Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Medali perunggu yang didapatkan Syuci Indriani menjadi hadiah besar bagi tim para-renang Indonesia. Bertanding di nomor 200 meter gaya bebas S14, kategori untuk atlet dengan keterbatasan intelektual, Syuci membukukan waktu 2 menit 20,8 detik di belakang duo atlet Jepang, Amisa Kitano dan Mami Inoue. Ini medali pertama Syuci dan tim renang Indonesia di Asian Para Games 2018.
Di luar kegembiraannya bersama tim, prestasi itu memiliki makna berharga bagi Syuci dan keluarganya. Hari itu bertepatan dengan peringatan satu tahun meninggalnya sang ibu, Martini. “Syuci sayang sekali sama mamanya,” kata Hendra Saputra, kakak tertua Syuci, kepada Tempo pada Kamis pekan lalu.
Penampilan Syuci di Asian Para Games pun menjadi momen bersejarah bagi keluarga atlet asal Pekanbaru kelahiran 28 Januari 2001 itu. Selain Hendra, ada sang ayah, Syafriton, serta kakak kedua Syuci, Syafril Syahputra, dan adik bungsunya, Fani Rahmadani Putri, yang menonton di Stadion Akuatik Senayan. Merekalah suporter utama Syuci. “Alhamdulillah, kami datang dari hari pertama sampai terakhir,” ujar Hendra.
Sehari setelah mengantongi medali perunggu, Syuci kembali membuat kejutan dengan menjuarai nomor 100 meter gaya dada SB14. Catatan waktunya 1 menit 23,95 detik. Ia lebih cepat 0,02 detik daripada wakil Jepang, Mai Deguchi, yang menempati posisi kedua. Medali perunggu juga diraih perenang Jepang, Mikika Serizawa.
Nomor 100 meter gaya dada menjadi andalan Syuci. Sejak awal lomba setelah melompat dari starting block di jalur 5, Syuci meluncur cepat mendahului para pesaingnya. Pada separuh kedua balapan, Deguchi, yang berenang di jalur 3, mampu mengejar Syuci.
Kedua perenang itu terlihat menyelesaikan lomba dengan menyentuh dinding kolam hampir bersamaan. Syuci sempat terdiam di bawah starting block menunggu hasil lomba keluar. Dia kontan mengepalkan kedua tangannya ke udara seraya menjerit gembira begitu tahu menjadi pemenang.
Itu medali emas pertama Syuci di Asian Para Games. Kemenangannya juga membuat lagu Indonesia Raya bergaung untuk pertama kalinya di Stadion Akuatik Senayan. Ia tak menyangka bisa menang dengan selisih waktu sangat tipis atas Deguchi. Dia bahkan sempat mengira Deguchi yang sampai lebih dulu. “Eh, ternyata aku yang duluan,” tutur gadis yang akrab disapa Uci itu terbata-bata seusai pertandingan.
Keberhasilan Syuci di kolam renang terus berlanjut. Dia sukses meraih medali perak di nomor 100 meter gaya kupu-kupu S14. Pamor tim renang Indonesia kian terangkat setelah Syuci juga merebut medali emas di nomor 200 meter gaya ganti SM14 pada hari terakhir pertandingan. “Kemampuan renangnya meningkat pesat,” kata pelatihnya, Bhima Kautsar, Rabu pekan lalu.
Renang menjadi bagian penting dalam hidup Syuci. Adalah Syafriton yang memperkenalkan Syuci kepada dunia renang kala usianya sekitar enam tahun. Dari hanya sekadar bermain, aktivitas mereka di kolam renang menjadi lebih serius dengan pola latihan yang padat. “Setelah itu, baru masuk klub,” ujar Hendra Saputra.
Disabilitas tidak mematahkan usaha Syuci berlatih renang. Dia kini tergabung dalam klub renang Belibis di Pekanbaru, yang membuatnya bisa rutin berlatih. Meski demikian, ada kalanya Syuci merasa bosan. Jika ini terjadi, lagi-lagi sang ayah yang berperan besar memberikan suntikan semangat. “Kalau soal kasih semangat, papa paling tahu tekniknya,” kata Hendra.
Syuci mengungkapkan, ia dulu hendak menjadi atlet karena tergiur mendapatkan banyak koper seperti yang dimiliki Syafril, kakaknya. Koper-koper yang dimaksudkan siswi kelas XI Sekolah Menengah Atas Negeri Olahraga Provinsi Riau ini adalah barang bawaan kakaknya, yang juga atlet renang, kala pergi berlomba mewakili Riau di berbagai kompetisi.
Syafril juga disebut menularkan ilmu renangnya kepada Syuci. Dia bahkan membantu Syuci menemui Komite Paralimpiade Nasional pada 2014. “Karena dukungan itu dan ketekunannya berlatih, Syuci kini menjadi salah satu atlet terbaik di Asia,” ujar Dinda Ayu Sekartaji, asisten pelatih tim nasional renang yang membantu menangani Syuci selama pemusatan latihan nasional di Solo, Jawa Tengah.
Selama menjalani pelatnas di Solo, Syuci cepat menyesuaikan diri dengan jadwal latihan yang padat. Demi menjaga konsentrasi atlet selama pelatnas, Bhima membatasi ketat penggunaan telepon seluler. Selama latihan serta waktu istirahat siang serta malam, Syuci dan kawan-kawan dilarang memegang ponsel. “Saya yang simpan supaya mereka bisa berlatih dan beristirahat total,” kata Bhima.
Akhir pekan kala libur latihan adalah waktu emas bagi Syuci untuk berkomunikasi dengan keluarganya. Bhima tak membatasi kontak dengan kerabat selama tidak mengganggu program latihan. Menurut dia, banyak yang berlomba-lomba mencari kabar di pelatnas, juga memberi semangat dan berbagai masukan. “Terlalu banyak informasi seperti ini justru bisa membuat bingung dan membebani para atlet tunagrahita.”
Latihan keras selama delapan bulan di Solo berbuah manis. Syuci menjadi atlet dengan koleksi medali terbaik di tim renang Indonesia di Asian Para Games. Setelah dia, ada Jendi Pangabean, yang kehilangan kaki kirinya akibat kecelakaan ketika berusia sebelas tahun. Dari arena balap di air itu ia mendapatkan 1 medali emas, 1 perak, dan 2 perunggu.
Tim renang menyumbangkan total tiga medali emas, empat perak, dan lima perunggu untuk kontingen Indonesia. Tim Merah-Putih pun menempati peringkat kelima dengan perolehan 37 medali emas, 47 perak, dan 51 perunggu. Ini hasil terbaik tim Indonesia dalam sejarah Asian Para -Games sejak digelar pertama kali pada 2010 di Cina.
Koleksi medali itu membawa Syuci tergabung dalam daftar atlet Indonesia yang mendapat bonus terbanyak. Pemerintah memberikan bonus Rp 1,5 miliar kepada peraih medali emas di nomor tunggal. Adapun prestasi meraih medali perak dihargai Rp 500 juta dan medali perunggu bernilai Rp 250 juta.
Atlet catur tunanetra, Teti Karhati, mengumpulkan tiga emas dan satu perak. Atlet bulu tangkis, Dheva Anrimusthi, me-ngoleksi tiga emas, sementara rekan setimnya, Leani Ratri Oktila, mendapatkan dua emas dan satu perak. Adapun atlet lari Sapto Yogo Purnomo meraih dua emas di nomor 100 dan 200 meter T37. “Para atlet difabel ini memiliki semangat dan kemampuan luar biasa yang bisa mengangkat nama Indonesia di mata dunia,” kata Bhima Kautsar.
Menyiapkan Syuci untuk Asian Para -Games sejak awal 2017, Bhima sangat bangga atas keberhasilan Syuci meraih medali juara. Prestasi itu menjadi penebusan setelah Syuci gagal di Paralimpiade Rio dua tahun lalu. Tahun lalu Syuci juga menyabet medali emas di ASEAN Para Games di Malaysia dan medali perak Youth Para Games di Dubai.
Meski demikian, Bhima merasa lebih puas melihat perkembangan catatan waktu yang dicapai Syuci. Dalam olahraga terukur seperti renang, menurut Bhima, penambahan kecepatan waktu, meski hanya 0,1 detik, membutuhkan latihan keras dalam jangka panjang. “Memperbaiki catatan waktu itu susahnya bukan main. Yang sudah latihan mati-matian saja belum tentu berhasil,” tuturnya.
Menurut Bhima, Syuci beberapa kali memecahkan rekor pribadi di nomor 200 meter gaya bebas dan gaya ganti serta 100 meter gaya kupu-kupu. Bahkan di nomor 100 meter gaya punggung, yang bukan nomor andalannya, Syuci membukukan waktu dua detik lebih cepat dari catatan terbaiknya.
Pemecahan waktu Syuci banyak terjadi di sesi penyisihan. Ia bisa menjaga tempo dan nyaman berenang. Bhima mengaku terkesan melihat catatan waktu Syuci di nomor 100 meter gaya bebas. “Saya menunggu dua tahun untuk melihat dia mematahkan rekornya sendiri,” katanya. “Walaupun Syuci hanya mendapat medali perunggu, buat saya itu sudah menjadi medali emas.”
Syuci kini menjadi atlet andalan Indonesia di salah satu cabang olahraga primadona Olimpiade. Renang juga merupakan cabang yang menjadi “tambang emas” di setiap kompetisi olahraga dunia selain atletik dan senam. Negara-negara yang mendominasi Olimpiade, seperti Amerika Serikat dan Cina, memiliki atlet-atlet tangguh di tiga cabang tersebut.
Bhima mengatakan Syuci menjadi salah satu atlet muda yang disiapkan untuk mengikuti Paralimpiade di Tokyo pada 2020. ASEAN Para Games yang akan digelar di Filipina tahun depan akan dijadikan batu loncatan. “Masih ada waktu satu setengah tahun untuk mematangkan program latihan menuju Paralimpiade,” ujarnya.
Meski demikian, ada ganjalan dalam menyiapkan perenang pelapis Syuci. Gadis itu hingga saat ini masih menjadi yang terbaik di kelasnya. Meliana Ratih Pratama, yang juga turun di Asian Para Games, ternyata belum bisa mengalahkan Syuci. “Perenang tunagrahita lain banyak, tapi kemampuan mereka masih jauh di bawah Syuci,” ucap Bhima.
Bhima menyebutkan Indonesia bisa mengalami kesulitan jika tak segera menemukan atlet yang mampu menyaingi Syuci. Apalagi baru Syuci dan Ratih yang mendapat pengakuan dari Federasi Olahraga Internasional untuk Atlet Penyandang Disabilitas Intelektual (INAS-FID) sehingga bisa berkompetisi di kancah dunia. “Sekarang harus mencari mereka yang bisa mengejar catatan waktu Syuci,” katanya.
GABRIEL WAHYU TITIYOGA
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo