EVI Riana Sari, 20 tahun, dan Eva Yusuf 17 tahun, kini merasa bebas. Kakak beradik pembalap sepeda putri Indonesia yang dipersiapkan untuk SEA Games XIV Jakarta itu sudah berketetapan hati: angkat kaki dari Senayan, mengundurkan diri dari Pelatnas. Pengunduran diri ini -- juga dua lainnya, Netty Yahya dan Maryati -- kontan membikin repot Pengurus Besar (PB) Ikatan Sport Sepeda Indonesia (ISSI). Maklum, SEA Games tinggal dua pekan lagi. PB sendiri memang sudah menilai, mereka melanggar disiplin latihan, dan tak mampu mengikuti program latihan yang diberikan pelatih. Beban latihan terlampau berat? "Kok pembalap lainnya tak mengeluh? Cuma mereka saja mencari-cari alasan," kata pelatih putri, Aming Priatna. Pembalap Pelatnas, Rida Farida, yang tak ikut mundur juga sependapat. "Dalam latihan, mereka selalu tertinggal di belakang, lalu mencari alasan yang bukan-bukan untuk mundur," kata Rida keras. Tapi empat putri yang mundur itu menyebut telah terjadi pilih kasih selama latihan. Namun, Aming menampik. "Saya tak bisa terus mengawasi orang yang selalu tertinggal," katanya tegas. Ia juga harus memperhatikan dua pembalap lainnya: Rida dan Rochayati. Lagi pula, kata Aming, porsi latihan yang diterapkannya sebenarnya masih tergolong ringan. Setiap hari cuma dua jam. "Pembalap putri Jepang, Korea, dan Cina rata-rata berlatih enam jam sehari," katanya lagi. Tampaknya, bagi Evi, persoalannya bukan cuma pilih kasih itu. Ia punya keresahan lain. Yakni soal foto yang konon diambil tanpa sengaja oleh seorang pelatih ketika Evi keluar dari kamar mandi. Sekretaris Umum PB ISSI, Donny Prasetya, menyayangkan, soal yang katanya sudah dianggap selesai itu dimunculkan lagi. Kejadian tak sedap itu muncul sekitar Mei lalu, dalam bulan Puasa, ketika tim Pelatnas berlatih di Bandung untuk Kejuaraan Asia di Jakarta bulan lalu. Mereka menginap di Wisma Borobudur, Bandung. Menurut cerita pengurus, Evi suatu saat keluar dari kamar mandi, dan seorang asisten pelatih yang kebetulan membawa kamera segera menjepret Evi. Hasil foto oleh pemotret itu diserahkan kepada Evi sembari minta maaf, dan Evi maupun orangtuanya, kata cerita pengurus, sudah memaafkan. "Kok tiba-tiba masalahnya diungkit-ungkit lagi. Kita tak mau memperpanjang, ada maksud tak baik pada mereka," kata Donny Prasetya. Ketua Komtek PB ISSI, Denny Gumulya, yang juga pengurus klub Tunas Inti, mengancam akan segera memecat Eva dan Evi dari klub itu. Juga, mencabut fasilitas beasiswa Evi. "Tak apa, cabut saja beasiswa saya. Pecat saja saya," kata Evi tak kalah keras. "Saya tak pernah mempermasalahkan foto itu lagi. Juga, tak pernah memperbanyak dan menyebarkan seperti yang dibilang pelatih," kata Evi lagi. Foto itu, kata Evi, sengaja dibuat si pelatih dengan menjepretkan kamera saat ia berada di dalam kamar mandi. "Ketika itu saya minta ember, eh tiba-tiba saya lihat sudah ada kamera di pintu yang terbuka. Waktu tahu itu pelatih saya, saya langsung menyembunyikan muka," kata Evi sembari merekonstruksikan kejadian itu. Di foto itu, muka Evi memang tersembunyi di balik handuk yang menggantung, dadanya terbuka. Lalu, ada apa dengan sang pelatih yang memotret Evi? Evi tersenyum malu-malu. "Sudah tiga kali ia menyatakan cinta, tapi saya tak mau," katanya lirih. Prestasinya menurun? "Bagaimana mau bagus kalau tiap hari dibilang goblok, bego, dan segala macam? Mau latihan juga sudah jengkel," kata Eva, siswi kelas tiga SMA Bina Pangudi Luhur, Jakarta. "Saya selalu nyeri di rusuk kalau kecepatan mulai tinggi, tapi pelatih tak mau percaya. Saya dipaksa latihan di Bogor dan Cisarua. Saya cuma mau berobat dulu, bukan menolak jatah latihan," tutur Evi. Sudah berbagai cedera dialami kakak-beradik ini sejak masuk Pelatnas Februari silam. "Saya pernah jatuh dari sepeda dan persendian di bahu melesat. Eva juga pernah ketabrak teman sendiri waktu jatuh latihan," tutur Evi getir. Mereka tampaknya patah arang. "Saya ingin sekolah saja biar punya modal ilmu. Saya mau istirahat panjang dari balap sepeda," tutur Evi lagi. T.H. dan R.N.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini