Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Tragedi 1965 dengan Bunraku

Papermoon Puppet Theatre secara mengesankan menyuguhkan cerita mengenai korban yang dituduh PKI dengan boneka.

13 Desember 2010 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BONEKA itu dijajar di atas papan. Dor! Terdengar suara balon meletus. Bersamaan dengan itu, boneka-boneka itu terperosok ke lubang. Itulah cara Maria Tri Sulistyani dan Iwan Effendi, sutradara kelompok teater boneka Papermoon Puppet Theatre, menampilkan eksekusi massal terhadap orang ”merah”.

Dengan judul Mwathirika, di Auditorium Lembaga Indonesia Prancis, 30 November-3 Desember lalu, mereka menampilkan cerita mengenai sebuah keluarga yang dihilangkan. Mwathirika adalah bahasa Swahili, bahasa yang digunakan salah satu suku di Afrika Timur, yang artinya korban.

Panggung mulanya menghadirkan orang-orang bertopeng dengan balon merah di tangan yang bergerak dinamis memenuhi panggung. Lalu cerita beralih ke kehidupan sehari-hari keluarga Baba dan Haki yang bertetangga. Baba seorang ayah dengan dua anak bernama Moyo dan Tupu. Adapun tetangganya, Haki, memiliki satu anak perempuan bernama Lacuna, yang sehari-hari tak lepas dari kursi roda.

Tiga anak itu bahagia. Sampai tiba-tiba ada tanda segitiga merah di jendela rumah Baba. Baba dibawa paksa orang-orang bersenjata. Moyo dan Tupu menangis. Tupu makin sedih saat suatu hari Moyo lenyap ketika berusaha mencari tahu keberadaan ayahnya. Tupu hanya menemukan peluit merah milik Moyo. Sepanjang hari Tupu meniup peluit merah itu, berharap Moyo mendengarnya dan kemudian pulang.

Lacuna menghibur Tupu dengan memberikan mainan music box. Tapi Tupu kemudian juga hilang dan hanya meninggalkan topinya. Lacuna pun akhirnya lenyap. Yang tertinggal hanyalah kursi rodanya.

Maria dan Iwan menyiapkan pentas Mwathirika ini sejak akhir Agustus 2010, dimulai dengan pembuatan boneka dari rotan dan kertas bekas yang dicampur dengan lem kayu. Lima boneka bergaya Bunraku dan Kuruma Ningyo (jenis boneka setinggi manusia khas Jepang) dan sebelas topeng disiapkan selama satu bulan.

Menurut Maria, gaya Bunraku dan Kuruma Ningyo sengaja dipilih untuk pertunjukan ini karena rasa intim yang bisa diperoleh antara boneka dan pemainnya. ”Kalau boneka bertali seperti pada pertunjukan gaya Eropa, masih ada faktor tali yang menjadi kendala keintiman antara pemain dan bonekanya,” katanya. Demikian juga bila menggunakan boneka gaya wayang golek, misalnya, ada kendala gagangnya. Dengan boneka model Jepang, ada keintiman karena boneka itu dipegang langsung oleh pemainnya.

Dalam pertunjukan Bunraku dan Kuruma Ningyo, pemain selalu duduk di bangku beroda. Mobilitas pemain bergantung pada roda. Namun Ria tidak mengadopsi utuh model pertunjukan boneka gaya Jepang itu. Dalam pertunjukan asli Bunraku dan Kuruma Ningyo, semua pemain memakai penutup hitam sehingga penonton hanya bisa menyaksikan boneka itu seolah-olah bergerak sendiri. Sedangkan pada Mwathirika, tangan dan muka pemain masih bisa dilihat penonton.

”Pertama, agar penonton tetap sadar bahwa boneka itu dimainkan. Kedua, penonton masih bisa menikmati ekspresi pemainnya, karena ekspresi pemain ini sekaligus menjadi roh bagi boneka yang sedang dimainkannya,” tutut Maria.

Lihatlah bagaimana mereka menggambarkan Lacuna yang lenyap diculik orang-orang tak dikenal dari rumahnya. Adegan penculikan Lacuna sama sekali tak tampil di panggung. Sebagai gantinya, Ria menampilkan kursi roda milik Lacuna yang terguling di halaman rumah, dengan roda yang masih berputar. Tentu, simbolisasi semacam itu hanya bisa ditangkap oleh penonton dewasa. ”Segmen pementasan ini memang untuk remaja dan dewasa, bukan untuk anak-anak,” ujar Maria.

Papermoon Puppet Theatre didirikan oleh Maria pada 2006. Tak hanya menggelar berbagai pementasan di gedung, Papermoon juga membuat site specific-performance di pasar, kereta, rumah sakit, panti jompo, dan tempat-tempat lainnya. Di luar Yogya, Papermoon Puppet Theatre juga menggelar pementasan dan workshop teater boneka di Raja Ampat (Papua), Padang Panjang (Sumatera), Blora, Cilacap, Sukoharjo, Malang, New York, Baltimore, Philadelphia, Washington, DC, Korea Selatan, Malaysia, dan Singapura.

Heru c. Nugroho (yogyakarta)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus