Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tidak adanya penanganan khusus bagi pasien tuberkulosis selaput otak atau tuberkulosis meningitis membuat Rovina Ruslami putar otak. Sejak delapan tahun lalu, guru besar ilmu farmakologi dan terapi di Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran, Bandung, ini melakukan riset agar rifampicin kaplet—obat standar bagi penderita tuberkulosis paru—juga bisa efektif mengobati tuberkulosis meningitis.
Badan Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan 10,4 juta orang terkena tuberkulosis (TB) di seluruh dunia pada 2016. Dari jumlah tersebut, 56 persen tersebar di lima negara: India, Cina, Filipina, Pakistan, dan Indonesia. Tak ada data pasti penderita TB di Indonesia, tapi diperkirakan jumlahnya 1 persen dari total kasus global (90-100 ribu orang). Sebanyak 85 persen dari para penderita TB global itu adalah pengidap TB paru. Selebihnya penderita tuberkulosis ekstra-paru, yang terdiri atas TB kelenjar, kulit, tulang, perut, dan meningitis.
TB meningitis adalah yang terberat dengan angka kematian dan kecacatan lebih dari 50 persen pasien. Sejauh ini, kata Rovina, penanganan pasien TB meningitis sama dengan TB paru, termasuk lama pengobatan dan jenis obat (rifampicin) serta dosisnya. “Karakter farmakologi rifampicin memperlihatkan hanya 10 persen dari obat tersebut di dalam darah yang dapat mencapai lokasi infeksi di otak,” ujarnya, awal Agustus lalu. Akibatnya, TB meningitis selama ini sulit disembuhkan.
Rovina memulai risetnya yang terdiri atas tiga gelombang itu pada 2010. Dalam riset tahap pertama, ia mendapat bantuan dari koleganya di Rumah Sakit Umum Pusat dr Hasan Sadikin, Bandung, Ahmad Rizal Ganiem, yang merupakan dokter spesialis saraf. Ikut bergabung juga S. Dian, L. Apriani, dan Tri Hanggono Achmad, yang kini menjadi Rektor Universitas Padjadjaran (Unpad). Mereka juga mendapat mitra peneliti dari Radboud University Medical Center, Nijmegen, Belanda, yaitu A. van der Ven, G. Borm, Reinout van Crevel, serta Rob Aarnoutse.
Dalam penelitian tahap pertama, yang berlangsung selama dua tahun, Rovina dan timnya mendapat dana 50 ribu euro dari Koninklijke Nederlandse Akademie van Wetenschappen, Belanda, dan Hibah Andalan Unpad. Riset itu membandingkan rifampicin injeksi dengan rifampicin kaplet yang digerus menjadi bubuk dan dicampur dengan air untuk dimasukkan ke mulut via slang. Riset juga bertujuan mengetahui apakah peningkatan dosis menimbulkan efek samping lain.
Rifampicin injeksi adalah obat ideal bagi penderita TB meningitis yang menjadi standar pengobatan di negara-negara maju. Obat ini cocok untuk pasien dalam kondisi berat yang tidak sadarkan diri. Obat ini tidak tersedia di negara-negara berkembang, seperti Indonesia. “Satu ampul untuk sekali suntik harganya Rp 1 juta,” tutur Rovina, periset kelahiran Bukittinggi, Sumatera Barat, 6 Oktober 1966.
Riset Rovina memberikan harapan besar bahwa obat yang ditingkatkan dosisnya itu dapat menurunkan tingkat kematian pasien. Pada kelompok pasien yang diberi rifampicin injeksi sumbangan Belanda dengan dosis 600 miligram per hari, 10 orang meninggal dari total 29 pasien yang diberi obat. Sedangkan pada kelompok yang mendapat rifampicin kaplet dosis 450 miligram, 20 orang meninggal dari total 31 pasien.
Metode injeksi dengan rifampicin 600 miligram terbukti mampu menekan angka kematian sampai setengahnya dibanding pengobatan biasa. “Ini data pertama di dunia mengenai penggunaan rifampicin injeksi pada TB meningitis,” kata Rovina.
Laporan penelitian itu diterbitkan dalam jurnal ilmiah Lancet Infectious Diseases- pada Januari 2013 dengan judul “Intensified Antibiotic Treatment for TB Meningi-tis: A Randomized Controlled Trial”.
Sebelum laporan terbit di jurnal ilmiah terpandang itu, Rovina, yang menjadi penulis utama, menyampaikan temuannya dalam acara The Union World Conference of Lung Health ke-43 di Kuala Lumpur, Malaysia, 13-17 November 2012. Hasil riset itu disambut antusias berbagai kalangan dan dinilai mengejutkan sekaligus menjanjikan.
Tim peneliti lalu memikirkan pengganti rifampicin injeksi, yang nihil di Indonesia. Riset tahap kedua pun berlanjut dengan dana Bantuan Operasional Perguruan Tinggi Negeri Unpad sebesar Rp 150 juta. Unpad juga memberikan akses dan layanan gratis dalam riset ini, misalnya untuk pemeriksaan obat. “Dokter penelitinya pun tidak dibayar,” ucap Rovina, lulusan Fakultas Kedokteran Unpad 1991 dan Spesialis Ilmu Penyakit Dalam Unpad 2001.
Tim kembali memakai rifampicin kaplet dan menaikkan dosisnya secara bertahap kepada pasien yang berjumlah 30 orang. Secara hati-hati, kata Rovina, dosis awalnya dinaikkan dua kali lipat atau 900 miligram per hari. Ternyata hasilnya masih aman dalam hal efek samping, meski efektivitasnya belum seampuh rifampicin injeksi 600 miligram. “Kalau injeksi obat, langsung ke pembuluh darah, semuanya masuk,” tuturnya.
Dalam riset tahap ketiga yang berlangsung pada 2014-2017 dan didanai hibah penelitian dari program PEER Health Amerika Serikat serta Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi, tim menaikkan dosis tiga kali lipat (1.350 miligram per hari). “Hasilnya tetap tidak ada perbedaan efek samping dan terdapat tren penurunan kematian,” ujar Rovina.
Hasil riset itu dipaparkan Rovina dalam The International Workshop of Tuberculosis Drugs ke-10 di Atlanta, Amerika Serikat, pada 15 Oktober 2017. Timnya kemudian memperoleh tawaran dana riset lanjutan dari Medical Research Council di Inggris. Pada Februari lalu, tim mendapat keputusan pendanaan. “Jumlahnya jutaan pound sterling,” kata Rovina.
Saat ini, tim dan konsorsium peneliti TB meningitis internasional sedang merancang penelitian uji klinis skala besar. Jumlah sampel yang diperlukan sekitar 10 kali lipat dari riset awal atau 600 pasien. Sampel itu melibatkan pasien di Bandung dan Rumah Sakit dr Cipto Mangunkusumo, Jakarta, juga dari Uganda dan Afrika Selatan. Adapun mitra penelitinya berasal dari Inggris, Belanda, dan Amerika Serikat. Total anggota tim berjumlah sembilan orang.
Kolega Rovina dalam penelitian ini, Ahmad Rizal Ganiem, mengatakan dokter spesialis saraf terlibat dalam penanganan pasien TB meningitis karena kebanyakan datang dalam kondisi sudah tidak sadar. “Karena infeksinya menyerang selaput otak, sehingga saraf tubuh menjadi lumpuh,” kata Rizal saat dihubungi, pertengahan September lalu.
Kebanyakan pasien terlambat datang ke dokter lantaran diagnostik TB meningi-tis terbilang masih susah. Menurut Rizal, gejala infeksi bakteri Mycobacterium tuberculosis ke selaput otak ini antara lain nyeri kepala, demam, dan rasa kaku pada tengkuk. “Setelah cek cairan dari selaput pembungkus otaknya, baru ketahuan TB meningitis.”
Dalam riset ini, Rizal memantau kondisi dua kelompok pasien yang diberi dosis rifampicin berbeda dan memastikan efek samping penambahan dosis. “Orang takut muncul gangguan hati kalau dosis dinaikkan,” kata Rizal. Ternyata hasilnya sama dengan kondisi pasien yang dosis obatnya tidak dinaikkan.
Penelitian tim Rovina merupakan terobosan dalam pengobatan TB meningitis. Karena itulah Dekan Fakultas Kedokteran Unpad, Setiawan, merekomendasikan Rovina memperoleh Habibie Award 2018 bidang kedokteran. Menurut Setiawan, Rovina sangat layak mendapat penghargaan dari Yayasan Sumber Daya Manusia dalam Ilmu Pengetahuan dan Teknologi itu, yang akan diserahkan pada November mendatang.
Setiawan menilai Rovina konsisten melibatkan banyak kolaborator dalam penelitiannya. Ia juga mengapresiasi perjuangan Rovina mencari dana penelitian. “Ada kesetaraan. Jadi tidak sekadar ikut pemikiran periset dari luar negeri. Ini butuh kematangan,” ucapnya.
ANWAR SISWADI (BANDUNG)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo