saat yang sama, lempengan es di belahan bumi utara sedang menyebar dan mendinginkan wilayah sekitarnya. Intervensi tersebut pun mempercepat proses pencairan es dan memunculkan dua gejala musim berbeda di zona yang seharusnya sedang mengalami musim dingin.

Studi lain dikerjakan Gerald Tamuntuan, peneliti paleoklimatologi dari Universitas Sam Ratulangi, Manado. Penelitian yang diterbitkan dalam jurnal Palaeogeography, Palaeoclimatology, Palaeoecology edisi 12 Desember 2014 itu menguak tentang pergerakan kerak samudra dari sedimen dasar Danau Towuti. Studinya menggunakan sinar-X untuk memindai proses variasi pergerakan kerak yang menggambarkan perubahan iklim.

Hasilnya, tulis pria yang kali ini juga tergabung dalam penelitian itu, "Pergerakan terjadi di tiga zona." Yakni: Zona I dari lapisan sedimen paling dasar menggambarkan kondisi basah, Zona II dari sedimen lapisan tengah menggambarkan tingkat kekeringan yang tinggi, dan Zona III dari lapisan sedimen paling atas menggambarkan kembalinya kondisi kering di sekitar Towuti.

Russell percaya masih banyak misteri yang belum terungkap dari Danau Towuti. Karena itulah, dia berkukuh, "Pengambilan sampel sedimen di Towuti kali ini menjadi penting." Danau ini menjadi situs penelitian paleoklimatologi tropis pertama di Asia. Sebelumnya, ada penelitian serupa di Afrika. Hanya, menurut dia, kondisi tropis Benua Hitam tersebut sangat jauh berbeda dengan iklim sekitar Indonesia.

Selama ini, menurut Russell, tingkat curah hujan dan temperatur suhu Indonesia memang sangat berperan dalam perubahan iklim dunia dari masa ke masa. Lebih dari separuh uap panas air dunia berembus dari Indonesia-Australia monsoon—arus musim hangat Indonesia-Australia—ke belahan bumi utara. Itu terjadi karena perairan di sekitar dua negara tersebut lebih hangat ketimbang perairan di belahan dunia lain.

Sayangnya, data mengenai perubahan iklim tersebut masih amat minim. Catatan tertua hanya dari arsip pemerintah kolonial pada abad ke-19.

Pekerjaan Russell dan timnya sepanjang Mei-Juni ini berusaha menambal kekurangan tersebut. Basis penelitian ini terdiri atas tiga variabel, yaitu fisika, biologi, dan kimia. Satrio Adi Wicaksono, anggota penelitian dan mahasiswa doktoral di Brown University, menambahkan, semua variabel tersebut dipercaya menyimpan hampir semua informasi tentang perubahan iklim yang ada.

Dari perubahan kimia, misalnya, akan terungkap proses sedimentasi awal dan tingkat curah hujan yang ada. Dari variabel biologi akan diketahui bagaimana ekosistem lingkungan berkembang. "Penelitiannya memang kompleks, tapi akan membawa hasil yang signifikan untuk model prediksi iklim masa depan," ucap Satrio.

Pada tahap akhir pengambilan sampel sedimen, mata bor akan diangkat. Sampel yang sudah didapat kemudian diperkecil lagi menjadi ukuran 1,5 meter. Kemudian, di Researcher House, tim melakukan analisis awal mengenai kerentanan magnetik sedimen, berat-jenis sedimen, dan kandungan biota mikro yang terkandung dalam sampel. Setelah itu, semua sampel akan diterbangkan ke Amerika Serikat untuk diteliti lebih mendalam dari berbagai macam bidang.

Satrio optimistis pengeboran kali ini akan menghasilkan kajian ilmiah lebih banyak daripada sebelumnya. "Lebih kompleks dan lebih mendetail."

* * * *

SEJARAH perubahan iklim dan lingkungan di suatu wilayah ternyata tidak hanya dapat terungkap melalui sedimentasi dasar danau. Menurut Sri Yudawati Cahyarini, peneliti di Pusat Penelitian Geoteknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, ada dua data yang dapat digunakan untuk menguak sejarah iklim masa lampau, yakni sedimen dan karang dari suatu daerah.

"Tiap data memang memiliki kekurangan dan kelebihan," ujarnya saat ditemui di kantornya di Bandung, Jawa Barat. Sampel sedimen, kata Sri, dapat memberikan rentang waktu yang panjang sampai ratusan ribu tahun. Pengendapan sedimen, dia menjelaskan, merupakan proses yang terus-menerus dan tak pernah berhenti. Tak ayal, sedimen sering kali dipakai untuk mencari tahu proses dinamika iklim suatu wilayah dari masa ke masa.

Bukan hanya sedimen dasar danau, melainkan juga sedimen dari dasar laut. Namun endapan lumpur dari dasar laut biasanya pernah mengalami pergerakan yang amat tak terprediksi karena arus laut. Jadi, "Proses analisisnya akan lebih rumit untuk menghindari kesalahan analisis." Sedangkan sampel karang, menurut Sri, hanya mampu menguak sejarah iklim dalam kurun ribuan tahun.

Metode pengungkapan sejarah iklim terbilang rumit. Singkatnya, sampel yang sudah diambil lalu dipindai untuk melihat resolusi detail sampel. Tujuannya untuk melihat kecepatan pengendapan sedimentasi atau pertumbuhan karang. "Dari ketebalan dan proses pertumbuhan tersebut, baru dapat dianalisis dinamika iklim yang terjadi," tutur Marfasran Hendrizan, peneliti geologi kelautan LIPI.

Dari resolusi tersebut, kata dia, didapat beberapa parameter iklim: temperatur, curah hujan, dan kadar garam. Ketiga parameter ini pun lantas dikombinasikan dengan kondisi kekinian. "Baru muncul kesimpulan tentang dinamika perubahan musim dari suatu rentang tahun dalam satu wilayah," ujar Marfrasan.

Keduanya sepakat bahwa iklim di Indonesia memiliki peran dalam perubahan iklim dunia. Pemahaman yang tepat mengenai sejarah iklim akan membantu prediksi iklim di masa mendatang dan mencari solusi untuk berbagi sektor, seperti pangan.

Marfrasan menganggap penelitian di Danau Towuti dapat menambal data iklim di Indonesia tengah yang masih sangat minim. Sedangkan Sri berkeyakinan studi Russell dan timnya juga mampu mengungkap proses pembentukan daratan Nusantara berdasarkan iklim darat dan laut.

Amri Mahbub, Gabriel Wahyu Titiyoga (Luwu Timur)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus