MENGEMBALIKAN indra pendengaran yang hilang atau rusak terutama bagi mereka yang mengalami peradangan kronis kini bukan lagi pekerjaan yang sulit. Inilah yang digelindingkan Rion Co. Ltd., Jepang. Produsen alat bantu pendengaran yang berdiri di Kota Kokubunji, sebelah barat Tokyo, itu mengklaim berhasil membuat gendang telinga artifisial yang pertama di dunia. Rion merintis pengembangan alat tersebut 15 tahun silam. Setelah lima tahun melakukan kerja sama dengan para ahli dari dua perguruan tinggi Jepang Universitas Teikyo dan Universitas Ehime untuk melakukan uji coba klinik, Rion akhirnya berhasil menembus teknologi pembuatan gendang telinga artifisial itu dengan hasil yang meyakinkan. Menurut seorang juru bicara Rion, kini sudah 64 pasien yang dipasangkan alat tersebut, dan 86% atau 55 orang di antaranya ternyata pulih pendengarannya. Hasil uji coba ini rupanya membuat Kementerian Kesehatan Jepang melirik produk pendengaran ini. Belum lama ini pemerintah Negeri Sakura itu menyetujui peluncuran gendang telinga artifisial tersebut ke pasaran. Keunggulan alat itu tentu akan sangat membantu penduduk Jepang, yang rupanya banyak yang kehilangan indra pendengarannya. Hingga kini tercatat sekitar 3 juta penduduk Jepang rusak pendengarannya. Tiap tahun jumlah itu merangkak naik, rata-rata 1.000 orang. Gendang telinga artifisial bikinan Rion itu terdiri atas dua bagian, yakni piranti yang harus berjaga di luar telinga, dan alat yang ditanam di dalam telinga. Alat di bagian luar bentuknya sama dengan alat bantu dengar konvensional yang bentuknya seperti kuku macan. Ukurannya: panjang 5 sentimeter, lebar 1,5 sentimeter, dan tebal 1 sentimeter. Alat yang dilekatkan di belakang daun telinga ini dilengkapi dengan sebuah mikrofon kecil dan amplifier, plus sebuah alat pengatur sifat bunyi. Masih ada lagi tambahan, yakni koil (kumparan) yang dihubungkan dengan sebuah baterai kecil sebagai sumber tenaga. Sedangkan perangkat yang tertanam di bagian dalam telinga berukuran 3 x 2 x 0,6 sentimeter. Di dalam kotak berbentuk persegi panjang itu, terpasang kumparan. Dari bagian ini dikeluarkan kabel tipis, 11 sentimeter. Dan di ujung kabelnya terpasang osilator vibrator yang berfungsi sebagai pengantar getaran-getaran ke bagian sanggurdi salah satu tulang pendengar di bagian dalam telinga tengah. Alat tersebut ditanam ke dalam balik kulit telinga, yaitu di sisi kepala di belakang kuping. Peralatan yang mempunyai berat sekitar 20 gram ini ditanam di balik kulit lewat pembedahan. ''Kami menjamin, alat ini mampu bekerja baik minimal selama 10 tahun. Dan bila rusak, bisa diganti dengan yang baru,'' kata Seiji Hori, 52 tahun, kepala Proyek Pengembangan Teknologi Rion, kepada TEMPO. Cara kerja peralatan yang peka ini memang cukup rumit. Setiap suara akan ditangkap mikrofon yang tertempel pada bagian belakang daun telinga. Suara yang tertangkap mikrofon tersebut berarti sebuah gelombang akustik yang diubah menjadi sinyal listrik. Suara itu diperbesar oleh amplifier. Kemudian sinyal listrik itu diubah menjadi sinyal gelombang elektromagnetik lewat kumparan yang terpasang di dalam alat di luar telinga. Fungsi alat di luar telinga itu hingga di situ saja. Sinyal gelombang elektromagnetik tadi kemudian dikirim lewat kulit, seterusnya baru ditangkap oleh bagian kumparan di dalam alat gendang telinga artifisial di bagian dalam telinga. Sinyal gelombang elektromagnetik itu kemudian diubah menjadi getaran melalui ossilucar vibrator. Begitu alat ini menggetarkan tulang sanggurdi, getaran suara itu diantarkan ke dalam telinga. Berdasarkan serangkaian uji coba terhadap 64 pasien, efek penggunaan alat buatan Rion ini dinilai luar biasa. Seorang pasien, yang tadinya hampir tidak mendengar sama sekali, setelah dipasangkan alat ini mampu mendengar kembali dengan kekuatan suara 30 desibel. ''Banyak pemakai yang mengatakan bahwa kualitas suara yang dihasilkan sangat baik,'' kata Seiji Hori. Teknik memasang gendang telinga arfisial buatan Rion yang tampaknya revolusioner itu memang membutuhkan ketelitian. Maka wajarlah kalau harga dan biaya operasinya mahal. Harga seperangkat alatnya saja 1,2 juta yen atau sekitar Rp 21,6 juta. Sedangkan kalau ditambah dengan biaya operasinya, totalnya mencapai 3 juta yen atau sekitar Rp 54 juta. Ketika alat ini dipasang, si pasien harus pula tidur tiga pekan di rumah sakit. Rupanya, tidak sembarang pasien yang bisa memakai gendang telinga artifisial ini. Hanya yang berusia 20 tahun ke atas, dan tidak dalam kondisi masih mempunyai sisa sakit radang, yang boleh dipasangkan alat tersebut. Apakah alat ini juga akan segera diekspor? ''Sebelum diekspor, masih perlu dilakukan uji coba dulu di negara pengimpor. Untuk itu, sementara ini para pasien dari luar hanya bisa mendapatkan pelayanan di dalam negeri Jepang,'' kata Seiji Hori. Soal memulihkan indra pendengaran ini juga pernah dirintis tim dokter di Denver Ear Institute, Colorado, AS. Salah satu keberhasilan itu dibuktikan terhadap pasien dari Indonesia, Nathania Sjarief, yang berusia tiga tahun (TEMPO, 27 Juni 1992). Melalui teknik operasi mutakhir dengan cara implantasi koklea (cochlear implant) itu, Nathania, yang semula tidak mampu mendengar, akhirnya kini bisa mendengar dengan sempurna. Gatot Triyanto (Jakarta) dan Seiichi Okawa (Tokyo)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini