BERIKUT ini dari lomba di LIPI Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Bagaimana membuat tempe lebih cepat, agar segera dijual? Oka Karyanto, siswa SMAN III, Semarang, menemukan Jawabannya. Yaitu dengan merebus bahan mentah tempe, yakni kedelai, terlebih dahulu. Hasilnya, menghemat waktu 10 jam: peragian yang biasa berlangsung 36 jam, susut menjadi hanya 26 jam. Sementara itu, tambahan waktu untuk merebus cuma sekitar 20 menit. Karena itulah, Sabtu pekan lalu, Oka, 18 tahun, dinyatakan sebagai juara pertama Lomba Karya Ilmiah LIPI-TVRI bidang Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Dewan juri memuji cara Eko membuat tempe, yang, "manfaatnya bisa langsung dirasakan masyarakat awam," kata Dr. Mien Rifai, salah seorang juri. Oka dianggap punya ide orisinil. Dalam lomba ilmu pengetahuan untuk remaja kadar gagasan asli memang dianggap penting -- lebih dari unsur lain yang juga dinilai, motivasi, kreativitas, pengetahuan umum, kelengkapan, dan penyajian bahasa. Sebab, para ilmuwan remaja tentu tak bisa dituntut menghasilkan penelitian dengan mtode sempurna. Keorisinilan pilihan bidang yang digarap dianggap mencerminkan tingginya apresiasi siswa terhadap ilmu pengetahuan. Dengan kriteria itu, banyak karya peserta yang tersingkir. Menurut Mien Rifai, Peneliti Utama Pusat Penelitian dan Pengembangan Biologi, "Banyak karya yang rapi, tapi mengesankan bukan pemikiran asli siswa." Ia menduga, itu akibat terlalu banyaknya campur tangan guru. Padahal, para pengajar seyogyanya hanya menjadi tempat bertanya, bukannya ikut campur. Di bidang Ilmu pengetahuan teknik, Sidiq Handono, 20, dinilai punya keorisinilan dengan perangkat alat elektronik ciptaannya. Yakni, peralatan untuk melacak pemancar gelap. Menurut mahasiswa Sekolah Tinggi Teknologi Ahmad Yani, Cimahi, Jawa Barat, ini, karyanya merupakan "balas dendam". Tahun lalu ia penasaran, "karena hanya menjadi finalis, dan tidak menang," tuturnya. Karena ia juga anggota ORARI, Organisasi Radio Amatir Republik Indonesia, mungkin karyanya ini boleh disebut merupakan "kewajiban". Ia memang membuat alat pencari pemancar gelap dengan niat membersihkan jalur komunikasi yang sering dicemari oleh pemancar-pemancar gelap. Di kota Bandung, katanya, sedikitnya ada 40 ribu pemancar. Yang punya izin, menurut taksiran Sidiq, hanya kira-kira sepertiga. Untuk alatnya ini, disebut "Komputer Pelacak Pemancar", Sidiq harus mengeluarkan biaya sekitar Rp 600.000. Setelah tahu ia menang, ia bersyukur, uangnya habis tak percuma. "Saya bahagia sekali. Hitung-hitung, membantu program Pemerintah," kata Sidiq. Alatnya itu sendiri berwujud seperti komputer lazimnya, lengkap dengan keyboard dan layar monitor. Cuma ada tambahannya: antena. Bila komputer pencari ini dioperasikan di suatu kawasan yang diduga ada pemasang pemancar gelapnya, dalam hitungan detik, pemancar itu segera terpantau dalam layar monitor. Lalu dengan mudah dicari dan ditentukan posisi pemancar tersebut. Ini tentu bukan sekadar "kecap" Sidiq, karena dewan juri pun memuji dia. Yang menarik dari lomba di LIPI ini, dewan juri, setidaknya Mien Rifai, menangkap gejala baru. Para siswa peserta lomba, katanya, sebagian besar mengesankan bahwa ilmu mereka terkotak-kotak. Maksud Mien, siswa jurusan Biologi, ketika diuji tentang Kimia, gelagapan. "Padahal, antara satu ilmu dengan ilmu lain saling terintegrasi. Tidak bisa dipilah-pilah," tutur juri itu. Ahli ini juga menyayangkan adanya upaya menformalkan karya ilmiah, sehingga cenderung stereotip. Maksudnya, "Sebagian karya remaja ini memakai metode penulisan mirip skripsi." Ini yang tidak diinginkan. Sebab, penulisan skripsi cenderung kering. Memang, bila dibaca, sekilas mengesankan bahwa karya itu ilmiah. Tapi segera tercium ketidakmatangannya. Menurut Mien, lebih baik remaja, "bebas mengemukakan ide dengan bahasa remaja pula." Memang, lomba untuk remaja ini lebih ditujukan membentuk sikap dan minat ilmiah -- bukan melihat hasil. Meningkatnya semangat remaja merengkuh ilmu, itu yang diharapkan. Yusroni Henridewanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini