SURADI, pensiunan pegawai Kantor Departemen Tenaga Kerja Semarang, pada Juni 1992 terguncang jiwanya. Ia terpukul menyaksikan anak ketiganya pulang ke rumah setelah beberapa bulan menjalani pendidikan Sekolah Bintara Polisi. ''Anak saya gagal menjadi polisi karena ada yang memfitnah saya terlibat G-30-S PKI. Padahal saya tak pernah terlibat organisasi terlarang itu,'' tegas Suradi. Untuk membuktikan ia tidak terlibat PKI, Suradi mencoba mengupayakan surat keterangan ke kantor Kelurahan Jangli, Semarang. Namun alangkah terkejutnya ia, ketika menerima surat keterangan dari Yusuf Soejitno, Kepala Kelurahan Jangli (nomor 201/06 tertanggal 30 Juni 1992), yang isinya memperkuat, Suradi terlibat G-30-S PKI. Ia terdaftar dalam OT (organisasi Terlarang) 1/1992 Nomor 184. Suradi protes, tapi tak ditanggapi. Karena itu ia menggugat Lurah Yusuf lewat Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Semarang. Kuasa hukum Suradi, R. Setyo Budiarto, menyebutkan tindakan Lurah Jangli membubuhkan kode OT pada surat keterangan Suradi itu melawan hukum. Soalnya, Suradi tak sekalipun pernah berurusan dengan organisasi terlarang itu. Ada bukti, surat keterangan Kantor Departemen Tenaga Kerja Semarang, 28 Agustus 1973, Suradi termasuk karyawan yang tak tersangkut G-30-S/PKI. ''Sebagai pegawai Depnaker, ia pensiun tepat pada waktunya. Ini bukti ia bersih,'' ujar Setyo Budiarto. Karena itu ia minta agar hakim membatalkan surat keterangan Lurah Jangli yang terang-terangan mencantumkan kliennya terlibat OT. Di persidangan, kuasa hukum Lurah Jangli, Karminanto, menyebutkan bahwa pemberian kode OT itu tak mengada-ada, tapi berdasarkan fakta sebenarnya. Nama Suradi memang tercantum dalam daftar OT, baik itu ditingkat Koramil, Kodim, Kodam, maupun Bakorstranas. Sedangkan yang berwenang melakukan pendataan dan mencatat fakta seseorang terlibat OT atau tidak adalah Laksus Pangkopkamtib, bukan pemerintahan desa. Pada 1981 kewenangan itu dialihkan pada Menteri Dalam Negeri. Bila seseorang merasa tak terlibat PKI, menurut Karminanto, pemerintah telah memberikan kesempatan sampai tahun 1980, untuk mengajukan keberatan pada Panglima ABRI. Tapi hal semacam itu tak dilakukan penggugat. ''Dengan demikian, sampai kini ia masih dianggap terlibat OT. Jadi yang dilakukan Lurah adalah memberikan fakta sebenarnya,'' tegas Karminanto. Suradi keberatan. Bagaimana mungkin ia mengajukan keberatan bila ia tidak tahu masuk daftar terlibat OT. Pensiunan itu baru sadar setelah anaknya batal jadi polisi. Namun Rabu pekan lalu Hakim Ketua Ny. Siti Djuarijah ternyata menolak juga gugatan Suradi. ''PTUN tidak berwenang mengadili perkara ini. Sebab yang berhak memutuskan seseorang terlibat OT atau tidak adalah Bakorstranas, yang dulu namanya Laksus Kopkamtib,'' kata Djuarijah. Anehnya, majelis hakim mengutarakan, sebenarnya perbuatan Lurah mencantumkan kode OT tidak tepat. ''Menurut ketentuan, pencantuman itu tak boleh mencolok. Sementara itu, dalam keterangan Lurah Jangli catatan itu amat mencolok,'' kata Djuarijah. Lalu mengapa gugatan Suradi ditolak? Djuarijah berkilah, yang dipersoalkan penggugat adalah soal ia dinyatakan terlibat organisasi terlarang. Keputusan Bakorstranas ini, menurut Djuarijah, merupakan putusan Tata Usaha Negara khusus, yang dikeluarkan dalam keadaan bahaya. ''PTUN tidak berwenang memutuskan seseorang terlibat G-30-S/PKI, atau tidak,'' ujar Djuarijah. Ia menunjuk UU Nomor 5 Tahun 1986 (tentang PTUN), Pasal 49. Isinya: PTUN tidak berwenang memutuskan dan menyelesaikan keputusan Tata Usaha Negara tertentu yang dikeluarkan pada waktu perang, keadaan bahaya, bencana alam, dan keadaan luar biasa yang membahayakan. Pengacara Budiarto tak menerima keputusan itu dan menyatakan banding. Namun ia mengeluh, ''Ini kan urusan tata usaha negara. Kalau PTUN tidak berani memutuskan perkara semacam ini, terus kita disuruh mencari keadilan ke mana? '' ARM, Heddy Lugito (Semarang)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini