NAMA Utut Adianto sempat menghiasi koran-koran New York, antara lain The New York Times. Itu setelah pecatur Indonesia penyandang gelar grandmaster ini menjuarai New York Open, Ahad pekan lalu. Dalam turnamen yang diikuti 132 peserta itu 32 di antaranya bergelar GM dan enam orang GM super (ber-elo rating di atas 2600) Utut meraih nilai 7 MP. Nilai yang sama diraih GM Alexander Goldin (Rusia), GM Joel Benjamin (AS), GM Ferdinand Hellers (Swedia), GM Jaan Ehlvest (Estonia), GM Lev Alburt (AS), dan MI Illya Gurevich (AS). Tapi, dari perhitungan solkoff, Utut unggul sehingga dialah juaranya. Hadiah uang US$ 21.000 dibagi rata. Utut ke New York dibiayai klubnya, Makita All Star. Semula ia pesimistis, maklum elo rating-nya hanya 2490. ''Di Amerika, orang kan melihat saya kayak ayam sayur, yang tak perlu diperhatikan,'' katanya. Dari sembilan babak permainan, di babak keenam Utut melesat sendirian mengumpulkan nilai 5,5 MP. Sejak itu, ''Hasrat untuk menang terus menggebu,'' katanya. Tapi, di babak ketujuh, di hadapan GM Goldin, raja milik Utut terjungkal. Padahal ia mengaku sudah siap. Sekitar 2 jam sebelum bertanding, Utut dengan bekal laptop-nya sudah menganalisa permainan calon lawannya. ''Sekian puluh partainya, style-nya sudah saya pelajari,'' katanya. Toh, Utut kalah juga. Di babak kedelapan ia menang atas GM John Fedorowicz (AS), lalu remis melawan GM Joel Benjamin (AS). Sebelum turnamen ini, dua kali Utut dikalahkan Benjamin. Kombinasi permainan strategis dan taktis yang dilancarkan Utut ternyata belum membuahkan hasil. Toh akhirnya angka yang diraih Utut tertinggi juga. Utut bermain catur sejak usia 10 tahun. Dalam usia 14 tahun ia sudah menjadi runner-up dunia junior di Puerto Rico. Pada masa itu pecatur Inggris Nigel Short juga sudah merajai kalangan junior. Short, kini ber-elo rating 2685, adalah penantang juara dunia Garry Kasparov, yang ber-elo rating 2805. Pada tahun 1986, karier Utut menanjak. Ia menjadi GM termuda di Asia, sekaligus runner-up Olimpiade Catur di Dubai. Tahun 1987 ia juara di turnamen grandmaster Pan Pacific di San Francisco. Langkah-langkahnya sederhana tapi penuh jebakan. ''Style-nya mirip pecatur legendaris Bobby Fischer,'' komentar pecatur AS, Robert Burger. Utut sendiri kurang sependapat. Ia mengaku cenderung menyerupai pecatur Rusia, Karpov. Elo rating-nya pun melejit mencapai 2525. Tahun 1988 di Singapura, ia juara Asia Pasifik. ''Di Asia saya diperhitungkan,'' katanya. Tapi, setelah ayahnya sakit keras lalu meninggal (1989), Utut disibukkan dengan kerja. Prestasinya pun melorot. ''Saya kehilangan momentum,'' katanya. Elo rating-nya juga anjlok sampai 2470. Bahkan, di Kejuaraan Dunia Zone XII di Jakarta, Februari lalu, Utut hanya berada di urutan 67. Padahal dialah tulang punggung Indonesia untuk melangkah ke jenjang kejuaraan dunia. Kekalahan di kandang sendiri itu membuatnya frustrasi. Ia ingin mundur. Tapi Ketua Bidang Umum PB Percasi, Ir. Eka Wirya Putra, yang mengenal Utut sejak junior, mencoba menenteramkannya. Utut urung mundur. Di Klub Makita All Star, tempat berlatihnya sejak 1991, ia kembali tekun berlatih. Ia dibekali laptop yang bisa dipakai untuk menganalisa permainan catur. Lewat komputer mini berisi 83.000 partai terbaik dunia serta berbagai teori dan analisa pembukaan itu, ia bisa mempersiapkan pembukaan Catalan (putih) atau Carokan (hitam). ''Ibarat tentara mau perang, saya ini sudah disiapkan dengan duit, pelor, bedil, dan granat secara lengkap,'' kata Utut. Inilah pertama kalinya ia siap tempur secara komplet. Selain itu, Utut juga melengkapi diri dengan berlatih fisik: berjalan kaki menjelang turnamen. Dengan berat badan 70 kg (tinggi 165 cm), ia mengaku masih kelebihan berat. ''Tapi yang penting saya sudah bugar,'' katanya. Di New York, ia pun memperhatikan makanannya. ''Daging, saya hajar terus,'' katanya. Utut masih di New York. Oleh klubnya, ia diminta meninjau Sekolah Catur Manhattan, tempat Bobby Fischer pernah digodok. Ini langkah persiapan mendirikan sekolah catur di Jakarta, Juni nanti. Memang, bersama Eka Wirya dan dukungan Percasi, Utut akan membantu mendirikan Sekolah Catur Enerpac di Jakarta. Menurut Utut, kita sebenarnya gudang pecatur, tapi sayang belum terasah. Pecatur muda dari Madura, Erwin, misalnya, tahun 1989 menjadi juara dunia catur usia 10 tahun. Kalau dibimbing dengan tekun, tak mustahil ia bakal melejit seperti Nigel Short sang penantang dunia. ''Tapi saya ini, terus terang, setelah senior malah menjadi kelas kampung. Para junior memang harus dirangsang agar cepat melesat,'' kata Utut, yang kini berada di peringkat 150200 dunia. Padahal dulu ia pernah di peringkat 94 dunia. Dengan kemenangannya di New York itu, Utut akan memperoleh tambahan elo rating 2530. Dan ia berambisi menaikkan elo ratingnya menjadi 2600. Punya cita-cita menjadi penantang dunia? ''Realistis saja. Paling top 10 besar saja. Itu pun berat. Apalagi saya sudah menikah. Saya ini ibarat ayam aduan yang sudah sering di-pendel. Kepala sudah pada botak, dan sudah harus dipotong, tapi masih diadu terus karena nyalinya gede,'' kata Utut sambil tertawa. Adakah ini awal kebangkitan Utut? Bisa jadi. Sebab, dalam catur, ada istilah ''angin kedua''. Itu dialami Nigel Short. Pada usia 20 tahun, Short prestasinya melejit, tapi kemudian melorot. Ia baru bangkit kembali pada usia 24 tahun. Utut, yang kini 28 tahun, masih menjanjikan. Ada tiga turnamen lain yang akan diikutinya, di Karibia, Swiss, dan Belanda. Widi Yarmanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini