Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Kancil yang cerdik dan pemancar AM

22 finalis lomba penelitian ilmiah remaja menampilkan karya-karya, antara lain, nurhasnah mengenai binatang kancil, arief nazaruddin tentang pemancar am, riza agustina tentang ikan bandeng, dll.

22 Agustus 1987 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KANCIL yang pura-pura mati ketika mau disembelih pak tam bukan cuma ada dalam dongeng. Nurhasnah, siswi SMPN Natam, Aceh Tenggara, tahu persis soal itu. Tapi bila dalam dongeng akhirnya si kancil selamat, tak jadi disembelih, kenyataan sehari-hari di Natam lain lagi. Para pemburu tak bisa kena kibul, malah sebaliknya. Pemburuan kancil biasanya di malam hari. Begitu lampu senter pemburu menyala, kancil kaget sebentar, lalu langsung mempraktekkan akalnya: menggeletakkan diri, menjulurkan kaki dan lidahnya -- pura-pura mati. Tapi ketika itu pula si pemburu lalu berceloteh dalam bahasa setempat, yang masudnya, "Waduh, sial, sial, kita tak dapat rezeki. Kancil-kancil sudah mati, mari kita masukkan ke goni untuk dibuang ke kali, supaya tempat kita ini tidak bau." Entah karena memahami kata-kata itu, terus saja hewan mungil itu tak bergerak. "Maka, gampang sekali pemburu itu menangkap kancil dan memasukkannya ke goni," tulis Nur dalam karyanya yang pekan lalu dinyatakan memenangkan hadiah harapan. Celakanya, bukan ke kali kancil dibuang, tapi ke alam baka: disembelih -- begitulah laporan Nur, salah seorang dari 22 finalis Lomba Penelitian Ilmiah Remaja Departemen P & K tahun ini. Sebagai cerita, karya Nur tersebut oleh Prof. Dr. Andi Hakim Nasoetion dinilai unik dan enak dibaca. Bukan sekadar cerita kancil, tapi ada pula dicantumkan doa-doa pemburu. Juga, pengamatannya dianggap cermat. Misalnya, ia tahu justru kancil yang "tidak pintar" malah sering selamat. Yakni kancil yang lagi mengandung, yang tak mau pura-pura mati. Tapi begitu terkena lampu senter pemburu, langsung lari. Bila Nur cuma mendapatkan hadiah harapan, sebagai peneliti ia kurang lengkap mempelajari kancilnya. Umpamanya, ia tak bisa menjawab pertanyaan juri, berapa populasi kancil di hutan lindung Aceh Tenggara bagaimana membedakan kancil betina dan jantan berapa banyak jenis kancil. Ini mengingatkan Lomba pada 1982. Waktu itu, juga seorang siswi SMP mengajukan penelitian tentang masalah sehari-hari di lingkungannya: mengapa undur-undur jalannya mundur. Tapi peneliti undur-undur lebih siap membekali dirinya dengan sejumlah pengetahuan tentang undur-undur, hingga ia menjadi pemenang kedua. Menurunkah peserta lomba kini? "Dibandingkan dengan tahun lalu, memang merosot," kata Andi Hakim pula. "Rata-rata laporan tak jelas permasalahannya, tak urut, dan bahasanya kacau." Juri yang lain, dr. Kartono Mohamad, sependapat. "Misalkan ada nilai A, B, dan C, kali ini tak ada nilai A dan B. Rata-rata C," katanya. Sejak pertama kali diadakan, 1977, lomba ini tak memilih pemenang menurut kelompok ilmu. Akibatnya, penelitian bidang sosial-budaya belum pernah menjadi pemenang pertama. Penelitian sosial tampaknya mudah "kalah", karena masalahnya lebih abstrak dibandingkan dengan bidang eksakta. Sekarang pun pemenang pertama adalah Arief Nazaruddin Yusuf, dengan karya elektroniknya. Pelajar kelas II SMA Negeri III Malang ini rupanya gemar mendengarkan radio. Lalu ia berpikir-pikir, mengapa pemancar AM tak sebagus FM. Mungkinkah membuat AM menyamai FM? Dengan metode yang disebut Pulse Code Modulation, ia bisa membuat pemancar dan penerima gelombang AM lebih bersih dan jelas. "Siaran FM terbaik kualitasnya, sementara siaran AM suara bas dan trebelnya kurang muncul," kata Arief, 16 tahun, yang menghabiskan Rp 30.000 untuk percobaannya. Sesungguhnya percobaan macam ini bukan hal sulit. Kini majalah-majalah elektronika mudah didapat, dan soal membikin pemancar itu mudah. Bila Arief menang, oleh karena gagasannya tergolong orisinil dan muncul dari hidup sehari-hari. Untuk itu, ia membawa pulang hliah Rp 500.000. Adalah Riza Agustira yang tak suka makan bandeng. Kata siswi Kelas III SMA Muhammadiyah I Gresik, Jawa Timur, ini, "Karena bandeng hasil tambak berasa lumpur." Lalu ia terdorong melakukan riset mengapa ada rasa lumpur pada bandeng. Tak enak juga tinggal di daerah penghasil bandeng tapi tak doyan bandeng. Karyanya Budidaya Ikan Bandeng Air Tawar, akhirnya meraih hadiah III. Hasil penelitian Riza dan dua kawannya, rasa lumpur berasal dari habitat bandeng. Yakni tambak air tawar. Kurangnya kadar Ca dan Cl pada tambak itu dibandingkan tambak biasa yang di pinggir laut, itulah sebabnya. Maka, untuk menghilangkan rasa itu, kadar Ca dan Cl mesti dinaikkan. Caranya, bandeng direndam dalam air kapur untuk meningkatkan Cl-nya, lalu direndam air garam untuk meninggikan Ca-nya. Riza berhasil, bandengnya bebas dari rasa lumpur. Tapi apakah pemenang III ini akan membelanjakan hadiah Rp 200.000-nya untuk makan bandeng? Dari sebelas kali lomba sejak 1977, bisa dilihat, dari bidang eksakta yang laris bidang Biologi. Tahun ini, umpamanya, 162 peserta menginmkan karya Biologi, kedua Pertanian (95 karya). Sebagai negara agraris, agaknya itu wajar. Tapi agak aneh Juga iarangnya penelitian dl bidang yang menyangkut lautan dan vulkanik -- padahal Indonesia negeri laut dan gunung berapi. Baru sekarang sebuah naskah hasil penelitian bledug, segara racun dan danau dengan air warna-warni, masuk finalis. R. Setyawan Hesti Wahyudi, 18 tahun, pelajar kelas III SMA Muhammadiyah I Klaten, entah bagaimana ceritanya, tertarik mengetahui keanehan alam Desa Ngramesan, Purwodadi, di pantai utara Jawa sekitar 160 km dari Klaten. Ketua Kelompok Ilmiah Remaja di sekolahnya ini membuat pengamatan, menuliskan karya, dan kemudian mengirimkannya ke Jakarta secara diam-diam. Maka, begitu datang surat dari penyelenggara lomba bahwa ia masuk final "Saya dipestakan di sekolah, dipotongkan kambing, dan diberi sangu Rp 50.000 untuk membeli karcis kereta api," tutur remaja tinggi yang wajahnya seperti tak pernah sedih itu. Penggemar buku silat ini meneliti bledug (sebidang tanah yang terus-menerus mengeluarkan lumpur dingin dan gas) di Kabupaten Purwodadi dalam dua tahap, Desember dan Juni yang lalu. Ini tentu karena pada saat itu ada libur sekolah. Ia teliti diameter kawah, suhu air, komposisi lumpur, letupan-letupan yang terjadi. Selama ini banyak yang menduga bahwa semua itu merupakan gejala vulkanik. Menurut penelitian Setyawan, "Bledug terjadi disebabkan mineral laut yang tertimbun lumpur yang kemudian mendapat tekanan dan suhu tinggi." Ini klop dengan sejarah geografis daerah itu. Yaitu dulunya kawasan itu adalah pantai. Itu pula penyebab munculnya danau kecil beracun, dan danau warna-warni. Meski dewan juri berpendapat bahwa lomba tahun ini merosot mutunya, tercatat hal yang jarang: sebuah penelitian sosial memenangkan gelar juara harapan. Iswantari, 17 tahun, siswi SMA Negeri I Sumbawa Besar, tertarik pada kehidupan suku Bajo di Pulau Bungin. "Suku Bajo bertahan sebagai nelayan yang miskin, hidup berdempet, berumah di laut. Ini mengherankan," kata Iswantari. Setelah tinggal beberapa hari di situ, ia menemukan semacam falsafah hidup yang dipegang teguh suku ini. Yakni sama ma dilao dan bagai tik'ka ma dara. Artinya, "lautan adalah milik kita", dan "daratan milik mereka". Bisa dimaklumi bila pihak Pemda selalu gagal membujuk suku Bajo agar tinggal di darat, yang lebih sehat. Iswantari punya usul, kalau ingin memindahkan perkampungan suku yang berjubel di atas laut ini ke darat, mereka harus diyakinkan bahwa hak orang laut dan orang darat adalah sama. Sesuatu yang lain dari lomba tahun ini dibandingkan yang lalu, pemenang pertama tak lagi diikutsertakan di kontes ilmuwan muda internasional, di Eropa. Bukan karena selama ini wakil Indonesia tak menunjukkan prestasi apa-apa, melainkan sponsor, PT Philips, mengundurkan diri. Konon, karena biaya. Itu soalnya bila kini Ketua Panitia Prof. Dr. Benny Suprapto, sehari-hari Direktur Pendidikan Menengah Umum, mencari hadiah pengganti yang menarik. Syukurlah, maksud lomba sebenarnya merangsang tumbuhnya cinta ilmu pengetahuan dan teknologi di kalangan remaja boleh dikata berhasil. Kini, bermunculan klub-klub ilmiah remaja bahkan sebuah tabloid, Mutiara, Jakarta, menyediakan beberapa halaman khusus menampung kegiatan bermanfaat ini. Putu Setia & Indrayati (Jakarta)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus