Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kesehatan

Setelah Bencana Melanda

Korban bencana alam membutuhkan dukungan psikologis. Bisa diberikan semua orang.

19 Oktober 2018 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Penyembuhan trauma dengan cara mengajak bermain anak-anak korban gempa tsunami Palu di kantor Dinas Sosial Palu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kampung Donggala Kodi lengang pada Ahad malam pekan lalu. Guyuran hujan dan pemadaman listrik membuat kampung yang terletak di Kecamatan Palu Barat, Kota Palu, itu sunyi. Di salah satu sudut kampung, Selvi, 40 tahun, meringkuk di bawah meja warung pecel ayam miliknya.

Ia menolak melayani beberapa tetangganya yang hendak makan. Satu per satu pelanggannya pun pergi. Mereka maklum ibu satu anak itu masih merasa trauma terhadap kegelapan dan suara air menetes. Suasana itu mengingatkan Selvi pada gempa, tsunami, dan likuefaksi yang melanda Palu tiga pekan lalu.

Selvi sebenarnya hanya merasakan gempa karena kampungnya terletak di dataran cukup tinggi. Namun pengalaman melihat dan mendengar suara gemuruh, tangisan korban yang mengungsi ke Donggala Kodi dan darah yang menetes dari tubuh mereka, serta langit yang gelap kala itu masih melekat di benaknya. “Saya takut,” katanya.

Di tempat berbeda, Naya Asmilatifa menjerit setiap kali ada orang yang tak dikenalnya mendekat. “Dia trauma dengan dokter,” tutur sang ayah, Azan Akbar, 42 tahun.

Bocah tiga tahun ini ditemukan tim evakuasi di balik reruntuhan beton kamar mandi rumahnya. Ia menangis dalam dekapan ibunya. Ketika mereka diangkat, hanya Naya yang selamat. Ibu dan dua saudaranya, yang juga dipeluk di sampingnya, meninggal. Naya sempat dirawat karena luka di pelipisnya. Badannya memar-memar. Tapi, setelah diobati, Naya malah ngeri melihat dokter.

Reaksi Naya dan Selvi jamak muncul dari para penyintas bencana alam. Menurut Ketua Pusat Krisis Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, Dicky Pelupessy, respons tersebut dampak dari rasa kehilangan. Ketika bencana terjadi tiba-tiba, kata dia, ada elemen kejutan. “Kekagetan itu kemudian diikuti dengan kehilangan, seperti kehilangan rumah, sekolah, keluarga, rasa aman, harapan, sampai kepercayaan kepada Pencipta,” ujarnya.

Rasa kehilangan tersebut tak langsung muncul begitu musibah terjadi. Awalnya, korban akan mencukupi kebutuhan primer lebih dulu, seperti memastikan keselamatan keluarga dan membangun tenda ketika rumah mereka runtuh. Sekitar lima hari kemudian, setelah hajat utama tersebut terpenuhi, barulah perasaan itu datang. “Muncul perasaan seperti marah, mempertanyakan Tuhan kenapa ini terjadi,” ucap psikolog klinis dari Sanatorium Dharmawangsa, Liza Djaprie.

Perasaan tersebut menyebabkan trauma atau luka yang berdampak pada gangguan psikologis. Efek yang muncul antara lain syok, sering teringat pada peristiwa bencana yang dialami, bermimpi buruk, cemas, sulit berkonsentrasi, merasa sedih yang mendalam, marah, merasa hampa, dan menutup diri. “Ini reaksi wajar dalam kondisi yang tak wajar,” kata Dicky.

Gejala yang muncul bisa berbeda pada tiap orang. Levelnya pun tak sama, tergantung skala bencana, kehilangan yang dirasakan, riwayat kondisi psikologis, kepribadian, serta karakter lingkungan sosialnya. Liza memberi contoh, karakter penyintas tsunami di Aceh pada 2004 berbeda dengan penyintas gempa di Yogyakarta pada 2006. Menurut dia, orang Yogyakarta sehari-hari hidup tenteram, sementara orang Aceh terbiasa dalam kondisi seperti perang karena provinsi itu sebelumnya ditetapkan sebagai daerah operasi militer. “Begitu kena bencana, Aceh lebih cepat pulih,” ujar Liza, yang ikut terjun memberikan trauma healing di dua daerah tersebut.

Dalam kondisi ketidakseimbangan psikologis ini, Dicky menambahkan, mereka membutuhkan dukungan dan perhatian agar tak merasa sendirian menghadapi beban tersebut. Perkataan dan tindakan yang sederhana pun bisa membantu meringankan beban para korban. “Misalnya dengan bertanya apa yang ia rasakan. Atau membagi air minum dan makanan kecil yang kita bawa,” ucapnya.

Keterampilan sederhana ini, Dicky melanjutkan, wajib dimiliki setiap relawan. Jika tak memilikinya, alih-alih meringankan beban, relawan bisa jadi justru menambah tekanan para korban.

Dicky pernah meneliti para penyintas di Aceh tiga tahun setelah tsunami menerjang. Salah satu perempuan yang ia wawancarai tentang dampak tsunami tiba-tiba menangis ketika teringat pada pengalamannya dilempar baju sumbangan oleh relawan. “Mungkin relawan yang memberikan itu tak sadar bahwa itu menyakiti. Namun, bagi ibu tersebut, perlakuan semacam ini membuat harga dirinya jatuh,” tuturnya.

Upaya meringankan beban psikologis korban bencana juga bisa ditempuh dengan mengajak bermain. Liza Djaprie dan kawan-kawan biasa mengadakan outbound agar para penyintas bisa banyak bergerak atau permainan lain yang memancing tawa sehingga mereka lebih rileks.

Liza mengibaratkan trauma akibat bencana seperti es beku yang membuat orang menjadi kaku. Permainan yang mengundang tawa dan gerakan itu akan membuat kebekuan tersebut pelan-pelan lumer. “Baru kemudian kami mulai mengajak ngobrol. Pelan-pelan kami bangun harapan mereka,” ujarnya.

Andai tak bisa ikut membantu di lokasi bencana, semua orang bisa memberi dukungan lewat media sosial. Misalnya dengan tak melupakan korban gempa Lombok di tengah dukungan kepada korban di Sulawesi Tengah. “Karena mereka bisa merasa ditinggalkan,” kata Dicky Pelupessy.

Selain itu, hal-hal yang berpotensi menyakiti mereka sebaiknya tidak diunggah, seperti pernyataan bahwa bencana adalah azab dari Tuhan. “Mereka kesal melihat unggahan itu dan bertanya-tanya, ‘Memang salah saya apa?’,” tutur Liza. Demikian juga informasi tak benar yang justru membuat mereka merasa tak aman.

Berbagai respons akibat ketidakseimbangan psikologis tersebut umumnya akan mereda dalam empat-enam minggu. Menurut Liza, polanya seperti gunung. Perasaan sedih, marah, hampa, dan hilang harapan itu adalah fase ketika menaiki gunung. Setelah puncaknya tercapai, perasaan itu akan menurun dan mereda. Para penyintas kemudian akan bangkit dan menata hidup mereka lagi.

Namun ada sebagian kecil—sebanyak 3-4 persen—yang membutuhkan waktu lebih lama untuk menyembuhkan diri. Dicky menerangkan, mereka adalah orang yang sebelum bencana punya masalah psikologis, seperti depresi atau stres berat. Karena tumpukan masalah tersebut, pemulihan membutuhkan waktu hingga bertahun-tahun. “Mereka perlu bantuan tenaga ahli, seperti psikolog atau psikiater,” katanya.

FRANCISCA CHRISTY ROSANA (PALU), NUR ALFIYAH

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus