TELKOM menelurkan pulsa perkara di Pengadilan Negeri Lumajang, Jawa Timur. Perusahaan telepon PT Telekomunikasi Indonesia itu digugat Rp 1,5 miliar oleh pengusaha penggilingan padi, Darno Proyo, karena mengalihkan dua sambungan nomor telepon ke BRI Lumajang tanpa sepengetahuan Darno. Perbuatan itu dinilai menjatuhkan nama baik dan menimbulkan kerugian. Sengketa antara pelanggan dan perusahaan milik negara itu yang perkaranya kini masih diperiksa pengadilan itu bermula pada Juni 1992. Kala itu seorang utusan Darno datang ke Kantor BRI Cabang Lumajang untuk membayar rekening telepon. Pembayaran itu ternyata ditolak. Petugas BRI mengutarakan, rekening pulsa dua telepon Darno (81768 dan 81484) sudah dibayar pemilik baru, BRI Lumajang. Pihak Darno Proyo kaget. Perusahaan ini menganggap dua nomor telepon itu masih miliknya dan sama sekali tidak mendapat pemberitahuan resmi dari Telkom bahwa sambungan telponnya dialihkan ke pihak lain. Sejak bulan Juni itu telepon Darno Proyo memang tidak berdering lagi. Akibatnya usaha Darno terganggu. Lewat pengacara Wijono Subagyo dan Rahman Zainoelloh, Darno Proyo menuntut ganti rugi Rp 1,5 miliar kepada Telkom. ''Gugatan sebesar itu lebih banyak ditujukan pada kerugian non- materiil,'' kata Rahman Zainoelloh. ''Karena pemutusan itu banyak rekanan bisnis menyangka usaha penggilingan padi Darno telah kolaps.'' Menurut A Tjien, yang sehari-hari menjalankan penggilingan padi itu, omzet Darno Proyo menurun setelah telepon mereka diputus. ''Dulu, ketika masih ada telepon, kami biasa melayani penggilingan beras sekitar 15 ton per hari. Tapi setelah sambungan diputus, paling banter cuma 8 ton per hari,'' kata A Tjien. Sementara itu pihak Telkom menolak tuduhan Darno yang menyebut Telkom asal main cabut saja. ''Darno Proyo menunggak rekening,'' tegas Iskandar, Kepala Kantor Daerah Telkom Probolinggo (membawahkan Telkom Lumajang), kepada Edy Hafidl dari TEMPO. Iskandar mengungkapkan hubungan antara Telkom dan pelanggan, sifatnya kontrak. Kalau pelanggan tak bayar, bisa langsung diartikan kontraknya habis, ''Dan itu berarti nomor telepon kembali menjadi milik Telkom.'' Ketentuan ini, menurut Iskandar, termuat dalam kontrak sambungan telepon yang ditandatangani pelanggan dan Telkom saat sambungan telepon disetujui. Menurut Iskandar, Darno menunggak pembayaran rekening sejak April 1992. Sampai Juni jumlahnya Rp 511 ribu untuk nomor 81768, dan Rp 360 ribu untuk nomor 81484. Teguran sudah berkali-kali dilayangkan kepada Darno Proyo, bahkan dengan mendatangi rumahnya di Jalan Ahmad Yani, Lumajang. Karena teguran-teguran ini tak digubris, kedua telepon Darno dicabut. Menurut Iskandar, ini terjadi pada Juli 1992, bukan Juni 1992. Sedangkan mennurut Darno, pada Juni 1992 kedua telepon sudah menjadi milik BRI. Ketentuan pencabutan itulah yang akan menjadi materi pertimbangan majelis hakim dalam menyidangkan perkara itu. Dalam Pasal 8 dan 9 Kontrak Berlangganan Sambungan Telepon memang diatur kewenangan Telkom untuk sewaktu-waktu mencabut sambungan telepon jika pelanggan menunggak tagihan. Tentang pengalihan ke pihak BRI? Iskandar mengungkapkan ini semata-mata prioritas daftar tunggu. ''Tak ada permaian,'' katanya. Tapi diakuinya, untuk mendapatkan nomor itu BRI dikenakan syarat: melunasi seluruh tunggakan pembayaran rekening telepon Darno. Syarat pembebanan utang pada pelanggan baru tidak ada dalam peraturan Telkom. Namun, menurut Iskandar, cara ini lebih baik daripada Telkom harus menyerahkan penagihannya pada BUPN (Badan Urusan Piutang Negara). ''Prosedurnya berbelit,'' katanya. ARM
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini